Drop Down Menu

Saturday, 4 October 2014

Menakar Keimanan

Oleh: Ust. Oemar Mita, Lc.

Terkadang Iman tidak bisa dilogika oleh hamba. Karena iman bukan terletak pada otak, tetapi ia terletak kepada keyakinan yang tinggi seorang hamba kepada Rabbnya.

Iman itu jalannya keras dan kerikilnya selalu tajam serta menyakiti kaki kehidupan. Tapi bukankah Rabb semesta Alam yang memberikan pertolongan kepada setiap hamba yang beriman secara benar? Karena sungguh pertolongan jauh lebih besar dari ujian yang diberikan kepada insan yang beriman. 


Kadang konsekuensi iman begitu berat, layaknya Nabi yang menolak untuk duduk di Darun Nadwah. Ataupun menolak kesepakatan untuk saling bergantian dalam beribadah dengan orang kafir sehingga turun surat Al Kafirun.

Ia juga kadang harus melepas sebuah kesempatan besar ketika kesempatan itu tercampur antara kebathilan dan kebathilan. Bukankah Nabi hampir saja menyepakati sebuah kesempatan besar ketika orang-orang musyrik menawarkan jalan tengah kepada Rasulullah supaya ia mengusap kaki berhala? Dan dengan itu kaum musyrikin akan berbondong-bondong masul Islam. Namun Allah menurunkan surat Al-Isra ayat 73-75.

Jalan iman terkadang menyebabkan seakan kalah di mata manusia. Sebagaimana Nabi Muhammad yang harus terusir dari kampung tercinta. Sebagaimana Nabi Musa yang meninggalkan Mesir dan dikejar-kejar oleh Fir’aun? Tetapi lihatlah sejarah bahwa kemenangan datang pada detik-detik yang terakhir. Ketika Allah membalik semua keadaan.

Bukankah hijrah yang identik dengan terusir justru menjadi pukulan terberat bagi orang-orang musyrik? Dan bukankah tongkat Nabi Musa yang mengubah lautan menjadi daratan? Padahal beberapa detik sebelumnya Nabi Musa masih kebingungan, apa yang harus ia lakukan, karena dihadapannya lautan dan dibelakangnya Fir’aun?

Tidak usah dilogika jalan iman, karena ia bukan logika khas akal. Iman adalah keyakinan terhadap Rabbnya. Mari kita memilih jalan keimanan sesuai yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukan jalan iman yang hanya berdasarkan logika semata, seperti demokrasi. Karena pilihan ini sebagai pertanggung-jawaban iman kita di hadapan Allah.

Wallahu a’lam bish shawwab.



*diambil dari Muhasabah Majalah Taujih Edisi Mei 2014

No comments:

Post a Comment