Edisi 46 Tahun XXIII – Dzulhijjah 1435 H / Oktober 2014 M
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh
(QS Al Hajj [22]: 27)
(QS Al Hajj [22]: 27)
Rasa syukur kembali kita
tunjukkan kepada Allah swt, pagi ini bersama sekitar tiga juta jamaah haji,
kita laksanakan shalat Idul Adha, sesudah ini kitapun akan melakukan
penyembelihan hewan qurban, semuanya adalah dalam rangka meningkatkan kedekatan
dan ketaqwaan kita kepada Allah swt sebagaimana firman-Nya:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah
Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap
hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik. (QS Al Hajj [22]: 37).
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al Mumtahanah [60]: 4).
Empat Pelajaran
Haji dan qurban memberikan
pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Salah satunya adalah betapa setiap
kita harus mewujudkan komitmen atau keterikatan tertinggi kepada Allah swt.
Dalam kesempatan khutbah yang singkat ini, paling tidak ada empat pelajaran
yang dapat kita ambil dari ibadah haji dan qurban.
Pertama, selalu berusaha
memenuhi panggilan Allah swt. Haji adalah keputusan seorang muslim untuk
mengunjungi Ka’bah dan menunaikan rukun Islam yang kelima. Setiap muslim
sebenarnya sudah dipanggil oleh Allah swt untuk menunaikan ibadah haji. Persoalannya
kita merasa terpanggil apa tidak. Sama dengan panggilan shalat setiap hari
melalui adzan, tapi hanya sedikit orang yang terpanggil untuk shalat di masjid.
Untuk memenuhi panggilan ibadah
haji, seorang muslim akan berusaha sebisa mungkin meskipun bharus berjalan kaki
dari tempat yang jauh. Dalam konteks sekarang, setiap muslim berniat untuk haji
dan berusaha memenuhi biayanya dengan cara menabung sedikit demi sedikit.
Diriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwa dahulu diantara kaum muslimin ada yang
menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, pada kesempatan lain, kaum muslimin
diperintahkan membawa bekal untuk pergi haji, dibolehkan membawa kendaraan
bahkan membawa barang daganganm karenanya Allah swt menurunkan firman-Nya:
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh (QS Al Hajj [22]: 27).
Kedua, Memadukan duniawi
dan ukhrawi, hal ini karena dunia dan akhirat bukan sesuatu yang harus
dioertentangkan. Dalam ibadah haji tercermin perpaduan itu melalui tawaf dan sa’i.
Tawaf atau mengelilingi Ka’bah memberikan gambaran kepada kita bahwa manusia
ingin selalu merasa dekat kepada Allah swt. Secara harfiah, sa’i artinya usaha,
melambangkan usaha mencari nafkah yang dilakukan oleh Siti Hajar, isteri dari
Nabi Ibrahim as. Dalam ibadah haji, sa’i adalah berjalan dan berlari kecil
antara bukit Shafa dengan bukit Marwa dengan tujuh kali balik. Bila tawaf
melambangkan kedekatan kepada Allah swt, sa’i justru melambangkan usaha yang
bersifat duniawi. Ini berarti seseorang yang merasa dekat kepada Allah swt
bukan berarti ia tidak mau usaha lagi dalam mencari nafkah, namun kalau mencari
nafkah jangan sampai mengabaikan kedekatannya kepada Allah swt. Karenanya sa’i
berlangsung dari Shafa yang artinya suci ke Marwa yang artinya ideal. Ini
berarti setiap usaha duniawi harus berangkat dari hati yang suci dan
mencapainya jangan sampai mengorbankan nilai-nilai idealisme kebenaran.
Memang dalam kehidupan kita
sekarang, banyak orang yang merasa harus dekat kepada Allah swt tapi
mengabaikan keharusannya mencari nafkah sementara orang yang mencari nafkah
justru mengabaikan kedekatannya kepada Allah swt sehingga menghalalkan segala
cara. Yang lebih memprihatinkan, menghalalkan segala cara bukan karena tidak
mengerti, tapi karena menganggap remeh dosa untuk mendapatkan kepentingan dunia
lainnya. Bagi kita, sekalian banyak orang yang demikian, sikap kita tidak
demikian, karena tanggungjawab ada pada masing-masing orang, disinilah pentingnya
sikap istiqamah, bukan ikut-ikutan dan larut pada situasi dan kondisi yang
berkembang, Rasulullah saw bersabda:
Janganlah kamu menjadi orang yang “ikut-ikutan” dengan mengatakan kalau
orang lain berbuat kebaikan, kamipun akan berbuat baik, dan kalau mereka
berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip; kalau orang lain
berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat
kejahatan kami tidak akan melakukannya. (HR Tirmidzi).
Ketiga, yang merupakan
pelajaran dari haji dan qurban adalah Komitmen Hukum, ini merupakan pelajaran
penting dari ibadah haji yang dimulai dengan ihram dan diakhiri dengan
tahallul. Secara harfiyah, ihram
berarti mengikat atau menahan diri dari larangan-larangan yang sebelumnya
dibolehkan. Dalam konteks ibadah haji, ihram berarti niat untuk melakukan haji
sehingga dengan niat yang sudah tertancap di dalam hati, seseorang mulai
mengikatkan diri dari melakukan larangan-larangan tertentu.
Secara harfiah tahallul dari kata halla yang artinya
halal. Dalam ibadah haji dan umrah, tahallul adalah keluar dari keadaan ihram
dengan berakhirnya larangan-larangan yang terkait dengan saat berihram. Saat
ihram, pakaian yang dikenakan jamaah adalah kain putih tak berjahit, yang
melambangkan kain kafan yang nantinya akan dikenakan disekujur tubunya ketika
akan kembali kepada Allah pada saat kematiannya. Pakaian ihram yang putih-putih
itu juga melambangkan tidak adanya perbedaan dimata Allah antara manusia.
Segala perbedaan harus ditanggalkan seperti perbedaan status sosial, ekonomi
atau profesi. Kesatuan dan persamaan merupakan sesuatu yang harus diutamakan
dalam upaya menegakkan kebenaran, bahkan siap mempertanggungjawabkan segala
yang dilakukannya. Pakaian ihram juga melambangkan kesiapan berdisiplin dalam
menjalankan kehidupan sebagaimana yang ditentukan Allah swt, hal ini karena
selama berihram, jamaah haji memang berhadapan dengan sejumlah ketentuan, ada
yang boleh dan ada yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, seorang haji
semestinya selalu disiplin menjalankan syari’at Islam dan siapapun yang
menjalankan syari’at Islam mendapat kedudukan yang terhormat. Kehormatan
manusia bukan terletaj pada pakaiannya, tapi pada ketaqwaannya dihadapan Allah
swt. Bila ihram maknanya adalah pengharaman dan haji diakhiri dengan tahallul
yang maknanya adalah pengalalan, maka seorang haji siap meninggalkan yang
diharamkan Allah swt dan hanya mau melakukan sesuatu bila memang dihalalkan.
Hikmah Keempat adalah
memperkokoh basis keluarga. Kisah keluarga Nabi Ibrahim as memberikan pelajaran
kepada kita betapa perhatian yang begitu besar dari seorang ibu kepada anaknya,
meski tanpa kehadiran suami atau bapak disisinya. Sebagaimana kita tahu,
setelah Nabi Ibrahim kembali ke Palestina, Siti Hajar yang hidup di Makkah
bersama bayi Ismail berada dalam situasi sangat sulit; tidak ada orang,
tanaman, binatang hingga air. Siti Hajar berusaha mencari Rizki menuju bukit
Shafa dengan meninggalkan Ismail. Kekhawatiran dan perhatiannya yang besar pada
anak membuatnya harus kembali untuk memastikan sang anak dalam keadaan baik.
Sekarang ini kita dapati berbagai kasus yang menggambarkan kurangnya perhatian
orang tua kepada anak, bahkan jangankan bapak, ibu-ibu saja kurang perhatiannya
kepada anak, bisa karena kesibukan atau sekedar mencari-cari kesibukan diluar
rumah yang tidak jelas manfaatnya.
Dalam soal perhatian ibu kepada
anak, kita perlu belajar dari banyak binatang, salah satunya ayam kampung yang
dalam hal ini diistilahkan dengan seradung. Sesudah telur dikeram beberapa
hari, jadilah itik. Itik itu langsung diajak mencari makan dan induknya siap
melindungi dari gangguan siapapun. Karena itu jangan coba-coba mendekati
apalagi mengganggu sang itik. Induknya akan melakukan seradung yakni menyerang
sang pengganggu meskipun manusia.
Coba bayangkan, orang tua
seharusnya siap melindungi anaknya dan ia tunjukkan tanggungjawab dan
keberanian yang luar biasa, ayam itu tidak takut pada manusia sekalipun, demi
anak, meskipun ia bukan ayam jago. Orang yang diseradung jadi takut pada induk
ayam itu. Sayang sekali, banyak orang di zaman sekarang tidak melindungi
anak-anaknya, bahkan naudzubillah sampai
ada yang menelantarkan, menganiaya, menzalimi hingga membunuhnya.
Siti Hajar berhasil tidak hanya
membesarkan sang anak, tapi juga mendidik hingga memiliki kematangan mental dan
intelektual dengan akhlak yang mulia, ini tercermin dari dialog Nabi Ibrahim as
dengan Ismail yang beranjak remaja yang diceritakan Allah swt dalam firman-Nya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”. (QS Ash Shaffat [37]: 102).
Komitmen tertinggi kepada Allah
swt telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as, beliau menunjukkan ketaatan yang
luar biasa sejak muda remaja sampai tua. Ketika Ibrahim menghancurkan
berhala-berhala raja Namrudz, itu dilakukannya saat Ibrahim masih muda remaja,
bandingkan dengan saat beliau melaksanakan perintah menyembelih Ismail yang
sudah sangat tua. Siti Hajar menunjukkan komitmen tertinggi dengan sangat
berbaik sangka kepada Allah swt saat ia ditinggal sendirian bersama bayinya
Ismail di Makkah yang saat itu belum ada kehidupan, tapi ia jalani hidup dengan
penuh kesaungguhan, usaha yang keras dan tawakal kepada Allah swt. Dan Ismail
juga menunjukkan komitmen tertinggi dengan kesiapan, bahkan meyakinkan ayahnya untuk
melaksanakan apa yang diperintah Allah swt.
Kunci semua itu adalah tidak
kompromi dan berkoalisi dengan syaitan dan para pengikutnya, mendudukkannya sebagai
musuh abadi hingga selalu ada kesiapan untuk memeranginya yang dilambangkan
dengan ibadah melontar di Mina dalam ibadah haji. Allah swt berfirmah:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya
setan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah [2]: 208).
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
Disarikan dari Khutbah Idul Adha 1435 H di Masjid
Baiturrahman Perumahan Permata Arcadia Cimanggis
*diterbitkan oleh
Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment