Edisi 3 Tahun XXIV – Muharram 1436 H / Nopember 2014 M
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu
(QS Al Hujurat [49]: 6)
Zaman sekarang disebut dengan era
informasi. Melalui berbagai media, begitu banyak informasi setiap hari bahkan
setiap menit dan detik. Ada informasi yang baik dan ada banyak yang buruk. Ada
informasi yang isinya benar, tidak sedikit yang salah, bahkan berisi fitnah.
Dalam menyikapi informasi atau
berita yang masuk, sebagai pemimpin Rasulullah saw sangat hati-hati, karenanya
ada beberapa kejadian penting hingga menyebabkan turunnya ayat Al Quran. Dalam
kaitan ini, menjadi penting bagi kita untuk mengkajinya. Allah swt berfirman
yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu (QS Al Hujurat [49]: 6)
Asbabun nuzul (sebab turunnya
ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al Harits datang menghadap Nabi
Muhammad saw, beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia
menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah saw,
Al Harits menyatakan: “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang
untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya,
kirimkanlah utusan untuk mengambilnya”.
Namun ketika zakat sudah banyak
dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan
beliau belum juga datang. Maka Al Harits beserta rombongan berangkat untuk
menyerahkan zakat itu kepada Nabi.
Sementara itu, Rasulullah saw
mengutus Al Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun ditengah perjalanan,
hati Al Walid merasa gentar dan menyampaian laporan yang tidak benar, yakni Al
Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah
tidak langsung begitu saja percaya, beliaupun mengutus lagi beberapa sahabat
yang lain untuk menemui Al Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al Harits,
ia berkata: “Kami diutus kepadamu”. Al Harits bertanya: “Mengapa?”. Para
sahabat menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al Walid bin Uqbah,
ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya”.
Al Harits menjawab: “Demi Allah
yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan
tidak ada yang datang kepadaku”. Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw,
beliaupun bertanya: “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh
utusanku?”, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak
berbuat demikian”. Maka turunlah ayat itu.
Surat Al Hujurat: 6 di atas
menggunakan kata naba’ bukan khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah
Cahaya Ilahi, hal 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan
“berita penting”, sedangkan khabar menunjukkan “berita secara umum”. Al Qur’an
memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah
berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong dan berita
yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan
karena hanya akan menyita waktu dan energi”.
Buruk sangka, tidak suka melihat
kemajuan yang dicapai umat Islam membuat orang munafik ingi agar Rasulullah saw
dan para sahabat mengalami kebinasaan.
Zaid bin Arqam menceritakan
sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari bahwa suatu ketika saya mendengar
Abdullah bin Ubay bin Salul berkata kepada teman-temannya: “Jangan sampai
kalian memberika bantuan harta kepada orang-orang yang bersama Rasul. Dengan
demikian mereka akan binasa. Selanjutnya, jika nanti kita kembali ke Madinah,
niscaya orang-orang yang mulia (yaitu kelompok kita) akan mengusir orang-orang
yang hina itu (yaitu Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya) dari kota
tersebut”.
Zaid selanjutnya menceritakan:
“Saya lantas menceritakan ucapannya tersebut kepada paman saya yang selanjutnya
menyampaikan kepada Rasulullah saw. Ketika Rasulullah memanggil saya (untuk
menanyakan kebenarannya), sayapun menceritakan apa yang telah saya dengar.
Beliau lantas memanggil Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya. Tetapi mereka
bersumpah tidak berkata demikian. Rasulullah terlihat menyalahkan saya dan
sebaliknya lebih mempercayai ucapan orang-orang itu. Hal itu membuat saya
diliputi perasaan sedih yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ketika saya
sampai di rumah, paman sayapun berkata: ‘Sesungguhnya engkau hanya membuat
Rasulullah mendustakanmu dan marah kepadamu’. Tidak lama kemudian, turun firman
Allah swt:
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta (QS Al Munafikun [63]:1).
Setelah turun ayat tersebut,
Rasulullah saw menyuruh seseorang memanggil saya. Beliau membacakan ayat
tersebut kepada saya lalu berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah membenarkan ucapanmu’.
Dalam kaitan inilah turun firman Allah swt:
Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)”. Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS Al Munafikun [63]: 7-8).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Kebencian orang-orang
munafik kepada umat Islam sangat besar, yang lebih berbahaya adalah kalau
kebencian orang kafir ditampakkan, sedangkan orangmunafik lahiriyah tidak
tampak adanya kebencian itu, bahkan dihadapan Rasul berani bersumpah bahwa
mereka tidak membenci.
Kedua, dalam menerima
informasi, Rasulullah saw sangat selektif sehingga beliau tidak langsung
percaya, tapi mengecek terlebih dahulu sampai ada kejelasan yang sesungguhnya.
Mengelak dari Kesalahan.
Orang yang melakukan kesalahan
seharusnya berani mengakui kesalahan agar mau dan bisa memperbaiki diri. Namun
tidak demikian bagi orang Yahudi dan kasus ini erat kaitannya dengan kerancuan
dalam informasi.
Ibnu Abbas ra menceritakan
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Hatim bahwa suatu hari
Abu Bakar Ash Shiddik mendatangi rumah Midras, ternyata banyak orang Yahudi
sedang berkumpul mengitari seorang lelaki bernama Fanhash. Kepada Abu Bakar,
Fanhash berkata: “Wahai Abu Bakar, demi Allah, kita sungguh tidak mempunyai
kebutuhan kepada Allah. Malah sebaliknya, Dialah yang membutuhkan kita.
Seandainya Dia kaya, tentu Dia tidak akan meminta pinjaman kepada kita,
sebagaimana dikatakan temanmu itu (Muhammad saw).”
Mendengar kata yang menyakitkan
itu, Abu Bakar marah bahkan langsung memukul wajah lelaki Yahudi itu.
Fanhashpun segera pergi menemui Rasululah saw untuk mengadukan apa yang
dilakukan oleh Abu Bakar terhadapnya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, lihatlah
apa yang dilakukan temanmu ini terhadapku.”
Maka Rasulullah saw bertanya
kepada Abu Bakar: “Wahai Abu Bakar, apa yang membuatmu melakukannya?.”
Abu Bakar menjawab: “Wahai
Rasulullah, dia telah mengatakan kata-kata yang sangat buruk. Dia berkata bahwa
Allah itu fakir dan mereka tidak membutuhkan-Nya.”
Namun Fanhash tidak mengakui dia
telah mengatakannya, maka Allah swt menurunkan firman-Nya:
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya”. Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): “Rasakanlah olehmu azab yang membakar.” (QS Ali Imran [3]: 181).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Ketika manusia sudah
bersikap, berkata dan bertindak keterlaluan, tindakan fisik yang tidak terlalu
membahayakan kadang-kadang perlu dilakukan seperti yang dilakukan Abu Bakar Ash
Shiddik terhadap kafir Yahudi.
Kedua, Sikap mental
Yahudi yang sangat buruk adalah bersalah tapi tidak mau mengakui kesalahan,
bahkan berusaha menyalahkan orang yang tidak bersalah., padahal Allah swt Maha
Mengetahui atas kesalahannya. Disinilah pentingnya bagi kita apalagi para
pemimpin untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi agar kita tidak
menyalahkan orang yang benar, apalagi membenarkan orang yang salah hingga
menunjukkan keberpihakan kepadanya.
Mengambil hikmah dari tulisan
ini, maka setiap kita harus betul-betul cermat dan kritis dalam membaca dan
mendengar informasi. Bila kita tidak bisa memastikan kebenaran isi informasi,
maka kita tidak mudah menyebarluaskannnya, khususnya melalui media social yang
setiap kita dengan mudah melakukannya, karena hanya dengan klik melalui jari
jemari kita.
Semoga kita terhindar dari
fitnah, baik pelaku maupun sasaran fitnah.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh
Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment