Drop Down Menu

Tuesday 30 September 2014

Ber-Tuhan Dulu atau Beragama Dulu?



Edisi III Dzulqa'idah 1435H / September 2014 M


Oleh: Musthafa Salim

Seringkali kita rancu menentukan prioritas, manakah yang harus kita dahulukan megenal Allah dulu atau mengenal agama dulu? Sampai saat ini para ulama belum menjawab pertanyaan mendasar ini. Ironisnya, malah mereka lebih sibuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai fikih Islam melalui berbagai pendekatan dan pandangan ulama-ulama yang lebih masyhur sebelumnya. Bukankah hal-hal yang terkait dengan akidah atau prinsip keimanan kepada Allah yang Maha Kuasa jauh lebih mendasar dibanding masalah fikih (syariyyah fiqhiyah). Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk meminggirkan ilmu fikih dalam kehidupan beragama, namun saya ingin berbagi pemahaman mengenai manakah sesungguhnya yang lebih dahulu dikedepankan dalam sistem keberagaman kita, bertuhan dulu atau beragama dulu? Atau dengan kata lain, memahami ilmu tauhid dulu atau berilmu fikih dulu?

Tauhid sebagai Landasan Beragama

Allah swt yang memerintahkan manusia untuk beriman kepada-Nya, mengetahui sifat-sifat-Nya yang azali dan mutlak. Dia pula yang memerintahkan manusia untuk melakukan berbagai ketaatan kepada-Nya dalam bentuk peribadatan dan pelaksanaan aturan-aturan agama yang disarikan dari Al-Quran. Pada awal Islam, Rasulullah pun terlebih dahulu memperkenalkan Allah (tauhid) pada umatnya, baru kemudian beliau mengajari mereka cara menjalankan agama (syariah) setelah terbentuk di hati mereka rasa cinta kepada Allah, Rasul-Nya, Islam, dan kaum muslimin.

Dengan demikian, maka merupakan kewajiban manusialah untuk mengenal Allah Yang Maha Esa dengan mempelajari ilmu tahid (akidah) juga mempelajari ilmu syariat (fikih) yang menjelaskan mengenai tata cara menjalankan perintah Agama dan beragama secara menyeluruh. Mengenai masalah ini, para ulama tidak berbeda pendapat. Hanya saja, dalam prakteknya para ulama lebih fokus pada ilmu fikih dan berbagai perbedaan pandangan/pendapat mengenai sebuah hukum syariat dibanding mengenai akidah tauhid. Menurut saya inilah salah satu penyebab munculnya berbagai mazhab dan golongan dalam Islam yang memicu berbagai pertikaian dari waktu ke waktu.

Mestinya, umat Islam diperkenalkan kepada Allah swt terlebih dahulu melalui ilmu tauhid sebelum diperkenalkan pada ilmu fikih atau mazhab. Sebab mengenal mazhab terlebih dahulu tanpa mendalami siapakan Tuhan Pencipta manusia, bagaimana sifat-sifat-Nya yang idah, bagaimana kalam-Nya kepada manusia, dan seterusnya akan menyebabkan manusia salah arah dalam beragama.

Berbagai bentuk fanatisme mazhab atau fanatisme terhadap imam (pimpinan) tertentu misalnya, merupakan fenomena mencolok betapa umat Islam kini telah mempertuhankan mazhab, tidak bertuhan kepada Allah. Tanpa mereka sadari, ruang lingkup agama yang ‘kaffah’ (lengkap/menyeluruh) telah dipersempit ke dalam kategori-kategori seperti mazhab, politik kepentingan, suku, dan lain-lain. Padahal kita tahu, bahwa Allah telah menyempurnakan agama ini (Islam) bagi manusia (Al-Maidah: 3), tidak ada lagi ajaran setelah agama ini atau pemahaman-pemahaman yang mengaburkan ajaran suci agama ini apapun dalihnya. Bukankah kita selalu berikrar “Ridhiina Billahhi Robba wabil islaami diina wabi Muhammadin nabiyya wa rasuula” (Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai nabi dan utusan bagi kami).

Tauhid dan Fikih Kedamaian

Jelas sekali dinyatakan dalam Al-Quran, bahwa Allah swt terlebih dahulu memperkenalkan Diri-Nya kepada makhluk, kemudian menyuruh mereka untuk meng-Esa-kan-Nya. Selanjutnya, Dia menurunkan petunjuk berupa agama agar manusia dapat membedakan manakah jalan kebenaran dan mana pula jalan kesesatan. Agama merupakan kumpulan rambu-rambu, berisi petunjuk dalam berhubungan dengan Allah (hablum minallah) dan berhubungan dengan manusia (hablum minannas). Dengan kata lain, agama dapat disebut sebagai rambu-rambu dalam melakukan peribadatan kepada Allah swt yang sumbernya berasal dari Al-Quran dan penjelasan Rasulullah saw (Al-Hadis). Di sini, fikih memberikan panduan, rincian, dan ringkasan dari perkataan, perbuatan, dan penjelasan Rasulullah tentang suatu hukum. Tak jarang pula, ulama melakukan istinbath (pengambilan) hukum terhadap perkara yang belum dijelaskan pada masa Rasulullah atau sahabat ra. Di sini, ruang perbedaan mulai muncul dan ulama mulai berpendapat menurut pemikiran mereka tentang hal-hal yang tidak dapat disarikan secara langsung dari hadis Nabi. Fikih merupakan pendekatan baru (tidak ada pada masa Nabi saw), sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah dihadapi umat. Tetapi, sekali lagi saya katakan, fanatisme terhadap sebuah pemikiran seorang ulama fikih tentang suatu hukum akan menyeret seseorang ada fanatisme buta dan sikap tertutup terhadap pemikiran lain yang lebih baru, dan hal ini akan membahayakan caranya dalam beragama.

Allah adalah sumber pengetahuan satu-satunya yang paling terjamin kebenarannya. Tauhid mengarahkan manusia pada keyakinan akan sumber kebenaran yang paling hakiki ini, sebab kebenaran selain dari-Nya bersifat nisbi dan relatif, bisa saja salah atau bisa saja ada pemikiran yang lebih baik darinya. Orang yang bertauhid kepada Allah secara utuh akan memandang apapun produk kebenaran yang sumbernya dari manusia memiliki batas ruang dan waktu, karena itu ia tidak pernah memutlakkan sebuah aliran pemikiran tertentu atau sebuah mazhab tertentu tanpa memikirkan kemungkinan adanya kebenaran lain pada mazhab yang lain. Dengan demikian, tauhid kepada Allah bersifat membebaskan manusia, baik pikiran maupun fisiknya, dari ketergantungan-ketergantungan apapun selain kepada Allah swt.

Tauhid mengajarkan pada manusia ma’rifatullah, yakni mengenal Allah secara lebih baik dan lebih dekat, melalui sifat-sifat-Nya yang mulia. Allah Maha Rahman-Rahim (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) terhadap semua makhluk. Sifat Rahman-Rahim-Nya ini terbagikan secara adil dan merata kepada setiap makhluk di muka bumi ini, termasuk dalam penetapan syariah-Nya kepada umat manusia. Karena itu, mestinya fikih Islam itu (selanjutnya disebut mazhab) memiliki wawasan yang rahmatan (damai) seperti yang terkandung pada makna generik Islam (salam), dan menjadi sumber kedamaian bagi penetapan dan penerapan syariah Allah di muka bumi. Bukan sebaliknya, fikih/mazhab justeru menjadi sumber konfik atau pertikaian di klangan kaum muslimin yang berakibat perpecahan umat Islam yang dahulu sudah disatukan oleh Rasulullah saw. Inilah di antaranya yang dikhawatirkan oleh beliau, yaitu kehancuran Islam dan umat Islam oleh pemeluknya sendiri. Naudzubillah!

Momok Fanatisme Mazhab

Bermazhab itu soal pilihan, bergantung pada keyakinan seseorang dalam memilih panduan dalam beragama. Tetapi, fanatisme dalam bermazhab itu soal lain yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan mazhab. Karena itu, kita mesti pandai-pandai memilah antara mazhab dan fanatisme bermazhab. Fanatisme cenderung membuat seseorang buta hati dan menutup diri dari kebenaran lain, sebab ia meyakini apa yang dianutnya itu adalah sumber keberaran hakiki. Akibatnya ia mengklaim mazhabnya atau golongannya saja yang paling benar, orang yang tidak sepaham dengan golongannya dianggap kagir yang mersti diperangi.

Kondisi politik negaa-negara Islam saat ini merupakan bukti paling shahih betapa fanatisme mazhab telah merusak tatanan sosial umat Islam dunia. Mereka saling membunuh untuk berebut kekuasan demi pembelaan terhadap mazhab atau imam mereka. Yang paling menyedihkan bagi saya, pembantaian sesama saudara ini sama-sama mengatasnamakan Allah.

Kalimat “Allahu Akbar” dijadikan sebagia pengobar semangat permusuhan dan pembantaian di kalangan kaum muslimin. Astaghfirullah! Saat ini umat Islam sedang membuat sejarah yang amat buruk bagi generasi mendatang. Ulah sekelompok golingan ini tak pelak telah menorehkan noda di kening setiap muslim sebagai penganut agama yang penuh teror dan mengerikan. Padahal Islam adalah agama rahmat bagi alam semesta yang menjadi pijakan bagi segenap perilaku moral dan kemanusiaan.

