Drop Down Menu

Sunday, 21 September 2014

Cahaya Hati

Oleh: Ust. Qosdi Ridwanullah


“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk mendapat hidayah maka Allah longgarkan dadanya untuk menerima Islam” (QS. Al An’am: 125)

Satu karunia tersendiri Allah telah memilih kita di antara para hamba-Nya menjadi seorang muslim. Agama yang Allah pilihkan untuk kita, agar nilai kemuliaan tetap terjaga. Tanpa Islam, maka nilai kita turun menjadi seburuk makhluk. Firman-Nya: 

“Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang paling bawah.” (At Tin: 6)

Tentang makna ayat dalam surat Al An’am diatas ada riwayat yang patut kita renungkan. Para sahabat bertanya tentang makna “melonggarkan dadanya”. Maka Beliau bersabda:

Para sahabat bertanya, “Apakah ada tanda-tanda yang bisa dikenali?” Beliau menjawab: “Kembali ke negeri keabadian, menjauh dari negeri yang penuh tipu daya dan bersiap menghadapi kematian sebelum datangnya kematian.”

Inilah kondisi hati orang yang telah mendapat cahaya dari Allah.

Pertama. Hatinya selalu terpaut dengan negeri akherat.
Keadaan hati seperti ini akan membuahkan sikat berfikir dan bertindak yang menomorsatukan ridha Allah di atas kepentingan lainnya. Logika akherat ini yang menjadikan para sahabat menjual murah milik mereka di dunia, baik harta dan bahkan nyawa demi menggapai ridha Allah.

Kedua, Menjauh dari dunia.
Artinya hatinya tidak tertipu dengan gemerlap dunia sehingga ia gunakan waktunya untuk meraup dunia. Dunia tetap dijalani, dicari, bahkan dikuasai. Tetapi dengan satu tujuan sebagai sarana untuk meraih keridhaan-Nya. Itulah yang dipraktekkan kalangan hartawan dari kalangan sahabat. Harta mereka menjadi sarana mereka untuk menggapai ridha Allah.

Ketiga, bersiap menghadapi kematian.
Jika kondisi hati sering mengingat kematian dan apa yang terjadi setelahnya, maka akan berpengaruh kepada apa yang telah disiapkan untuk menghadapinya. Maka orang seperti ini akan rakus beramal shalih menyiapkan teman sejati kelak setelah ajal menghadang.

Kita berharap masing-masing diri bisa merenungkan kualitas hatinya. Sudahkah seorang muslim, cahaya itu telah masuk ke hati kita? Ataukah justru keletihan diri, kesibukan aktifitas, ternyata hanya untuk meraih kesenangan yang menipu? Selagi belum terlambat, sudah seharusnya kita berbenah diri. Bersama meniti jalan keridhaan-Nya. Insya Allah jika pribadi muslim seperti itu kualitasnya, kejayaan Islam bukanlah sekedar utopia, tetapi tinggal menunggu waktu.

Wallahu a’lam.


*diambil dari Iftitah Majalah Taujih Edisi Mei 2014

No comments:

Post a Comment