Drop Down Menu

Friday, 19 December 2014

Pesan Moral (Bagian Keempat)



Edisi 2 Tahun XXIV -  Muharram 1436 H / Nopember 2014 H


“Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.
(QS At Taubah [9]: 49)

Pesan-pesan moral untuk mengingatkan dan memotivasi agar hidup lebih baik saya sampaikan setiap hari melalui media sosial seperti facebook, bbm dan whatsapp. Dengan sedikit tambahan uraian, saya sampaikan untuk jamaah pembaca bulletin Jumat Khairu Ummah.

1. Alasan

Orang tua terhadap anak atau pimpinan terhadap bawahan, bahkan kadang tidak suka bila seseorang banyak alasan. “Ah jangan banyak alasan,” katanya. Padahal alasan itu penting. Mengapa melakukan atau tidak melakukan sesuatu harus ada alasannya, tentu yang positif. Orang tidak suka dengan alasan, karena alasannya negatif, tidak jujur dan sekedar untuk dimaklumi. Aktivitas yang tidak beralasan, sekedar ikut-ikutan merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, karena segala sesuatu ada pertanggungjawabannya. Alasan itulah yang membuat amal kecil sekalipun bila dilakukan secara terus menerus menjadi amal yang disukai Allah swt.

Amal shaleh yang dilakukan dengan alasan yang benar merupakan sesuatu yang dituntut. Hal ini karena motivasi berbuat baik jadi kuat, bukan karena ikut-ikutan sehingga kapan dan dimana-pun seseorang akan melakukan kebaikan itu, meskipun hanya seorang diri, Rasulullah saw bersabda:

Janganlah kamu menjadi orang yang “ikut-ikutan” dengan mengatakan kalau orang lain berbuat kebaikan, kamipun akan berbuat baik, dan kalau mereka berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip; kalau orang lain berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya (HR. Tirmidzi).

Alasan dikemukakan juga oleh manusia untuk mendapatkan pemakluman dari tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw sehingga Allah swt dan Rasul-Nya membantah alasan yang tidak berdasar itu mulai dari tidak mau berhijrah hingga tidak mau berperang. Allah swt berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali (QS An Nisa [4]: 97).

Ada banyak alasan yang dilakukan orang untuk tidak mau berangkat berjuang, alasan yang kadangkala logis dan ada benarnya. Sahabat Jabir bin Abdillah ra menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih bahwa ketika Rasulullah saw hendaknya berangkat bersama para sahabat untuk perang Tabuk, beliau bertanya kepada al Jadd bin Qais: “Apa pendapatmu tentang berperang dengan orang-orang Romawi?”.

Ia menjawab: Ya Rasulullah, saya ini orang yang punya kegemaran pada wanita, dan kalau saya melihat wanita-wanita Romawi, saya pasti akan tergoda. Maka izinkanlah saya (tidak ikut perang) dan jangan buat saya tergoda, maka Allah swt menurunkan firman-Nya:

Diantara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (QS At Taubah [9]: 49).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Menyukai wanita yang cantik merupakan sikap yang ada pada setiap laki-laki. Namun kemampuan mengendalikan diri menjadi harus dikedepankan agar tidak mudah tergoda lalu melakukan yang tidak halal. Kedua, Karena hal itu ada pada setiap laki-laki, maka tidak pantas bila seseorang menjadikannya sebagai alasan untuk tidak mau berjuang atau berperang yang sangat ditekankan.

2. Beda Pendapat

Kalau ada beda pendapat, termasuk dalam masalah agama, sebenarnya sangat menarik. Kalau dia salah kita berkesempatan membetulkan dan meluruskan. Namun yang kita anggap salah belum tentu salah, kadang hanya beda persepsi. Hikmahnya kita bisa banyak belajar dari perbedaan pendapat, tentu buat yang mau belajar. Tapi bisa juga jadi bahan permusuhan bagi yang suka perpecahan.

Sejak masa Rasulullah saw, beda pendapat itu sudah ada, selama orang suka berdamai, maka ada titik temu atas perbedaan itu, minimal hatinya tetap bisa menyatu, namun bagi orang yang senang bermusuhan, apa saja dijadikan beda dan tidak suka dicarikan titik temunya, apalagi orang-orang yang di dalam hatinya ada kebusukan seperti orang Yahudi dan Nasrani, bahkan mereka sampai mengabaikan ajaran yang sesungguhnya dari Allah swt. Orang Yahudi dan Nasrani justeru saling memperdebatkannya hingga hilang keyakinan dalam hatinya.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari jalur Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu Abbas ra bahwa: “Ketika orang-orang Nasrani dari Najran mendatangi Rasulullah saw, para pendeta Yahudi justeru mendatangi mereka dan merekapun berdebat. Rabi’ bin Huraimalah berkata: ‘Kalian tidak mempunyai landasan apa-apa.’ Dan dia mengingkari kenabian Isa as dan kebenaran Injil.

Sementara itu, salah seorang dari orang-orang Nasrani Najran juga membalas dengan mengatakan: ‘Kalian tidak mempunyai landasan apa-apa’. Lalu, diapun mengingkari kenabian Musa as dan kebenaran Taurat. Maka Allah swt kemudian menurunkan firman-Nya:

Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,” padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. (QS Al Baqarah [2]: 113).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Merasa benar sendiri membuat manusia tidak mau menerima kebenaran yang ada di pihak lain, padahal sumbernya sama-sama dari Allah swt. Kedua, Bahaya yang timbul dari merasa benar sendiri adalah memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan, akibatnya seseorang mengimani satu hal lalu mengkufuri hal lain, padahal wahyu dan kebenaran dari Allah swt harus diterima seutuhnya.



3. Dikit dan Banyak

Untuk sesuatu yang menyenangkan tentu mau dapat banyak. Tapi sayang, sikap dan perilaku kita seringkali malah membuat kita dapoat sedikit pahala. Pahala misalnya, kalau mau dapat banyak, kenapa sikap dan perilaku kita justeru membuat kita dapat sedikit. Pahala shalat 27 kali lebih banyak bila dilakukan secara berjamaah, tapi mengapa kita tidak mau shalat berjamaah. Bila berjamaah itu dilakukan di masjid, tentu lebih banyak lagi. Tapi mengapa justeru kita tidak mau ke masjid, bahkan shalat sendirian di kamar?

Para sahabat Nabi, karena ingin sekali mendapatkan nilai pahala yang banyak, maka mereka berlomba-lomba dalam kebajikan. Sahabat Bani Salamah yang rumahnya paling jauh dari masjid tidak jadi membeli rumah yang dekat masjid, karena Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya orang yang terbesar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalanannya (HR. Muslim dari Abu Musa).

Kepastian dicatatnya langkah-langkah menuju masjid membuat sahabat Bani Salamah tidak jadi pindah ke dekat masjid, apalagi Rasulullah saw menekankan agar sahabat Bani Salamah tetap tinggal di daerah yang lebih jauh dari masjid, hal ini diceritakan oleh sahabat Jabir ra:
Di sekitar masjid terdapat tanah-tanah kosong, maka Bani Salamah ingin pindah ke dekat masjid. Hal itu sampai ke telinga Nabi, maka sabdanya: “Kudengar berita bahwa kamu akan pindah ke dekat masjid, benarkah itu?.” Ujar mereka: “Benar Ya Rasulullah, kami bermaksud demikian”. Beliaupun bersabda: “Wahai Bani Salamah, tetap sajalah di tempatmu masing-masing, langkah-langkahmu pasti dicatat”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sementara itu, sahabat Abdullah bin Ummi Maktum, meskipun matanya buta, rumahnya cukup jauh dari Masjid dan tidak ada orang yang menuntunnya, tetap begitu rajin datang ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.

Disamping itu, mendapatkah shaf pertama dalam shalat berjamaah membuat nilai pahala kita lebih besar lagi, karena para sahabat boleh dibilang rebutan untuk mendapatkannya sampai diantara mereka ada yang mengatakan: “Seandainya untuk mendapat shaf pertama caranya dengan diundi, kami akan ikut undian itu.”

Semoga kualitas hidup kita sebagai muslim dapat kita tingkatkan dari waktu ke waktu.
Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah


No comments:

Post a Comment