Drop Down Menu

Friday 19 September 2014

Masjid Dan Dua Abdurrahman



Edisi 43 Tahun XXIII – Dzulqoidah 1435 H/ September 2014 M

 

“Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah [2]: 147)


Abdurrahman yang saya maksud dalam tulisan ini bukanlah sahabat Nabi atau ulama besar, tapi orang biasa yang terkait dengan masjid dan kita bisa mengambil pelajaran dari keduanya. Ini amat penting karena komitmen kita kepada masjid harus selalu kita tingkatkan.

Selalu Sama Kong Haji Amang.

Sejak saya kecil lahir tahun 1964 sampe gede, kawin dan punya anak, terus terang saya salut banget sama H. Abdurrahman. Kami yang kecil dan muda-muda memanggilnya dengan Kong Haji Amang. Beliau termasuk keluarga besar saya dari Aba (bapak), Aba saya memanggilnya encing (paman) haji Amang. Begitulah memang bahasa orang Betawi di Pondok Pinang Jakarta Selatan. Beliau sudah wafat sekitar 10 tahun yang lalu.

Ada banyak hal yang membuat saya salut dan kagum padanya. Pertama, Kong Haji Amang ahli ibadah. Di Masjid Darussalam yang letaknya di depan rumah saya, Kong Haji Amang jadi marbot yang luar biasa. Beliau selalu menjaga kebersihan masjid, merapikan tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan sehingga tikar yang semula acak-acakan, kalau Kong Haji Amang dateng rapih lagi. Kalau hari Jumat Kong Haji Amang berjalan dari shaf ke shaf, dari depan sampe belakang untuk memungut infak dengan kantong warna ijo. Dulu infak tidak menggunakan kotak seperti sekarang. Sambil berjalan dia terus baca shalawat sambil meminta orang untuk mengisis shaf di depan yang kosong.

Jam empat sebelum subuh, Kong Haji Amang sudah membuka pintu masjid, menghidupkan pengeras suara, membangunkan orang, membaca Al Qur’an dan tarhim (doa memohon rahmat Allah) lalu mengumandangkan adzan subuh meskipun suaranya tidak begitu merdu, tapi menjadi khas adzan subuh, karenanya ketika beliau adzan zuhur atau ashar bila tidak ada yang adzan, maka ada yang teriak dengan mengatakan subuh...subuh...subuh. Selain itu, ada saat-saat beliau juga menjadi imam dalam shalat berjamaah. Kayaknya di masjid hanya Khutbah dan ceramah yang tidak bisa beliau lakukan.

Kedua, Kong Haji Amang bukan tipe orang males, tapi pekerja keras dan pekerja cerdas. Habis subuh ida tidak tidur lagi meskipun bulan Ramadhan. Pasar Kebayoran Lama yang jaraknya 2-3 km dari Pondok Pinang adalah tempat yang dituju dengan naik oplet (sekarang angkot D-01) jurusan Ciputat – Kebayoran Lama. Mau ngapain lagi ke pasar kalau bukan mau belanja. Di rumahnya beliau punya warung yang menjual segala macem kebutuhan sehari-hari, bukan hanya beras, gula, terigu dan sebagainya, tapi juga sayur-mayur, ikan, tahu-tempe dan sebagainya. Karenanya kalau ke warung Kong Haji Amang apa aja bisa dibeli. Mau ngeteh dan ngopi juga bisa karena ada makanan kecil yang dijual. Dengan warung seperti itu rasanya cukup penghasilan yang diperoleh untuk menafkahi keluarga.

Ketiga, meskipun penghasilan dari warung sudah cukup untuk keperluan keluarga, beliau masih mengembangkan usaha seperti kost dan kontrakan rumah serta menyewakan perlengkapan pesta seperti tenda, bangku, meja, perlengkapan makan sampai pengeras suara dan pelaminan, bahkan beliau juga yang mendekor pelaminan pengantin. Dengan penghasilan yang lebih dari cukup, ia bisa membiayai seorang cucunya hingga menjadi dokter di Universitas YARSI.

Keempat, menguasai dua “bahasa asing” yang bisa jadi satu-satunya orang Betawi yang bisa menguasainya. Dua “bahasa asing” itu adalah Bahasa Jawa dan Sunda. Orang Sunda memang banyak tinggal di Pondok Pinang, bahkan Paman saya dari bapak sampai kawin dengan orang Tasik, sementara Encing saya dari ibu juga kawin dengan orang Tasik dan ada beberapa lagi yang menikah dengan orang Tasik. Tapi orang Jawa, khususnya Jawa Tengah lebih banyak lagi, ada tukang jamu dan tukang bakso yang mereka punya kompleks perumahan tersendiri, ada orang Jepara yang umumnya bekerja di kerajinan kayu untuk membuat lemari, tempat tidur, kursi dan sebagainya yang dikenal dengan ukiran Jepara. Saya tidak tahu persis, apakah dengan mereka Kong Haji Amang jadi bisa “bahasa asing” itu, yang jelas saya dan teman-teman mendengar bahwa dalam melayani pelanggannya di warung beliau menggunakan bahasa Jawa kalau pembelinya orang Jawa dan bahasa Sunda kalau pembelinya orang Sunda, termasuk waktu menghitung jumlah harga yang harus dibayar dari pembelian. Dengan cara itu, saya perhatikan Kong Haji Amang pelanggannya makin banyak.

Kelima, atau yang terakhir catatan penting saya tentang Kong Haji Amang adalah Ust. H. Abdul Cholis (salah satu Khatib di Masjid Darussalam), bercerita bahwa setelah dimusyawarahkan sehubungan dengan telah wafatnya orang yang mengurus jenazah, oleh Kong H. Salim, maka Kong Haji Amang ditetapkan sebagai petugas memandikan dan mengkafani mayat. Padahal beliau termasuk orang yang penakut dalam soal ini meskipun di belakang rumahnya banyak kuburan. Tapi karena musyawarah memutuskan demikian, iapun melaksanakannya. Salah satu hikmah yang menarik dari pengalaman mengurus jenazah adalah saat mengurus jenazah H. Thalib, seorang warga Pondok Pinang yang tergolong kaya raya. Meskipun selama ini semua orang sudah tahu bahwa kekayaan tidak di bawa mati, tetapi pengalaman langsung membuatnya terasa berbeda. Dia berpikir bahwa H. Thalib yang kaya ternyata tidak membawa hartanya sedikitpun. Maka beliaupun tidak ingin harta yang dimilikinya tidak bisa membawa kebahagiaan dalam kehidupan akhirat. Sesudah itu, Kong Haji Amang mengeluarkan uangnya, dia beli ubin keramik warna putih ukuran 30 cm, dia panggil tukang dan dikeramiklah halaman masjid sehingga saat jamaah Jumat dan shalat Ied meluber sampai keluar masjid, kenyamanan shalat tetap bisa dirasakan oleh jamaah. Anak-anak juga bisa bermain, apalagi saat hujan tiba, anak-anak kecil meluncur di atas keramik yang licin itu dengan perut mereka.

Diantara hikmah yang kita ambil dari kehidupan Kong Haji Amang adalah beliau rajin ke masjid bukan karena nganggur, tapi memang ia sempatkan datang ke masjid. Banya orang yang tidak ke masjid karena sibuk dan ada pula yang rajin karena nganggur.

Hatinya Terpaut

Sepulang dari shalat subuh, Sabtu 14 Juni 2014, Pak Jasmin (pensiunan PLN) LMK Duren Tiga Jakarta Selatan menelpon saya bahwa Bapak H. Abd Rahman (pensiunan PLN) wafat semalam dalam usia 67 tahun. Di mata saya, almarhum orang istimewa. Kenal dengannya tahun 1990, beliau undang saya khutbah dan ceramah hingga Khutbah Ied di kantor PLN Duren Tiga. Shala Jumat berlangsung di aula karena memang belum ada masjid.

Ketika masjid Baitussalam berdiri tahun 1993, beliau menjadi ketua pelaksana harian. Tanggungjawabnya mengurus masjid sangat besar. Meski sudah pensiun sejak 12 tahun lalu dan kondisi fisiknya melemah karena telah pernah operasi jantung, beliau tetap saja mengurus masjid meski harus naik kendaraan umum dari Depok Timur, kediamannya, bahkan kalau Ramadhan beliau baru pulang setelah Tarawih.

Banyak orang yang tidak tahu kalau jasanya besar bagi bangsa. Kenapa?, karena bila PLN mau membuat pembangkit listrik tenaga air, penelitian awal tentang kondisi arus air di sungai dan air terjun beliaulah yang melakukannya, karenanya beliaupun masuk keluar hutan dan melakukan pemetaan. Keahliannya ini sepertinya belum tergantikan sehingga meski sudah pensiun beliau tetap diminta bauntuannya untuk tugas yang satu ini. Beliau masih saja meneliti sungai secara langsung meski usianya sudah tidak muda lagi, temasuk beberapa pekan sebelum wafat.

Ketika melakukan penelitian di Hutan Mamasa Sulawesi Barat, beliau tersentuh perasaannya, karena di daerah terpencil itu cukup banyak umat Islam tapi tidak ada masjidnya. Maka beliau ingin membangun masjid, meskipun tidak punya dana. Dihimpunlah dana dari jamaah masjid PLN hingga beliau berhasil membangun masjid dan umat Islam di Mamasa sangat senang.

Sebagai pelaksana harian masjid, Pak Abdurrahman sangat selektif dalam menentukan khatib. Kepada saya beliau bercerita banyak orang yang menawarkan diri menjadi khatib tapi tidak selalu dipenuhinya, karena khawatir mengecewakan jamaah. Karenanya meskipun masjid ini berada di kantor, banyak orang luar yang datang hingga tidak tertampung, salah satunya karena faktor khatib yang berkualitas dari berbagai kalangan.

Hal lain yang membuat saya terkesan dengan beliau adalah ketelitiannya, misalnya beliau menelpon ustadz untuk minta kesediaannya berkhutbah atau ceramah, beliau tidak hanya mencatat bersedia atau bisanya seorang ustadz, tapi dicatat juga tanggal dan jam berapa ustadz tersebut telah dihubungi sehingga seorang ustadz, seperti saya tidak bisa mengelak seandainya sang ustadz lupa mencatat di agendanya yang menyebabkan terjadi jadwal berbenturan.

Kesan saya yang mendalam pada Pak Abd Rahman adalah tanggung jawabnya yang besar pada tugas kerja, tapi hatinya terpaut dengan masjid. Banyak orang yang rajin bekerja, tapi malas ke masjid atau banyak orang yang rajin ke masjid tapi malas bekerja.

Kepada dua Abdurrahman, Allah swt menjaminmu rumah di surga dan perlindungan di hari kiamat.

Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua



*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah 

No comments:

Post a Comment