Edisi III Dzulqa'idah 1435H / September 2014 M
Oleh: Musthafa Salim
Seringkali kita rancu menentukan
prioritas, manakah yang harus kita dahulukan megenal Allah dulu atau mengenal
agama dulu? Sampai saat ini para ulama belum menjawab pertanyaan mendasar ini.
Ironisnya, malah mereka lebih sibuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai fikih
Islam melalui berbagai pendekatan dan pandangan ulama-ulama yang lebih masyhur
sebelumnya. Bukankah hal-hal yang terkait dengan akidah atau prinsip keimanan
kepada Allah yang Maha Kuasa jauh lebih mendasar dibanding masalah fikih
(syariyyah fiqhiyah). Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk meminggirkan ilmu
fikih dalam kehidupan beragama, namun saya ingin berbagi pemahaman mengenai
manakah sesungguhnya yang lebih dahulu dikedepankan dalam sistem keberagaman
kita, bertuhan dulu atau beragama dulu? Atau dengan kata lain, memahami ilmu
tauhid dulu atau berilmu fikih dulu?
Tauhid sebagai Landasan Beragama
Allah swt yang memerintahkan manusia
untuk beriman kepada-Nya, mengetahui sifat-sifat-Nya yang azali dan mutlak. Dia
pula yang memerintahkan manusia untuk melakukan berbagai ketaatan kepada-Nya
dalam bentuk peribadatan dan pelaksanaan aturan-aturan agama yang disarikan
dari Al-Quran. Pada awal Islam, Rasulullah pun terlebih dahulu memperkenalkan
Allah (tauhid) pada umatnya, baru kemudian beliau mengajari mereka cara
menjalankan agama (syariah) setelah terbentuk di hati mereka rasa cinta kepada
Allah, Rasul-Nya, Islam, dan kaum muslimin.
Dengan demikian, maka merupakan
kewajiban manusialah untuk mengenal Allah Yang Maha Esa dengan mempelajari ilmu
tahid (akidah) juga mempelajari ilmu syariat (fikih) yang menjelaskan mengenai
tata cara menjalankan perintah Agama dan beragama secara menyeluruh. Mengenai
masalah ini, para ulama tidak berbeda pendapat. Hanya saja, dalam prakteknya
para ulama lebih fokus pada ilmu fikih dan berbagai perbedaan
pandangan/pendapat mengenai sebuah hukum syariat dibanding mengenai akidah
tauhid. Menurut saya inilah salah satu penyebab munculnya berbagai mazhab dan
golongan dalam Islam yang memicu berbagai pertikaian dari waktu ke waktu.
Mestinya, umat Islam
diperkenalkan kepada Allah swt terlebih dahulu melalui ilmu tauhid sebelum
diperkenalkan pada ilmu fikih atau mazhab. Sebab mengenal mazhab terlebih
dahulu tanpa mendalami siapakan Tuhan Pencipta manusia, bagaimana
sifat-sifat-Nya yang idah, bagaimana kalam-Nya kepada manusia, dan seterusnya
akan menyebabkan manusia salah arah dalam beragama.
Berbagai bentuk fanatisme mazhab
atau fanatisme terhadap imam (pimpinan) tertentu misalnya, merupakan fenomena
mencolok betapa umat Islam kini telah mempertuhankan mazhab, tidak bertuhan
kepada Allah. Tanpa mereka sadari, ruang lingkup agama yang ‘kaffah’ (lengkap/menyeluruh) telah
dipersempit ke dalam kategori-kategori seperti mazhab, politik kepentingan,
suku, dan lain-lain. Padahal kita tahu, bahwa Allah telah menyempurnakan agama
ini (Islam) bagi manusia (Al-Maidah: 3), tidak ada lagi ajaran setelah agama
ini atau pemahaman-pemahaman yang mengaburkan ajaran suci agama ini apapun
dalihnya. Bukankah kita selalu berikrar “Ridhiina
Billahhi Robba wabil islaami diina wabi Muhammadin nabiyya wa rasuula” (Kami
rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai
nabi dan utusan bagi kami).
Tauhid dan Fikih Kedamaian
Jelas sekali dinyatakan dalam
Al-Quran, bahwa Allah swt terlebih dahulu memperkenalkan Diri-Nya kepada
makhluk, kemudian menyuruh mereka untuk meng-Esa-kan-Nya. Selanjutnya, Dia
menurunkan petunjuk berupa agama agar manusia dapat membedakan manakah jalan
kebenaran dan mana pula jalan kesesatan. Agama merupakan kumpulan rambu-rambu,
berisi petunjuk dalam berhubungan dengan Allah (hablum minallah) dan
berhubungan dengan manusia (hablum minannas). Dengan kata lain, agama dapat
disebut sebagai rambu-rambu dalam melakukan peribadatan kepada Allah swt yang
sumbernya berasal dari Al-Quran dan penjelasan Rasulullah saw (Al-Hadis). Di
sini, fikih memberikan panduan, rincian, dan ringkasan dari perkataan, perbuatan,
dan penjelasan Rasulullah tentang suatu hukum. Tak jarang pula, ulama melakukan
istinbath (pengambilan) hukum
terhadap perkara yang belum dijelaskan pada masa Rasulullah atau sahabat ra. Di
sini, ruang perbedaan mulai muncul dan ulama mulai berpendapat menurut
pemikiran mereka tentang hal-hal yang tidak dapat disarikan secara langsung
dari hadis Nabi. Fikih merupakan pendekatan baru (tidak ada pada masa Nabi
saw), sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah dihadapi
umat. Tetapi, sekali lagi saya katakan, fanatisme terhadap sebuah pemikiran
seorang ulama fikih tentang suatu hukum akan menyeret seseorang ada fanatisme
buta dan sikap tertutup terhadap pemikiran lain yang lebih baru, dan hal ini
akan membahayakan caranya dalam beragama.
Allah adalah sumber pengetahuan
satu-satunya yang paling terjamin kebenarannya. Tauhid mengarahkan manusia pada
keyakinan akan sumber kebenaran yang paling hakiki ini, sebab kebenaran selain
dari-Nya bersifat nisbi dan relatif, bisa saja salah atau bisa saja ada
pemikiran yang lebih baik darinya. Orang yang bertauhid kepada Allah secara
utuh akan memandang apapun produk kebenaran yang sumbernya dari manusia
memiliki batas ruang dan waktu, karena itu ia tidak pernah memutlakkan sebuah
aliran pemikiran tertentu atau sebuah mazhab tertentu tanpa memikirkan
kemungkinan adanya kebenaran lain pada mazhab yang lain. Dengan demikian,
tauhid kepada Allah bersifat membebaskan manusia, baik pikiran maupun fisiknya,
dari ketergantungan-ketergantungan apapun selain kepada Allah swt.
Tauhid mengajarkan pada manusia ma’rifatullah, yakni mengenal Allah
secara lebih baik dan lebih dekat, melalui sifat-sifat-Nya yang mulia. Allah
Maha Rahman-Rahim (Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang) terhadap semua makhluk. Sifat Rahman-Rahim-Nya ini terbagikan
secara adil dan merata kepada setiap makhluk di muka bumi ini, termasuk dalam
penetapan syariah-Nya kepada umat manusia. Karena itu, mestinya fikih Islam itu
(selanjutnya disebut mazhab) memiliki wawasan yang rahmatan (damai) seperti yang terkandung pada makna generik Islam (salam), dan menjadi sumber kedamaian
bagi penetapan dan penerapan syariah Allah di muka bumi. Bukan sebaliknya,
fikih/mazhab justeru menjadi sumber konfik atau pertikaian di klangan kaum
muslimin yang berakibat perpecahan umat Islam yang dahulu sudah disatukan oleh
Rasulullah saw. Inilah di antaranya yang dikhawatirkan oleh beliau, yaitu
kehancuran Islam dan umat Islam oleh pemeluknya sendiri. Naudzubillah!
Momok Fanatisme Mazhab
Bermazhab itu soal pilihan,
bergantung pada keyakinan seseorang dalam memilih panduan dalam beragama.
Tetapi, fanatisme dalam bermazhab itu soal lain yang tidak ada kaitannya sama
sekali dengan mazhab. Karena itu, kita mesti pandai-pandai memilah antara mazhab
dan fanatisme bermazhab. Fanatisme cenderung membuat seseorang buta hati dan
menutup diri dari kebenaran lain, sebab ia meyakini apa yang dianutnya itu
adalah sumber keberaran hakiki. Akibatnya ia mengklaim mazhabnya atau
golongannya saja yang paling benar, orang yang tidak sepaham dengan golongannya
dianggap kagir yang mersti diperangi.
Kondisi politik negaa-negara
Islam saat ini merupakan bukti paling shahih betapa fanatisme mazhab telah
merusak tatanan sosial umat Islam dunia. Mereka saling membunuh untuk berebut
kekuasan demi pembelaan terhadap mazhab atau imam mereka. Yang paling
menyedihkan bagi saya, pembantaian sesama saudara ini sama-sama mengatasnamakan
Allah.
Kalimat “Allahu Akbar” dijadikan sebagia pengobar semangat permusuhan dan
pembantaian di kalangan kaum muslimin. Astaghfirullah!
Saat ini umat Islam sedang membuat sejarah yang amat buruk bagi generasi
mendatang. Ulah sekelompok golingan ini tak pelak telah menorehkan noda di
kening setiap muslim sebagai penganut agama yang penuh teror dan mengerikan.
Padahal Islam adalah agama rahmat bagi alam semesta yang menjadi pijakan bagi
segenap perilaku moral dan kemanusiaan.
Jihad tidak sama dengan
pembantaian. Nilai-nilai agama manapun menolak setiap perilaku teror dan
kekerasan. Membunuh seorang manusia sama dengan membunuh semua manusia, meneror
seorang manusia sama dengan meneror seluruhnya. Demikian Islam memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan ini dan
mendorong setiap muslim untuk berperilaku lembut dan penuh kasih sayang. Sebeb
jihad yang sesungguhnya adalah melawan hawa nafsu, menyingkirkan setiap bentuk
kekerasan terhadap orang lain apa pun dalihnya, dan memerangi sifat-sifat
negatif yang masih bercokol di dalam diri kita.
Panggilan Tauhid dan Motivasi dari Allah
Setidaknya lima kali dalam sehari
kita dipanggil untuk bertauhid oleh Allah swt melalui panggilan azan. Tidak
semua muslim memenuhi panggilan ini dan sedikit yang termotivasi untuk menjadi
seorang muslim yang falah, menang
dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Sebuah ironi, kita kalah dalam
banyak hal, dalam hal dunia kita tertinggal, dalam hal kehidupan beragama pun
kita terbelakang. Bagaimana mungkin kita meraih kemenangan? Shalat merupakan
sarana paling agung untuk meraih kemenangan yang hakiki dan motivasi terbaik
untuk mencapai puncak kesuksesan, di dunia maupun di akhirat.
Jika kita mengenal Allah dan
Rasul-Nya dengan benar, insya Allah dengan panggilan Azan yang setiap hari
dikumandangkan itu akan berdampak positif untuk meraih kemenangan yang hebat.
Sebab kemenangan Islam bukan hanya untuk umat Islam saja, namun juga kemenangan
bagi setiap makhluk yang menetap di bumi ini. Inilah ISLAM yang rahmatan lil alamin, Islam yang penuh
rahmat bagi alam semesta. Setiap muslim pada dirinya terhimpun sifat-sifat rahmat semacam ini.
Jika ditelisik lebih jauh kalimat
azan yang kita kumandangkan, kalimat-kalimatnya mengandung banyak motivasi,
antara lain:
Pertama, berupa ajakan
untuk membesarkan nama Allah, Allahu
Akbar. Ini adalah kalimat tauhid yang harus meresap di dada setiap muslim.
Besarkan nama Allah sebagai prioritas pertama dan utama, buka ego atau nafsu,
bukan mazhab, bukan pula kepentingan kelompok. Ditegaskan dengan syahadah (kesaksian), bahwa tiada tuhan
selain Allah.
Kedua, syahadah (kesaksian) bahwa nabi Muhammad
saw adalah rasul dan utusan-Nya yang wajib diimani. Akidah rasul sebagai utusan
sangat penting, agar setiap muslim memiliki muara yang jelas dalam beragama dan
simbol pemersatu bagi umat Islam yang besar ini. Setiap umat Islam, apapun
mazhab dan golongannya, merujuk pada muara yang sama, yaitu Rasulullah Muhammad
saw. Beliau adalah teladan terbaik bagi manusia yang datang setelahnya.
Ketiga, hayya alal falah. Mari menuju
kemenangan. Sayangnya, ternyata kita menuju kekalahan dan kehancuran diri
sendiri. Panggilan ini mestinya menuntun, mengajak, dan memotivasi kita untuk
menjadi manusia panutan yang rahmatan lil
alamin, sehingga kita senantiasa memperoleh kemenangan pribadi dan
kemenangan umat Islam seluruhnya.
Pesan Ibnu Araby
Ibnu Araby berkata, “Jangan ikat
dirimu pada sebuah keyakinan (mazhab) secara ekslusif, sehingga kau bisa banyak
kehilangan kebaikan dan pasti kau akan kehilangan kebenaran hakiki, yaitu
kebenaran ilahi.”
Cara paling sederhana untuk
mengenal Allah adalah mengenal Asma-asma-Nya lalu pikirkan, insya Allah ia akan
menuntun kita pada keagungan-Nya. Kenali ciptaannya, semakin dalam kita
mengenal ciptaannnya semakin kenal kita pada sang Maha Pencipta. Allah swt
menegakkan langit tanpa tiang, menghampar bumi untuk kehidupan, menumbuhkan
beraneka macam tumbuhan dan buah-buahan, menghembuskan angin sebagai oksigen
bagi jantung, mengeluarkan air dari langit dan bumi. Bisakah manusia hidup tanpa
itu semua. Bayangkan betapa Allah bersifat Al-Karim
(Maha Mulia), yang telah mengutus makhluk-makhluk-Nya itu untuk melayani dan
mengabdi pada manusia.
Mestinya, manusia mewarisi sifat
Al-Karim-Nya, yang mampu memakmurkan bumi Allah dengan cinta dan kasih sayang.
Berlaku aniaya dan membuat kerusakan di muka bumi apapun dalihnya merupakan
dalil setan bagi manusia untuk mengarahkan mereka ke jalan kesesatan dan murka
Tuhan. Maukah kita menjadi wakil iblis di muka bumi ini? Naudzubillah!
Wallahu A’lamu bis Shawab
Musthafa Salim
*diterbitkan oleh Buletin Al-Kautsar
No comments:
Post a Comment