Drop Down Menu

Friday 17 October 2014

Petaka Lidah



Volume 8 Nomor 2 Tahun ke-9

Allah swt telah menganugerahkan kepada hamba-Nya kenikmatan yang luar biasa besarnya. Di antara kenikmatan yang paling besar setelah nikmat Islam adalah nikmat berbicara dengan lisan. Lisan ibarat pedang yang mempunyai dua mata sisi yang teramat tajam, jika digunakan dalam ketaatan kepada Allah swt seperti membaca Al-Quran, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, membela orang yang terzhalimi, dll. Maka hal ini dituntut terhadap setiap muslim dan ini merupakan bentuk syukurnya hamba terhadap nikmat lisan.

Namun, jika lisan digunakan dalam ketaatan terhadap setan dan bala tentaranya seperti
memecah belah persatuan umat muslimin, berdusta, bersumpah palsu, berbuat ghibah, namimah (mengadu domba), menjatuhkan kehormatan kaum muslimin, dan semua yang diharamkan Allah swt dan Rasul-Nya saw, maka hal ini terlarang (haram) dan merupakan kekafiran terhadap nikmat Allah swt.

Dua Petaka Besar Pada Lisan


Yang pertama adalah tergelincirnya lisan dalam perkataan-perkataan yang batil. Hal ini dikarenakan penentangan terhadap perkara yang haq atau berkata tanpa ilmu. Syari’at Islam mengajarkan agar tidak berkata kecuali dengan perkataan yang benar/baik, jika tidak bisa maka diam itu lebih baik baginya. Rasulullah saw bersabda,

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kiamat maka berkatalah yang baik atau jika tidak bisa maka diamlah.” (HR Al-Bukhari: 6016, Muslim: 48).
 
Ibnu Rajab ra berkata, “Hadis di atas menunjukkan tidak ada kesamaan antara berkata dan diam. Akan tetapi, jika dia bisa berkata yang baik maka hendaknya dia berkata dan hal itu diperintahkan. Namun, jika hal itu buruk maka dia diperintah untuk diam.” 1

Yang kedua adalah diam dari kebenaran. Diam terhadap kebenaran adalah setan yang bisu, dan merupakan kemaksiatan terhadap Allah swt, sedangkan berkata dalam kebatilan adalah setan yang berbicara, dan kebanyakan manusia melakukan perkara ketergelinciran lisan di atas, suka berkata yang batil dan diam terhadap kebenaran, sedangkan orang yang berada di antara keduanya adalah mereka yang menahan lisannya dari berbicara yang batil. Dan menggunakan lisannya dalam perkara-perkara yang baik.2

Di antara petaka-petaka lisan yang harus dijauhi adalah:

Ghibah

Ghibah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw adalah “pembicaraanmu terhadap saudaramu yang lain dalam hal yang dibencinya”. Para sahabat ra bertanya, ”Bagaimana jika yang diperbincangkan itu benar?”. Beliau saw berkata, “Jika benar apa yang dibicarakan maka engkau telah meng-ghibahnya, jika hal itu tidak benar adanya maka sungguh engkau telah berbuat kebohongan.” (HR Muslim: 2589).

Allah swt telah melarang ghibah. Allah berfirman:

“Dan janganlah menggunjing sebagian di antara kalian dengan yang lainnya. Adakah seorang di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Ghibah adalah dosa besar. Karena itu, ghibah tidak bisa terhapus dengan shalat, sedekah, puasa, haji. Pada ayat di atas, Allah melarang ghibang lalu Allah memberikan perumpamaan “jika datang kepadamu saudaramu muslim dalam keadaan mati, apakah engkau suka memakan dagingnya?” Jawabnya “tidak”. Semua akan berkata “aku tidak suka!” Jika dikatakan “apa kesesuaian misal di atas dengan ghibah?” maka kami katakan, “Sesungguhnya orang yang dighibah itu tidak ada maka tidak mungkin dia bisa membela dirinya, hal ini sama seperti mayit jika engkau potong dagingnya tidak mungkin dia akan menolaknya.” Oleh karena itu, jika engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang dibencinya sedangkan dia ada, maka hal itu tidak termasuk ghibah, namun hal itu termasuk celaan dan makian. (Lihat Syarh Riyadush Shalihin asy-Syaikh al-Utsaimin 4/79-80).

Hukum Bagi Peng-Ghibah?

Rasulullah saw bersabda,

“Tatkala aku dimi’rajkan (diangkat dari bumi ke langit), aku melewati sebuah kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, yang menampar dan melukai wajah-wajahnya dan dada-dadanya, lalu aku berkata, ‘Siapakah mereka, wahai Jibril?’ Jibril berkata, ‘mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia serta menjatuhkan kehormatannya.” (ash-Shahohah 2/32).

Balasan sesuai dengan amalannya, orang yang menggunjing saudaranya semuslim seperti memakan daging saudaranya yang telah mati maka balasannya nanti di akhirat kuku-kukunya yang dari besi akan memakan daging dirinya, dengan mencabik-cabik wajah dan dadanya. (Syarh Sunan Abu Dawud asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad 28/119).


Namimah

Berkata al-Imam al-Ghazali ra sebagiamana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, namimah adalah penukilan perkataan datau perbuatan dari seseorang untuk merusaknya, baik diketahui atau tidak oleh orang yang dibicarakannya. Baik yang dinukil itu aib atau bukan.3

Namimah atau sering kita kenal dengan “adu domba” merupakan perkara yang diharamkan oleh Allah swt, bahkan pelakunya disiksa dalam kuburnya, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah saw, “Keduanya disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa karena sesuatu yang besar,
4 salah satu di antara keduanya tidak bersuci dari kencingnya dan yang satunya suka mengadu domba (namimah).” (HR Al-Bukhari: 6055).

Begitu pula pelaku namimah tidak akan masuk surga. Hal itu dijelaskan oleh Rasulullah saw,

“Tidak akan pernah masuk surga pengadu domba.” (HR. Al-Bukhari: 6065).

Oleh karena itu, hendaknya kita menjauh sejauh-jauhnya dari perbuatan mengadu domba (namimah), sebagai bentuk realisasi kita terhadap firman Allah swt, “yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah” (QS Al-Qalam [68]: 11) dan “kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS Al-Humazah [104]: 1).

Berbicara Atas Nama Allah SWT Tanpa Ilmu

Maknanya, bahwa setiap orang yang berbicara atas nama Allah swt tanpa ilmu adalah berdusta tentang Allah swt dan Rasulullah saw, dan ini merupakan dosa yang paling besar dan paling buruk. Allah swt berfirman,

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu tidak mendapat keberuntungan.” (QS Al-An’am [6]: 21). 

Allah swt juga berfirman: “Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksa yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling." (QS Al-An'am [6]: 157).

Rasulullah saw bersabda,

“Barang siapa berdusta atasku maka silahkan mengambil tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari: 108). Dan teramat banyak dalil yang menjelaskan bahaya berkata tanpa ilmu. Maka, betapa pentingnya ilmu bagi kita, terutama bagi para mubaligh dan da’i, agar menjauhi berbicara tanpa ilmu.

Qadzaf (Tuduhan Keji)

Hal ini merupakan perkara yang diharamkan oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya, 

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah meraka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nur [24]: 4).

Saudaraku yang dirahmati Allah swt, masih banyak perkara-perkara yang menjadi petaka lisan, di antaranya: bersumpah dengan selain nama Allah swt, jidal (berbantah-bantahan) di dalam permusuhan, mencela masa, mencela orang tua seseirrang yang menjadi sebab orang tuanya dicela dll., dan yang tidak mungkin dijelaskan satu per satu dalam ruang yang singkat ini.

Kewajiban Menjaga Lisan

Rasulullah saw bersabda kepada Uqbah ibn Amir ra ketika bertanya tentang kesuksesan,

“Jagalah lisanmu, luaskan rumahmu, dan menangislah terhadap kesalahanmu!” (HR At-Tirmidzi: 206)5

Akhirnya, mari kita menjaga lisan kita dari petaka yang akan membinasakan pemiliknya di dunia dan akhirat, dan membawanya dalam ketaatan kepada Allah swt.
Allahu A’lam.

-Abu Rima-



Referensi:

Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab (736-795 H) hlm. 142

2Afatul Lisan ‘ala Dhau’il Kitab was Sunnah karya Sa’id ibn Ali ibn Wahb al-Qahthani hlm. 2

3Fathul Bari karya Ibnu Hajar 10/580

4 Maksudnya adalah dianggap remeh, padahal ia termasuk dosa besar.

5Berkata Abu Isa, “Hadis ini hasan.” Dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Sunan at-Tirmidzi 4/605.




*diterbitkan oleh Buletin Al Furqon “Menebar Dakwah Salafiyyah Ahlusunnah wal Jama’ah” (blog: buletin-alfurqon.blogspot.com, email: buletin.alfurqon@gmail.com)

No comments:

Post a Comment