Jihad tidak sama dengan pembantaian. Nilai-nilai agama manapun menolak setiap perilaku teror dan kekerasan. Membunuh seorang manusia sama dengan membunuh semua manusia, meneror seorang manusia sama dengan meneror seluruhnya. Demikian Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan ini dan mendorong setiap muslim untuk berperilaku lembut dan penuh kasih sayang. Sebeb jihad yang sesungguhnya adalah melawan hawa nafsu, menyingkirkan setiap bentuk kekerasan terhadap orang lain apa pun dalihnya, dan memerangi sifat-sifat negatif yang masih bercokol di dalam diri kita.

Panggilan Tauhid dan Motivasi dari Allah

Setidaknya lima kali dalam sehari kita dipanggil untuk bertauhid oleh Allah swt melalui panggilan azan. Tidak semua muslim memenuhi panggilan ini dan sedikit yang termotivasi untuk menjadi seorang muslim yang falah, menang dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Sebuah ironi, kita kalah dalam banyak hal, dalam hal dunia kita tertinggal, dalam hal kehidupan beragama pun kita terbelakang. Bagaimana mungkin kita meraih kemenangan? Shalat merupakan sarana paling agung untuk meraih kemenangan yang hakiki dan motivasi terbaik untuk mencapai puncak kesuksesan, di dunia maupun di akhirat.

Jika kita mengenal Allah dan Rasul-Nya dengan benar, insya Allah dengan panggilan Azan yang setiap hari dikumandangkan itu akan berdampak positif untuk meraih kemenangan yang hebat. Sebab kemenangan Islam bukan hanya untuk umat Islam saja, namun juga kemenangan bagi setiap makhluk yang menetap di bumi ini. Inilah ISLAM yang rahmatan lil alamin, Islam yang penuh rahmat bagi alam semesta. Setiap muslim pada dirinya terhimpun sifat-sifat rahmat semacam ini.

Jika ditelisik lebih jauh kalimat azan yang kita kumandangkan, kalimat-kalimatnya mengandung banyak motivasi, antara lain:

Pertama, berupa ajakan untuk membesarkan nama Allah, Allahu Akbar. Ini adalah kalimat tauhid yang harus meresap di dada setiap muslim. Besarkan nama Allah sebagai prioritas pertama dan utama, buka ego atau nafsu, bukan mazhab, bukan pula kepentingan kelompok. Ditegaskan dengan syahadah (kesaksian), bahwa tiada tuhan selain Allah.

Kedua, syahadah (kesaksian) bahwa nabi Muhammad saw adalah rasul dan utusan-Nya yang wajib diimani. Akidah rasul sebagai utusan sangat penting, agar setiap muslim memiliki muara yang jelas dalam beragama dan simbol pemersatu bagi umat Islam yang besar ini. Setiap umat Islam, apapun mazhab dan golongannya, merujuk pada muara yang sama, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Beliau adalah teladan terbaik bagi manusia yang datang setelahnya.

Ketiga, hayya alal falah. Mari menuju kemenangan. Sayangnya, ternyata kita menuju kekalahan dan kehancuran diri sendiri. Panggilan ini mestinya menuntun, mengajak, dan memotivasi kita untuk menjadi manusia panutan yang rahmatan lil alamin, sehingga kita senantiasa memperoleh kemenangan pribadi dan kemenangan umat Islam seluruhnya.

Pesan Ibnu Araby

Ibnu Araby berkata, “Jangan ikat dirimu pada sebuah keyakinan (mazhab) secara ekslusif, sehingga kau bisa banyak kehilangan kebaikan dan pasti kau akan kehilangan kebenaran hakiki, yaitu kebenaran ilahi.”

Cara paling sederhana untuk mengenal Allah adalah mengenal Asma-asma-Nya lalu pikirkan, insya Allah ia akan menuntun kita pada keagungan-Nya. Kenali ciptaannya, semakin dalam kita mengenal ciptaannnya semakin kenal kita pada sang Maha Pencipta. Allah swt menegakkan langit tanpa tiang, menghampar bumi untuk kehidupan, menumbuhkan beraneka macam tumbuhan dan buah-buahan, menghembuskan angin sebagai oksigen bagi jantung, mengeluarkan air dari langit dan bumi. Bisakah manusia hidup tanpa itu semua. Bayangkan betapa Allah bersifat Al-Karim (Maha Mulia), yang telah mengutus makhluk-makhluk-Nya itu untuk melayani dan mengabdi pada manusia.

Mestinya, manusia mewarisi sifat Al-Karim-Nya, yang mampu memakmurkan bumi Allah dengan cinta dan kasih sayang. Berlaku aniaya dan membuat kerusakan di muka bumi apapun dalihnya merupakan dalil setan bagi manusia untuk mengarahkan mereka ke jalan kesesatan dan murka Tuhan. Maukah kita menjadi wakil iblis di muka bumi ini? Naudzubillah!

Wallahu A’lamu bis Shawab



Musthafa Salim



*diterbitkan oleh Buletin Al-Kautsar

No comments:

Post a Comment