Sudah dijelaskan sebelumnya mengenai “Ghibah itu Apa?” Sekarang kita akan melihat dalil yang menunjukkan bahwa ghibah tergolong dosa dan perbuatan haram, bahkan termasuk dosa besar.
Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau
membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah
atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak
benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).”
Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167).
Ghibah yang terjadi bisa cuma sekedar dengan isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
قَدِ اغْتَبْتِيهَا
“Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad 6: 136. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka,
karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang
di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah
Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai
seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang
memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak
mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari
Az Zujaj.” (Fathul Qadir, 5: 87)
Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas
terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya.
Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan
kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar setiap
muslim menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah
adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang
melakukan ghibah.” (Idem)
Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Allah mengharamkan mengghibahi
seseorang ketika hidup sebagaimana Allah mengharamkan memakan daging
saudaramu ketika ia telah mati.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 168).
Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika
mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka
untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak
mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 169).
Ghibah termasuk dosa karena di akhir ayat disebutkan Allah Maha
Menerima Taubat. Artinya, apa yang disebutkan dalam ayat termasuk dalam
dosa karena berarti dituntut bertaubat. Imam Nawawi juga menyebutkan
bahwa ghibah termasuk perbuatan yang diharamkan, lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 129.
Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.”
Wallahu a’lam. Moga Allah menjauhkan dari setiap dosa besar
termasuk pula perbuatan ghibah. Semoga Allah memberi taufik untuk
menjaga lisan ini supaya senantiasa berkata yang baik.
Referensi:
Fathul Qadir, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an (Tafsir Ath Thobari), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1423 H.
Kunuz Riyadhis Sholihin, Rois Al Fariq Al ‘Ilmi: Prof. Dr.
Hamad bin Nashir bin ‘Abdirrahman Al ‘Ammar, terbitan Dar Kunuz
Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
—
Selesai disusun selepas Shalat Zhuhur di Darush Sholihin, 27 Dzulhijjah 1435 H
Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc
*diambil dari Artikel www.rumaysho.com
No comments:
Post a Comment