Banyak jalan yang ditempuh untuk menjadi kaya. Meskipun dengan cara
yang haram. Tak apalah mencari pinjaman atau utang riba, yang penting
bisa tentram dan hidup mewah. Itulah prinsip sebagian muslim di zaman
modern seperti ini.
Hidup Dengan Yang Halal Lebih Tentram
Suatu yang haram asalnya tidak menentramkan jiwa. Dosa selalu
menggelisahkan. Sama halnya dengan utang riba. Awalnya meminjam dalam
keadaan butuh, namun selanjutnya gelisah yang diperoleh karena
dikejar-kejar debitur atau pemilik utang untuk melunasi utang. Karena
hakekat riba adalah setiap utang piutang yang ada keuntungan atau
manfaat di dalamnya.
Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan
(dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan
tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di
tengah-tengah manusia.” (HR. Muslim no. 2553)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu
menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak
tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”
Karena ingat meminjam uang dengan cara riba juga terkena laknat. Jika
demikian, nasabah yang meminjam uang dengan cara riba pun terkena dosa.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba
(rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi
riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata
beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ada
penegasan haramnya menjadi pencatat transaksi riba dan menjadi saksi
transaksi tersebut. Juga ada faedah haramnya tolong-menolong dalam
kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23)
Milikilah Sifat Qona’ah
Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat qona’ah, itulah yang
membuat orang ingin hidup mewah-mewahan. Padahal penghasilannya biasa,
namun karena ingin seperti orang kaya yang memiliki smart phone mahal,
mobil mewah dan rumah layak istana, akhirnya jalan kreditlah yang
ditempuh. Dan kebanyakan kredit yang ada tidak jauh-jauh dari riba,
bahkan termasuk pula yang memakai istilah syar’i sekali pun seperti
murabahah. Menggunakan handphone biasa asalkan bisa berkomunikasi, atau
menggunakan motor yang memang lebih pas untuk keadaan jalan di negeri
kita yang tidak terlalu lebar, atau hidup di rumah kontrakan, sebenarnya
terasa lebih aman dan selamat dari riba untuk saat ini. Cobalah kita
belajar untuk memiliki sifat qona’ah, selalu merasa cukup dengan rizki
yang Allah anugerahkan, maka tentu kita tidak selalu melihat indahnya
rumput di rumah tetangga karena taman di rumah kita pun masih terasa
sejuk.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.”
(HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Kata para ulama, “Kaya hati
adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu
dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati),
namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).
Jika seorang muslim memperhatikan orang di bawahnya dalam hal dunia,
itu pun akan membuat ia semakin bersyukur atas rizki Allah dan akan
selalu merasa cukup. Berbeda halnya jika yang ia perhatikan selalu orang
yang lebih dari dirinya dalam masalah harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا
إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ
فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan
dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam
masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan
nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963).
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Ya Allah, anugerahkanlah padaku yang halal dan jauhkanlah aku
dari yang haram dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan)
—
Disusun saat antrian di Panggang, Gunungkidul, 3 Rabi’uts Tsani 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
*diambil dari Artikel Rumaysho.Com
No comments:
Post a Comment