Drop Down Menu

Monday 22 September 2014

Bekal Bagi Suami Dalam Berumah Tangga

Oleh: Usth. Siswati Ummu Ahmad


Pernikahan merupakan suatu perjanjian besar, yang menjadi sunah Nabi. Sehingga tak pantas dijadikan permainan, atau uji coba sesuai kehendak hati. Karena itu sebagian besar orang, menghendaki melakukannya sekali saja untuk seumur hidup. Sebagian lagi beranggapan, sangat sulit membangun keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah. Bagi mereka, impian untuk memiliki keluarga yang utuh dan langgeng ibarat mengimpikan surga dunia, yang tak pernah tercipta. Fakta-fakta buruk kehidupan rumah tangga yang terjadi di masyarakat, seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumah tangga. Tak jarang bila akhirnya, sebagian orang menjadi enggan menikah, atau menunda-nunda pernikahannya, karena merasa belum siap atau takut terhadap konsekuensi dari sebuah ikatan pernikahan itu sendiri. Padahal sebenarnya tidak demikian. Selagi memiliki kuncinya, pasti tidak sulit untuk menggapai semua impian itu.

Berikut ini adalah beberapa gambaran tentang bekal utama yang harus dimiliki laki-laki dalam membangun kehidupan rumah tangga.

1. Ilmu Yang Cukup 
Kedudukan suami sebagai “al qawwam”, bukanlah tugas yang ringan. Dibutuhkan ilmu yang memadai untuk mengembannya. Untuk itulah, maka seorang laki-laki memiliki kewajiban menuntuk ilmu syar’i, baik dengan menempuh pendidikan formal maupun non formal seperti bermulazamah secara langsung kepada para alim ulama’, menghadiri majelis-majelis ilmu, mempelajari kehidupan salafush shalih, dan lain sebagainya.

Dengan bekal tersebut, suami diharapkan benar-benar mampu menjadi nahkoda yang baik bagi kapal rumah tangganya. Dia mampu mengajarkan kepada istri, anak dan seluruh anggota keluargannya, bagaimana menjalani kehidupan yang benar dan baik sesuai dengan kehendak Allah Pencipta kehidupan ini. Jika kemampuan suami belum memadai, maka wajib baginya terus belajar dan belajar, sampai pada tahap maksimal yang dia mampu. Jika pengetahuan yang didapat belum memadai untuk mendidik keluarganya, maka selayaknya dia mencarikan seorang guru bagi keluarganya, baik dengan memanggilnya ke rumah, atau mengajak keluarganya menghadiri majelis-majelis ta’lim.

Disamping ilmu syar’i, seorang laki-laki juga harus mengasah diri dalam berbagai pengetahuan umum. Tujuannya untuk membentengi diri dan keluarganya dari berbagai penyimpangan dan marabahaya. Seorang suami tak hanya menuntut agar istrinya selalu baik dan sempurna, tapi juga mengajarkan kepadanya bagaimana menjadi baik dan sempurna.

2. Kematangan Berpikir
Kematangan diri dalam berpikir tidak selalu berpatokan pada usia. Tapi lebih pada, sejauh mana pengalaman hidup memberi rasa tanggung jawab yang tinggi, pada diri seseorang dalam segala hal. Kematangan berpikir adalah kemauan pada diri, untuk lebih obyektif dalam memberikan penilaian terhadap diri dan lingkungannya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, pendidikan, lingkungan, tingkat IQ EQ dan yang lain.

Banyak orang yang sudah cukup matang dalam usia, punya banyak pengalaman, cukup tinggi tingkat IQ dan EQ nya, tetapi masih bersifat kekanak-kanakan, kenapa hal itu bisa terjadi??? Penyebabnya adalah kurangnya minat untuk mematangkan pikirannya.

Kematangan berpikir seseorang, dapat dilihat dari caranya menyelesaikan masalah kehidupan. Jika seseorang berani menghadapi setiap masalah, dan bukan lari dari masalah, sekecil apapun masalah itu, berarti dia termasuk orang yang bertanggungjawab. Sikap itu menjadi pertanda, bahwa dia memiliki kepribadian yang baik dan kematangan berpikir.

3. Kematangan Secara Psikologis
Seseorang dapat dikatakan matang secara psikologis, bila mampu mengembangkan perhatian-perhatian di luar dirinya. Hal itu dapat dilihat dari interaksi yang dilakukannya dengan sesuatu (pekerjaan misalnya) atau seseorang, dimana dalam hubungan itu, dia mampu terlibat secara langsung dan memiliki partisipasi secara penuh.

Orang yang matang secara psikologis, juga memiliki kemampuan dalam memilih aktifitas yang tepat, cocok, dan penting, ataupun berarti baginya. Jika pekerjaan itu dipandang penting, maka dia akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Dengan mental seperti ini maka dia mampu mendapatkan hasil terbaik dari segala hal yang dikerjakannya. Hal ini berlaku untuk semua hal termasuk hubungan suami-istri.

Kualitas kematangan psikologis dapat dilihat dari tingkat penerimaan diri. Yakni kemampuan menerima semua sisi kepribadiannya, termasuk kelemahan-kelemahannya tanpa menyerah secara pasif terhadap kelemahan tersebut. Kepribadian yang matang juga tak tertawan oleh emosi. Sebaliknya dia cenderung dapat mengendalikan emosi itu, dengan mengarahkannya ke arah yang lebih konstruktif, bukan dengan cara menekannya. Sikap ini penting bagi suami, sehingga tidak mengganggu keharmonisan rumah tangga. Kematangan psikologis juga tercermin dari kesabarannya. Sabar saat tertimpa musibah, sabar dalam ketaatan dan sabar dari maksiat. Sungguh ia telah menjadi pribadi yang unggul dan mengagumkan! (Bersambung). 
 
 
*diambil dari Usrah Majalah Taujih Edisi Juni 2014

No comments:

Post a Comment