Drop Down Menu

Tuesday, 23 September 2014

Duka Tahun Baru

Story by: Jundii Al-Kayyis


“Bentangan langit hitam tergelar. Pekat. Kelam tak berbintang. Namun ruahan hujan menderas, mendenting menyentuh bumi. Beralun dalam serenade, seakan bernyanyi. Menyanyikan lagu hujan. Hembusan angin mendesau, menyisir bulu kuduk, menembus tiap inchi pori-pori tubuh, menghunjamkan dingin yang menusuk tulang.”

Malam kian larut. Menyeret setiap detiknya menuju kegelapan yang kian pekat. Tapi mataku bertahan. Tak hendak menuruti keinginan tuannya untuk terpejam. Berkedip-kedip dalam keremangan, menyasar setiap sudut yang mampu tertangkap kornea dari tempatku merebah. Sementara jutaan neuron dalam otakku menyala, menyambung satu sama lain, memutar potongan-potongan gambar yang tersimpan dalam memori, bagai film lama yang diputar kembali. Dan rasioku pun melesat, melintasi dimensi ruang dan waktu. Melempar ingatanku jauh ke masa lalu. Mataku basah. Air mata merembes begitu saja dari kedua sudutnya. Ingatanku terheti pada seringai polos dan senyum kekanakan. Tergurat di siluet wajah yang tak mungkin lagi dapat ku temui kini. Batinku sesak... pikiranku kalut. Hujan di luar benar-benar menghadirkan kembali atmosfer malam itu...

Moment yang sama, media hujan malam tahun baru 2013.

Dunia gegap gempita. Ricuh, ramai sekali! Selalu begitu. Selalu sama, di setiap tahunnya. Akhir dari sesuatu yang menjadi awal bagi sesuatu yang lain. Sebentar lagi, tahun 2012 kan menutup eksistensinya. Menambah satu bilangan kehidupan, 2013. Barangkali, malam ini seluruh manusia di muka bumi atau sebagian besarnya tengah larut dalam euforia perayaan tahun baru dengan segala bentuknya. Dan meski terasing dari hingar bingar dunia, aku dan kawan-kawanku masih bisa menikmati langit malam yang ramai oleh kembang api dari pesantren tempat kami belajar.

Hujan merintik pelan. Bulir-bulirnya jatuh di atas kepala dan pundak-pundak kami. Saat itu, kami tengah berdiri berjajar, berbaris rapi mengikuti apel malam. Sejenak, pendengaranku menangkap sebuah suara. Seseorang memanggil namaku. Aku menoleh ke asal suara dan mendapati kawanku di sana. Ia menyampaikan pesan seorang ustadz untukku agar segera datang ke Maktab Syarqi (Kesantrian Timur), menemui Beliau di sana.

Entah mengapa, seketika bayangan adikku yang tergolek lemah di rumah sakit hadir memenuhi pikiranku. Ya, dalam beberapa hari terakhir adikku harus berjuang melawan sakitnya dengan tubuhnya yang kian lemah. Sementara aku tak mungkin selalu ada di sisinya karena tanggung jawab yang ku miliki sebagai santri. Sembari berjalan, berbagai sangka dan praduga buruk muncul silih berganti. Melesakkan kekhawatiran yang sangat dalam benakku. Kakikku terus melangkah, setengah berlari menuju Maktab Syarqi untuk memenuhi panggilan ustadz. Dari kejauhan, pandanganku menangkap siluet ustadz yang berdiri di depan pintu yang setengah terbuka. Namun, belum sampai langkahku berhenti tepad di hadapannya, ribuan tanda tanya di pikiranku mendorongku untuk segera mencari jawaban.

“Assalamu’alaikum... ada apa ya, Ustadz?”

“Wa’alaikumssalam... Ehm. Begini, akhi...” jawab Ustadz memulai pembicaraan. “Yang sabar ya... Pamanmu sebentar lagi akan datang menjemput. Sekarang, kamu siap-siap untuk pulang bersama Beliau...” sambung Ustadz hati-hati.

Kepalaku pening seketika. Hatiku kacau. Rasa sedih menjalar memenuhi batinku. Air mataku tak terbendung lagi. Kabar yang Ustadz bawa sudah cukup menjelaskan semuanya. Bahwa apa yang telah ku khawatirkan benar-benar terjadi. Satu bagian dari mereka yang ku sayang harus pergi mendahului kami. Membekas rasa kehilangan yang menjejak dalam. Adukku tersayang, di bawah langit malam tahun baru, medio hujan yang merintik pelan, ia pergi. Pergi yang tak kembali. Mendahului kami semua. Melepas segala belenggu dunianya yang fana menuju keabadian yang tak ada batasnya. Meletakkan pernak-pernik semu kehidupan untuk menjemput kehakikian yang sesungguhnya.

Perjuanganmu telah usai, dik.

Semua berakhir di titik ini.

Semoga pahit yang kau rasakan serta kesabaranmu dalam bertahan, akan berujung pada manis yang kau cecap di bawah naungan kasih sayang Allah. Semoga sakitmu ini, cukup sampai di sini. Di garis batas duniamu. Lalu kau cerap segala kenikmatan yang Allah janjikan bagi hamba-Nya yang bersabar.

Rest in Peace, Abdullah Jundi Ar-Rasikhun, 31 Des-2012.

Kisah ini kutulis untuk mengenangnya, dan juga ku persembahkan kepada Abi dan Umi yang telah rela dan ikhlas akan kepergiannya, serta bisa bersabar atasnya.

Untuk sahabat dan kawan-kawanku di PPIDS PA yang penuh rasa membesarkan hatiku. Dan untuk semuanya, yang telah membantuku dan keluarga dalam menghadapi ini semua.




*diambil dari Kisah Nyata Majalah Taujih Edisi Juni 2014

No comments:

Post a Comment