Edisi 2 Tahun XXIV - Muharram 1436 H / Nopember 2014 H
“Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.
(QS At Taubah [9]: 49)
Pesan-pesan moral untuk
mengingatkan dan memotivasi agar hidup lebih baik saya sampaikan setiap hari
melalui media sosial seperti facebook, bbm dan whatsapp. Dengan sedikit
tambahan uraian, saya sampaikan untuk jamaah pembaca bulletin Jumat Khairu
Ummah.
1. Alasan
Orang tua terhadap anak atau
pimpinan terhadap bawahan, bahkan kadang tidak suka bila seseorang banyak
alasan. “Ah jangan banyak alasan,” katanya. Padahal alasan itu penting. Mengapa
melakukan atau tidak melakukan sesuatu harus ada alasannya, tentu yang positif.
Orang tidak suka dengan alasan, karena alasannya negatif, tidak jujur dan
sekedar untuk dimaklumi. Aktivitas yang tidak beralasan, sekedar ikut-ikutan
merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, karena segala sesuatu ada
pertanggungjawabannya. Alasan itulah yang membuat amal kecil sekalipun bila
dilakukan secara terus menerus menjadi amal yang disukai Allah swt.
Amal shaleh yang dilakukan dengan
alasan yang benar merupakan sesuatu yang dituntut. Hal ini karena motivasi
berbuat baik jadi kuat, bukan karena ikut-ikutan sehingga kapan dan dimana-pun
seseorang akan melakukan kebaikan itu, meskipun hanya seorang diri, Rasulullah
saw bersabda:
Janganlah kamu menjadi orang yang “ikut-ikutan” dengan mengatakan kalau orang lain berbuat kebaikan, kamipun akan berbuat baik, dan kalau mereka berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip; kalau orang lain berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya (HR. Tirmidzi).
Alasan dikemukakan juga oleh
manusia untuk mendapatkan pemakluman dari tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan, ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw sehingga Allah swt dan
Rasul-Nya membantah alasan yang tidak berdasar itu mulai dari tidak mau
berhijrah hingga tidak mau berperang. Allah swt berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali (QS An Nisa [4]: 97).
Ada banyak alasan yang dilakukan
orang untuk tidak mau berangkat berjuang, alasan yang kadangkala logis dan ada
benarnya. Sahabat Jabir bin Abdillah ra menceritakan sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih bahwa ketika Rasulullah saw hendaknya
berangkat bersama para sahabat untuk perang Tabuk, beliau bertanya kepada al
Jadd bin Qais: “Apa pendapatmu tentang berperang dengan orang-orang Romawi?”.
Ia menjawab: Ya Rasulullah, saya
ini orang yang punya kegemaran pada wanita, dan kalau saya melihat
wanita-wanita Romawi, saya pasti akan tergoda. Maka izinkanlah saya (tidak ikut
perang) dan jangan buat saya tergoda, maka Allah swt menurunkan firman-Nya:
Diantara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (QS At Taubah [9]: 49).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Menyukai wanita yang cantik
merupakan sikap yang ada pada setiap laki-laki. Namun kemampuan mengendalikan
diri menjadi harus dikedepankan agar tidak mudah tergoda lalu melakukan yang
tidak halal. Kedua, Karena hal itu ada pada setiap laki-laki, maka tidak
pantas bila seseorang menjadikannya sebagai alasan untuk tidak mau berjuang
atau berperang yang sangat ditekankan.
2. Beda Pendapat
Kalau ada beda pendapat, termasuk
dalam masalah agama, sebenarnya sangat menarik. Kalau dia salah kita
berkesempatan membetulkan dan meluruskan. Namun yang kita anggap salah belum
tentu salah, kadang hanya beda persepsi. Hikmahnya kita bisa banyak belajar
dari perbedaan pendapat, tentu buat yang mau belajar. Tapi bisa juga jadi bahan
permusuhan bagi yang suka perpecahan.
Sejak masa Rasulullah saw, beda
pendapat itu sudah ada, selama orang suka berdamai, maka ada titik temu atas
perbedaan itu, minimal hatinya tetap bisa menyatu, namun bagi orang yang senang
bermusuhan, apa saja dijadikan beda dan tidak suka dicarikan titik temunya,
apalagi orang-orang yang di dalam hatinya ada kebusukan seperti orang Yahudi
dan Nasrani, bahkan mereka sampai mengabaikan ajaran yang sesungguhnya dari
Allah swt. Orang Yahudi dan Nasrani justeru saling memperdebatkannya hingga
hilang keyakinan dalam hatinya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari
jalur Sa’id atau Ikrimah dari Ibnu Abbas ra bahwa: “Ketika orang-orang Nasrani
dari Najran mendatangi Rasulullah saw, para pendeta Yahudi justeru mendatangi
mereka dan merekapun berdebat. Rabi’ bin Huraimalah berkata: ‘Kalian tidak mempunyai
landasan apa-apa.’ Dan dia mengingkari kenabian Isa as dan kebenaran Injil.
Sementara itu, salah seorang dari
orang-orang Nasrani Najran juga membalas dengan mengatakan: ‘Kalian tidak
mempunyai landasan apa-apa’. Lalu, diapun mengingkari kenabian Musa as dan
kebenaran Taurat. Maka Allah swt kemudian menurunkan firman-Nya:
Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,” padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. (QS Al Baqarah [2]: 113).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Merasa benar sendiri
membuat manusia tidak mau menerima kebenaran yang ada di pihak lain, padahal
sumbernya sama-sama dari Allah swt. Kedua, Bahaya yang timbul dari
merasa benar sendiri adalah memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu
diperdebatkan, akibatnya seseorang mengimani satu hal lalu mengkufuri hal lain,
padahal wahyu dan kebenaran dari Allah swt harus diterima seutuhnya.
3. Dikit dan Banyak
Untuk sesuatu yang menyenangkan
tentu mau dapat banyak. Tapi sayang, sikap dan perilaku kita seringkali malah
membuat kita dapoat sedikit pahala. Pahala misalnya, kalau mau dapat banyak,
kenapa sikap dan perilaku kita justeru membuat kita dapat sedikit. Pahala
shalat 27 kali lebih banyak bila dilakukan secara berjamaah, tapi mengapa kita
tidak mau shalat berjamaah. Bila berjamaah itu dilakukan di masjid, tentu lebih
banyak lagi. Tapi mengapa justeru kita tidak mau ke masjid, bahkan shalat
sendirian di kamar?
Para sahabat Nabi, karena ingin
sekali mendapatkan nilai pahala yang banyak, maka mereka berlomba-lomba dalam
kebajikan. Sahabat Bani Salamah yang rumahnya paling jauh dari masjid tidak
jadi membeli rumah yang dekat masjid, karena Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya orang yang terbesar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalanannya (HR. Muslim dari Abu Musa).
Kepastian dicatatnya
langkah-langkah menuju masjid membuat sahabat Bani Salamah tidak jadi pindah ke
dekat masjid, apalagi Rasulullah saw menekankan agar sahabat Bani Salamah tetap
tinggal di daerah yang lebih jauh dari masjid, hal ini diceritakan oleh sahabat
Jabir ra:
Di sekitar masjid terdapat tanah-tanah kosong, maka Bani Salamah ingin pindah ke dekat masjid. Hal itu sampai ke telinga Nabi, maka sabdanya: “Kudengar berita bahwa kamu akan pindah ke dekat masjid, benarkah itu?.” Ujar mereka: “Benar Ya Rasulullah, kami bermaksud demikian”. Beliaupun bersabda: “Wahai Bani Salamah, tetap sajalah di tempatmu masing-masing, langkah-langkahmu pasti dicatat”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sementara itu, sahabat Abdullah
bin Ummi Maktum, meskipun matanya buta, rumahnya cukup jauh dari Masjid dan
tidak ada orang yang menuntunnya, tetap begitu rajin datang ke masjid untuk
melaksanakan shalat berjamaah.
Disamping itu, mendapatkah shaf
pertama dalam shalat berjamaah membuat nilai pahala kita lebih besar lagi,
karena para sahabat boleh dibilang rebutan untuk mendapatkannya sampai diantara
mereka ada yang mengatakan: “Seandainya untuk mendapat shaf pertama caranya
dengan diundi, kami akan ikut undian itu.”
Semoga kualitas hidup kita
sebagai muslim dapat kita tingkatkan dari waktu ke waktu.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh
Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment