Edisi 43 Tahun XXIII – Dzulqoidah 1435 H/ September 2014 M
“Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari
Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
(Al-Baqarah [2]: 147)
|
Abdurrahman yang saya maksud dalam tulisan ini bukanlah sahabat Nabi atau ulama besar, tapi orang biasa yang terkait dengan masjid dan kita bisa mengambil pelajaran dari keduanya. Ini amat penting karena komitmen kita kepada masjid harus selalu kita tingkatkan.
Selalu Sama Kong Haji Amang.
Sejak saya kecil lahir tahun 1964
sampe gede, kawin dan punya anak,
terus terang saya salut banget sama H. Abdurrahman. Kami yang kecil dan
muda-muda memanggilnya dengan Kong Haji Amang. Beliau termasuk keluarga besar
saya dari Aba (bapak), Aba saya memanggilnya encing (paman) haji Amang.
Begitulah memang bahasa orang Betawi di Pondok Pinang Jakarta Selatan. Beliau
sudah wafat sekitar 10 tahun yang lalu.
Ada banyak hal yang membuat saya
salut dan kagum padanya. Pertama, Kong Haji Amang ahli ibadah.
Di Masjid Darussalam yang letaknya di depan rumah saya, Kong Haji Amang jadi
marbot yang luar biasa. Beliau selalu menjaga kebersihan masjid, merapikan
tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan sehingga tikar yang semula
acak-acakan, kalau Kong Haji Amang dateng
rapih lagi. Kalau hari Jumat Kong Haji Amang berjalan dari shaf ke shaf, dari
depan sampe belakang untuk memungut
infak dengan kantong warna ijo. Dulu
infak tidak menggunakan kotak seperti sekarang. Sambil berjalan dia terus baca
shalawat sambil meminta orang untuk mengisis shaf di depan yang kosong.
Jam empat sebelum subuh, Kong
Haji Amang sudah membuka pintu masjid, menghidupkan pengeras suara,
membangunkan orang, membaca Al Qur’an dan tarhim (doa memohon rahmat Allah)
lalu mengumandangkan adzan subuh meskipun suaranya tidak begitu merdu, tapi
menjadi khas adzan subuh, karenanya ketika beliau adzan zuhur atau ashar bila
tidak ada yang adzan, maka ada yang teriak dengan mengatakan
subuh...subuh...subuh. Selain itu, ada saat-saat beliau juga menjadi imam dalam
shalat berjamaah. Kayaknya di masjid hanya Khutbah dan ceramah yang tidak bisa
beliau lakukan.
Kedua, Kong Haji Amang
bukan tipe orang males, tapi pekerja
keras dan pekerja cerdas. Habis subuh ida tidak tidur lagi meskipun bulan
Ramadhan. Pasar Kebayoran Lama yang jaraknya 2-3 km dari Pondok Pinang adalah
tempat yang dituju dengan naik oplet (sekarang angkot D-01) jurusan Ciputat –
Kebayoran Lama. Mau ngapain lagi ke
pasar kalau bukan mau belanja. Di rumahnya beliau punya warung yang menjual
segala macem kebutuhan sehari-hari,
bukan hanya beras, gula, terigu dan sebagainya, tapi juga sayur-mayur, ikan,
tahu-tempe dan sebagainya. Karenanya kalau ke warung Kong Haji Amang apa aja
bisa dibeli. Mau ngeteh dan ngopi juga bisa karena ada makanan kecil
yang dijual. Dengan warung seperti itu rasanya cukup penghasilan yang diperoleh
untuk menafkahi keluarga.
Ketiga, meskipun
penghasilan dari warung sudah cukup untuk keperluan keluarga, beliau masih
mengembangkan usaha seperti kost dan kontrakan rumah serta menyewakan
perlengkapan pesta seperti tenda, bangku, meja, perlengkapan makan sampai
pengeras suara dan pelaminan, bahkan beliau juga yang mendekor pelaminan
pengantin. Dengan penghasilan yang lebih dari cukup, ia bisa membiayai seorang
cucunya hingga menjadi dokter di Universitas YARSI.
Keempat, menguasai dua “bahasa
asing” yang bisa jadi satu-satunya orang Betawi yang bisa menguasainya. Dua “bahasa
asing” itu adalah Bahasa Jawa dan Sunda. Orang Sunda memang banyak tinggal di
Pondok Pinang, bahkan Paman saya dari bapak sampai kawin dengan orang Tasik,
sementara Encing saya dari ibu juga kawin dengan orang Tasik dan ada beberapa lagi
yang menikah dengan orang Tasik. Tapi orang Jawa, khususnya Jawa Tengah lebih
banyak lagi, ada tukang jamu dan tukang bakso yang mereka punya kompleks
perumahan tersendiri, ada orang Jepara yang umumnya bekerja di kerajinan kayu
untuk membuat lemari, tempat tidur, kursi dan sebagainya yang dikenal dengan
ukiran Jepara. Saya tidak tahu persis, apakah dengan mereka Kong Haji Amang
jadi bisa “bahasa asing” itu, yang jelas saya dan teman-teman mendengar bahwa
dalam melayani pelanggannya di warung beliau menggunakan bahasa Jawa kalau
pembelinya orang Jawa dan bahasa Sunda kalau pembelinya orang Sunda, termasuk
waktu menghitung jumlah harga yang harus dibayar dari pembelian. Dengan cara
itu, saya perhatikan Kong Haji Amang pelanggannya makin banyak.
Kelima, atau yang
terakhir catatan penting saya tentang Kong Haji Amang adalah Ust. H. Abdul
Cholis (salah satu Khatib di Masjid Darussalam), bercerita bahwa setelah
dimusyawarahkan sehubungan dengan telah wafatnya orang yang mengurus jenazah,
oleh Kong H. Salim, maka Kong Haji Amang ditetapkan sebagai petugas memandikan
dan mengkafani mayat. Padahal beliau termasuk orang yang penakut dalam soal ini
meskipun di belakang rumahnya banyak kuburan. Tapi karena musyawarah memutuskan
demikian, iapun melaksanakannya. Salah satu hikmah yang menarik dari pengalaman
mengurus jenazah adalah saat mengurus jenazah H. Thalib, seorang warga Pondok
Pinang yang tergolong kaya raya. Meskipun selama ini semua orang sudah tahu
bahwa kekayaan tidak di bawa mati, tetapi pengalaman langsung membuatnya terasa
berbeda. Dia berpikir bahwa H. Thalib yang kaya ternyata tidak membawa hartanya
sedikitpun. Maka beliaupun tidak ingin harta yang dimilikinya tidak bisa
membawa kebahagiaan dalam kehidupan akhirat. Sesudah itu, Kong Haji Amang
mengeluarkan uangnya, dia beli ubin keramik warna putih ukuran 30 cm, dia
panggil tukang dan dikeramiklah halaman masjid sehingga saat jamaah Jumat dan
shalat Ied meluber sampai keluar masjid, kenyamanan shalat tetap bisa dirasakan
oleh jamaah. Anak-anak juga bisa bermain, apalagi saat hujan tiba, anak-anak
kecil meluncur di atas keramik yang licin itu dengan perut mereka.
Diantara hikmah yang kita ambil
dari kehidupan Kong Haji Amang adalah beliau rajin ke masjid bukan karena
nganggur, tapi memang ia sempatkan datang ke masjid. Banya orang yang tidak ke
masjid karena sibuk dan ada pula yang rajin karena nganggur.
Hatinya Terpaut
Sepulang dari shalat subuh, Sabtu
14 Juni 2014, Pak Jasmin (pensiunan PLN) LMK Duren Tiga Jakarta Selatan
menelpon saya bahwa Bapak H. Abd Rahman (pensiunan PLN) wafat semalam dalam
usia 67 tahun. Di mata saya, almarhum orang istimewa. Kenal dengannya tahun
1990, beliau undang saya khutbah dan ceramah hingga Khutbah Ied di kantor PLN
Duren Tiga. Shala Jumat berlangsung di aula karena memang belum ada masjid.
Ketika masjid Baitussalam berdiri
tahun 1993, beliau menjadi ketua pelaksana harian. Tanggungjawabnya mengurus
masjid sangat besar. Meski sudah pensiun sejak 12 tahun lalu dan kondisi
fisiknya melemah karena telah pernah operasi jantung, beliau tetap saja
mengurus masjid meski harus naik kendaraan umum dari Depok Timur, kediamannya,
bahkan kalau Ramadhan beliau baru pulang setelah Tarawih.
Banyak orang yang tidak tahu
kalau jasanya besar bagi bangsa. Kenapa?, karena bila PLN mau membuat
pembangkit listrik tenaga air, penelitian awal tentang kondisi arus air di
sungai dan air terjun beliaulah yang melakukannya, karenanya beliaupun masuk
keluar hutan dan melakukan pemetaan. Keahliannya ini sepertinya belum
tergantikan sehingga meski sudah pensiun beliau tetap diminta bauntuannya untuk
tugas yang satu ini. Beliau masih saja meneliti sungai secara langsung meski
usianya sudah tidak muda lagi, temasuk beberapa pekan sebelum wafat.
Ketika melakukan penelitian di
Hutan Mamasa Sulawesi Barat, beliau tersentuh perasaannya, karena di daerah
terpencil itu cukup banyak umat Islam tapi tidak ada masjidnya. Maka beliau
ingin membangun masjid, meskipun tidak punya dana. Dihimpunlah dana dari jamaah
masjid PLN hingga beliau berhasil membangun masjid dan umat Islam di Mamasa
sangat senang.
Sebagai pelaksana harian masjid,
Pak Abdurrahman sangat selektif dalam menentukan khatib. Kepada saya beliau
bercerita banyak orang yang menawarkan diri menjadi khatib tapi tidak selalu
dipenuhinya, karena khawatir mengecewakan jamaah. Karenanya meskipun masjid ini
berada di kantor, banyak orang luar yang datang hingga tidak tertampung, salah
satunya karena faktor khatib yang berkualitas dari berbagai kalangan.
Hal lain yang membuat saya
terkesan dengan beliau adalah ketelitiannya, misalnya beliau menelpon ustadz
untuk minta kesediaannya berkhutbah atau ceramah, beliau tidak hanya mencatat
bersedia atau bisanya seorang ustadz, tapi dicatat juga tanggal dan jam berapa
ustadz tersebut telah dihubungi sehingga seorang ustadz, seperti saya tidak
bisa mengelak seandainya sang ustadz lupa mencatat di agendanya yang
menyebabkan terjadi jadwal berbenturan.
Kesan saya yang mendalam pada Pak
Abd Rahman adalah tanggung jawabnya yang besar pada tugas kerja, tapi hatinya
terpaut dengan masjid. Banyak orang yang rajin bekerja, tapi malas ke masjid
atau banyak orang yang rajin ke masjid tapi malas bekerja.
Kepada dua Abdurrahman, Allah swt
menjaminmu rumah di surga dan perlindungan di hari kiamat.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment