Edisi 44 Tahun XXIII – Dzulhijjah 1435 H/ September 2014 M
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka
barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada
dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan
suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri
kebaikan lagi Maha Mengetahui.
(QS Al Baqarah [2]: 158) |
Salah satu yang penting untuk
kita lakukan kajian tehadap Al Quran adalah tentang asbabun nuzul atau
sebab-sebab turunnya ayat Al Quran. Selain kita juga tahu mengapa suatu ayat
diturunkan, ada hikmah yang bisa kita dapatkan diantaranya ayat-ayat yang ada
hubunganya dengan ibadah haji.
Maqam Ibrahim
Isi hati, pikiran dan perasaan
seorang yang terlontar kadangkala direspon oleh Allah swt secara positif.
Sahabat Jabir ra sebagaimana
diceritakan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih menyatakan bahwa: Suatu
ketika, Nabi saw melakukan tawaf, Umar bin Khattab berkata kepada beliau: “Apakah
ini tempat berdirinya ayah kami, Ibrahim?.”
Nabi menjawab: “Ya.”
Umar kembali bertanya: “Mengapa
tidak kita jadikan tempat shalat?.”
Dengan sebab pertanyaan seperti
itu, Allah swt menurunkan firman-Nya:
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim
dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf,
yang rukuk dan sujud”. (QS Al Baqarah [2]: 125)
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Keinginan yang benar dan
tulus dari seorang hamba tentu akan dipenuhi oleh Allah swt sebagaimana
dipenuhinya keinginan sahabat Umar bin Khattab.
Kedua, dijadikannya bekas
tempat berdiri Nabi Ibrahim as sebagai bapak para Nabi menunjukkan behwa semua
generasi sesudahnya seharusnya mau meneladani dan mengikuti jejak langkahnya
yang dilanjutkan oleh Nabi Muhammad saw, termasuk oleh Yahudi dan Nasrani.
Jangan Turuti Perasaan
Ketaatan melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan Allah swt kadangkala terhambat oleh perasaan.
Menurut riwayat Bukhari dan
Muslim, diceritakan bahwa sahabat Urwah berkata kepada Aisyah ra: “Saya kira
tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sai diantara keduanya.” Hal ini
dinyatakan sambil membacakan ayat:
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah [2]: 158)
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah [2]: 158)
Mendengar hal itu, Aisyah ra
berkata: “Buruk sekali yang engkau katakan itu wahai anak saudaraku. Seandainya
arti ayat itu seperti yang engkau pahami, maka artinya: ‘Maka tidak ada dosa
baginya untuk tidak melakukan sai diantara keduanya.’ Akan tetapi ayat itu
turun karena orang-orang Anshar sebelum masuk Islam melakukan sai diantaranya
keduanya sambil menyebut-nyebut nama patung Manat sebagai sebuah bentuk ibadat.
Setelah masuk Islam, mereka merasa keberatan untuk melakukan sai antara Shafa
dan Marwa.
Setelah mendapat penjelasan itu
dari Aisyah ra, mereka bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami merasa tidak suka untuk melakukan sai antara Shafa dan Marwa seperti
pada masa jahiliyah.” Maka turunlah firman Allah swt di atas.
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Islam merupakan prinsip
ajaran dan ketentuan hidup yang harus dilaksanakan bagi setiap muslim.
Kedua, sumber ajaran yang
berasal dari Allah swt membuat manusia harus menerimanya, suka atau tidak suka.
Karenanya dalam menjalankan Islam, tidak usah menuruti perasaan yang bisa jadi
membuatnya tidak mau melaksanakan bahkan menolak ajaran tersebut.
Sempurnakan Haji dan Umrah
Kesempurnaan dalam segala hal
yang baik sangat penting untuk mendapat perhatian setiap muslim. Salah satunya
dalam ibadah haji dan umrah agar betul-betul diterima Allah swt dan mabrur
dalam arti membawa pengaruh kebaikan.
Shafwan bin Muawiyah bercerita
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa seorang laki-laki yang
pakaiannya berlumuran dengan minyak wangi mendatangi Rasulullah, dia berkata: “Apa
yang engkau perintahkan kepadaku untuk umrah yang sedang saya lakukan ini wahai
Rasulullah?.” Lalu Allah swt menurunkan firman-Nya: “Dan sempurnakanlah ibafah haji dan umrah karena Allah”.
Setelah beberapa saat berlalu,
Rasulullah saw bertanya: “Mana orang yang bertanya tentang umrah tadi?.”
Lelaki yang bertanya menjawab: “Saya
wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw bersabda:
“Lepaskanlah bajumu, kemudian mandilah dan ber-istinsyaqlah (menghirup air dengan hidung) semampumu. Kemudian apa yang telah kamu lakukan, lakukanlah dalam umrahmu.” Lalu Allah swt berfirman: “Dan sempurnakanlah ibagah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), wajiblah ia (menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepulu (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS Al Baqarah [2]: 196)
“Lepaskanlah bajumu, kemudian mandilah dan ber-istinsyaqlah (menghirup air dengan hidung) semampumu. Kemudian apa yang telah kamu lakukan, lakukanlah dalam umrahmu.” Lalu Allah swt berfirman: “Dan sempurnakanlah ibagah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), wajiblah ia (menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepulu (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS Al Baqarah [2]: 196)
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Ibadah haji harus dilakukan
secara sempurna, bila ada yang kurang sempurna maka umat Islam harus
meyempurnakannya dengan membayar dam, baik dengan menyembelih hewan kurban
maupun berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari disana dan tiga hari di tanah
air.
Kedua, melaksanakan
ibadah haji dan umrah dengan sempurna merupakan bagian dari bentuk ketakwaan
kepada Allah swt.
Bekal Taqwa
Haji merupakan puncak pengalaman
rohani bagi umat Islam, semua maksud ibadah dalam Islam terdapat dalam ibadah
haji. Karena itu, ibadah haji harus dilakukan dengan baik dan para jamaah harus
membekali diri secukupnya.
Ibnu Abbas ra menceritakan
seperti yang diriwayatkan oleh Al Bukhari bahwa orang-orang Yaman selalu
menunaikan haji tanpa membawa bekal dan mereka berkata: “Kami bertawakal kepada
Allah.” Lalu Allah swt menurunkan firman-Nya:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS Al Baqarah [2]: 197)
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS Al Baqarah [2]: 197)
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Ibadah haji yang diwajibkan
hanya sekali seumur hidup menuntut kepada para jamaah untuk mempersiapkan diri
dalam ibadah ini.
Kedua, perbekalan yang
harus disiapkan oleh setiap jamaah adalah hal-hal yang sifatnya untuk memenuhi
kebutuhan jasmani, perbekalan ilmu dan ketaqwaan kepada Allah swt agar tidak
ada pelanggaran yang dilakukan seperti hubungan seksual, pembicaraan yang tidak
baik apalagi sampai debat kusir yang lebih menonjolkan emosi.
Dengan demikian, setiap kita
harus memahami seluk beluk yang berkaitan dengan haji, termasuk memahami
ayat-ayat yang terkait dengannya, apalagi bagi para jamaah haji.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment