Drop Down Menu

Friday 24 October 2014

Mewujudkan Komitmen Tertinggi



Edisi 46 Tahun XXIII – Dzulhijjah 1435 H / Oktober 2014 M


Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh
(QS Al Hajj [22]: 27)

Rasa syukur kembali kita tunjukkan kepada Allah swt, pagi ini bersama sekitar tiga juta jamaah haji, kita laksanakan shalat Idul Adha, sesudah ini kitapun akan melakukan penyembelihan hewan qurban, semuanya adalah dalam rangka meningkatkan kedekatan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt sebagaimana firman-Nya:

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Hajj [22]: 37).

Suasana haji, Idul Adha dan Ibadah Qurban mengarahkan kenangan kita kepada sosok-sosok agung yang harus diteladani, tidak hanya oleh kita, tapi juga oleh Nabi kita Muhammad saw sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt:

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al Mumtahanah [60]: 4).

Empat Pelajaran

Haji dan qurban memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Salah satunya adalah betapa setiap kita harus mewujudkan komitmen atau keterikatan tertinggi kepada Allah swt. Dalam kesempatan khutbah yang singkat ini, paling tidak ada empat pelajaran yang dapat kita ambil dari ibadah haji dan qurban.

Pertama, selalu berusaha memenuhi panggilan Allah swt. Haji adalah keputusan seorang muslim untuk mengunjungi Ka’bah dan menunaikan rukun Islam yang kelima. Setiap muslim sebenarnya sudah dipanggil oleh Allah swt untuk menunaikan ibadah haji. Persoalannya kita merasa terpanggil apa tidak. Sama dengan panggilan shalat setiap hari melalui adzan, tapi hanya sedikit orang yang terpanggil untuk shalat di masjid.

Untuk memenuhi panggilan ibadah haji, seorang muslim akan berusaha sebisa mungkin meskipun bharus berjalan kaki dari tempat yang jauh. Dalam konteks sekarang, setiap muslim berniat untuk haji dan berusaha memenuhi biayanya dengan cara menabung sedikit demi sedikit. Diriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwa dahulu diantara kaum muslimin ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, pada kesempatan lain, kaum muslimin diperintahkan membawa bekal untuk pergi haji, dibolehkan membawa kendaraan bahkan membawa barang daganganm karenanya Allah swt menurunkan firman-Nya:

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS Al Hajj [22]: 27).

Kedua, Memadukan duniawi dan ukhrawi, hal ini karena dunia dan akhirat bukan sesuatu yang harus dioertentangkan. Dalam ibadah haji tercermin perpaduan itu melalui tawaf dan sa’i. Tawaf atau mengelilingi Ka’bah memberikan gambaran kepada kita bahwa manusia ingin selalu merasa dekat kepada Allah swt. Secara harfiah, sa’i artinya usaha, melambangkan usaha mencari nafkah yang dilakukan oleh Siti Hajar, isteri dari Nabi Ibrahim as. Dalam ibadah haji, sa’i adalah berjalan dan berlari kecil antara bukit Shafa dengan bukit Marwa dengan tujuh kali balik. Bila tawaf melambangkan kedekatan kepada Allah swt, sa’i justru melambangkan usaha yang bersifat duniawi. Ini berarti seseorang yang merasa dekat kepada Allah swt bukan berarti ia tidak mau usaha lagi dalam mencari nafkah, namun kalau mencari nafkah jangan sampai mengabaikan kedekatannya kepada Allah swt. Karenanya sa’i berlangsung dari Shafa yang artinya suci ke Marwa yang artinya ideal. Ini berarti setiap usaha duniawi harus berangkat dari hati yang suci dan mencapainya jangan sampai mengorbankan nilai-nilai idealisme kebenaran.

Memang dalam kehidupan kita sekarang, banyak orang yang merasa harus dekat kepada Allah swt tapi mengabaikan keharusannya mencari nafkah sementara orang yang mencari nafkah justru mengabaikan kedekatannya kepada Allah swt sehingga menghalalkan segala cara. Yang lebih memprihatinkan, menghalalkan segala cara bukan karena tidak mengerti, tapi karena menganggap remeh dosa untuk mendapatkan kepentingan dunia lainnya. Bagi kita, sekalian banyak orang yang demikian, sikap kita tidak demikian, karena tanggungjawab ada pada masing-masing orang, disinilah pentingnya sikap istiqamah, bukan ikut-ikutan dan larut pada situasi dan kondisi yang berkembang, Rasulullah saw bersabda:

Janganlah kamu menjadi orang yang “ikut-ikutan” dengan mengatakan kalau orang lain berbuat kebaikan, kamipun akan berbuat baik, dan kalau mereka berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip; kalau orang lain berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya. (HR Tirmidzi).

Ketiga, yang merupakan pelajaran dari haji dan qurban adalah Komitmen Hukum, ini merupakan pelajaran penting dari ibadah haji yang dimulai dengan ihram dan diakhiri dengan tahallul. Secara harfiyah, ihram berarti mengikat atau menahan diri dari larangan-larangan yang sebelumnya dibolehkan. Dalam konteks ibadah haji, ihram berarti niat untuk melakukan haji sehingga dengan niat yang sudah tertancap di dalam hati, seseorang mulai mengikatkan diri dari melakukan larangan-larangan tertentu.

Secara harfiah tahallul dari kata halla yang artinya halal. Dalam ibadah haji dan umrah, tahallul adalah keluar dari keadaan ihram dengan berakhirnya larangan-larangan yang terkait dengan saat berihram. Saat ihram, pakaian yang dikenakan jamaah adalah kain putih tak berjahit, yang melambangkan kain kafan yang nantinya akan dikenakan disekujur tubunya ketika akan kembali kepada Allah pada saat kematiannya. Pakaian ihram yang putih-putih itu juga melambangkan tidak adanya perbedaan dimata Allah antara manusia. Segala perbedaan harus ditanggalkan seperti perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Kesatuan dan persamaan merupakan sesuatu yang harus diutamakan dalam upaya menegakkan kebenaran, bahkan siap mempertanggungjawabkan segala yang dilakukannya. Pakaian ihram juga melambangkan kesiapan berdisiplin dalam menjalankan kehidupan sebagaimana yang ditentukan Allah swt, hal ini karena selama berihram, jamaah haji memang berhadapan dengan sejumlah ketentuan, ada yang boleh dan ada yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, seorang haji semestinya selalu disiplin menjalankan syari’at Islam dan siapapun yang menjalankan syari’at Islam mendapat kedudukan yang terhormat. Kehormatan manusia bukan terletaj pada pakaiannya, tapi pada ketaqwaannya dihadapan Allah swt. Bila ihram maknanya adalah pengharaman dan haji diakhiri dengan tahallul yang maknanya adalah pengalalan, maka seorang haji siap meninggalkan yang diharamkan Allah swt dan hanya mau melakukan sesuatu bila memang dihalalkan.

Hikmah Keempat adalah memperkokoh basis keluarga. Kisah keluarga Nabi Ibrahim as memberikan pelajaran kepada kita betapa perhatian yang begitu besar dari seorang ibu kepada anaknya, meski tanpa kehadiran suami atau bapak disisinya. Sebagaimana kita tahu, setelah Nabi Ibrahim kembali ke Palestina, Siti Hajar yang hidup di Makkah bersama bayi Ismail berada dalam situasi sangat sulit; tidak ada orang, tanaman, binatang hingga air. Siti Hajar berusaha mencari Rizki menuju bukit Shafa dengan meninggalkan Ismail. Kekhawatiran dan perhatiannya yang besar pada anak membuatnya harus kembali untuk memastikan sang anak dalam keadaan baik. Sekarang ini kita dapati berbagai kasus yang menggambarkan kurangnya perhatian orang tua kepada anak, bahkan jangankan bapak, ibu-ibu saja kurang perhatiannya kepada anak, bisa karena kesibukan atau sekedar mencari-cari kesibukan diluar rumah yang tidak jelas manfaatnya.

Dalam soal perhatian ibu kepada anak, kita perlu belajar dari banyak binatang, salah satunya ayam kampung yang dalam hal ini diistilahkan dengan seradung. Sesudah telur dikeram beberapa hari, jadilah itik. Itik itu langsung diajak mencari makan dan induknya siap melindungi dari gangguan siapapun. Karena itu jangan coba-coba mendekati apalagi mengganggu sang itik. Induknya akan melakukan seradung yakni menyerang sang pengganggu meskipun manusia.

Coba bayangkan, orang tua seharusnya siap melindungi anaknya dan ia tunjukkan tanggungjawab dan keberanian yang luar biasa, ayam itu tidak takut pada manusia sekalipun, demi anak, meskipun ia bukan ayam jago. Orang yang diseradung jadi takut pada induk ayam itu. Sayang sekali, banyak orang di zaman sekarang tidak melindungi anak-anaknya, bahkan naudzubillah sampai ada yang menelantarkan, menganiaya, menzalimi hingga membunuhnya.
Siti Hajar berhasil tidak hanya membesarkan sang anak, tapi juga mendidik hingga memiliki kematangan mental dan intelektual dengan akhlak yang mulia, ini tercermin dari dialog Nabi Ibrahim as dengan Ismail yang beranjak remaja yang diceritakan Allah swt dalam firman-Nya:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS Ash Shaffat [37]: 102).

Komitmen tertinggi kepada Allah swt telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as, beliau menunjukkan ketaatan yang luar biasa sejak muda remaja sampai tua. Ketika Ibrahim menghancurkan berhala-berhala raja Namrudz, itu dilakukannya saat Ibrahim masih muda remaja, bandingkan dengan saat beliau melaksanakan perintah menyembelih Ismail yang sudah sangat tua. Siti Hajar menunjukkan komitmen tertinggi dengan sangat berbaik sangka kepada Allah swt saat ia ditinggal sendirian bersama bayinya Ismail di Makkah yang saat itu belum ada kehidupan, tapi ia jalani hidup dengan penuh kesaungguhan, usaha yang keras dan tawakal kepada Allah swt. Dan Ismail juga menunjukkan komitmen tertinggi dengan kesiapan, bahkan meyakinkan ayahnya untuk melaksanakan apa yang diperintah Allah swt.

Kunci semua itu adalah tidak kompromi dan berkoalisi dengan syaitan dan para pengikutnya, mendudukkannya sebagai musuh abadi hingga selalu ada kesiapan untuk memeranginya yang dilambangkan dengan ibadah melontar di Mina dalam ibadah haji. Allah swt berfirmah:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah [2]: 208).

Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
Disarikan dari Khutbah Idul Adha 1435 H di Masjid Baiturrahman Perumahan Permata Arcadia Cimanggis


*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah

No comments:

Post a Comment