Drop Down Menu

Wednesday, 25 February 2015

Sobat Sejati

sobatAlhamdulillâhi wahdah, wash shalâtu was salâmu ‘alâ man lâ nabiyya ba’dah.

Berebut klaim sobat sejati

“Kriiing… kriiing… kriiing…”, dering hp tidak henti-hentinya berbunyi nyaring di dekat telinga si A. “Uffhg… siapa sich pagi-pagi buta gini nelpon, mana musim dingin lagi!”, keluh si A sambil ngeliat layar hpnya. Ternyata nama si B, sobat karibnya, yang nampak di hpnya. “Ya…”, jawab si A dengan suara serak-serak orang baru bangun tidur. 

Assalamu’alaikum, dah bangun belum? Dah masuk waktu shubuh nich!”, sambung si B membuka pembicaraannya. Sambil ngeliat jam tangannya, si A menjawab, “Oh ya, jazakallah khaira, ente emang sobat sejatiku kawan…”.

“Sstt… ada film baru nich, seru bangeets! Mau gak?” kata si C kepada si D teman akrabnya, ketika ketemu pas istirahat kuliah. “Wah, boleh juga tuh… Film apa? Ane jadi penasaran!”, jawab si D sambil bisik-bisik. “Ntar aja ente liat sendiri, pokoknya seru dech!”, balas si C manas-manasin. “Okelah, ntar ana ke kamar ente ya… Ente bener-benar sobat sejatiku!”, sambut si D menutup obrolan singkat pagi itu.

Dua penggal kisah di atas, para pelakunya sama-sama mengklaim bahwa temannya adalah “sobat sejati”, tapi mana sebenarnya di antara keduanya yang benar-benar sobat sejati? Mungkin tulisan singkat ini bisa sedikit menggambarkan barometer yang tepat untuk menghukumi, siapakah sobat sejati, siapa pula sobat tidak sejati?

Sahabat merupakan kebutuhan penting seorang manusia

Orang Arab berkata, “Al-insân madaniyyun bith thab’i”, alias: “Manusia adalah makhluk sosial”. Ya, manusia adalah makhluk yang dalam kehidupannya sehari-hari membutuhkan interaksi dengan pihak lain dan tidak bisa hidup sendiri. Meskipun intensitas hubungan tersebut relatif dan berbeda dari satu orang ke orang yang lain.

Berhubung tabiat manusia yang demikian, maka Islam pun tidak menghalangi manusia untuk menyalurkan instingnya tersebut. Hanya saja Islam menggariskan rambu-rambu yang dengannya seorang hamba tidak keluar dari jalur syariat dalam berinteraksi dengan sesama.

Banyak cara yang digunakan Islam dalam menyampaikan norma-norma tersebut. Di antaranya adalah dengan cara perbandingan antara teman yang baik dengan teman yang buruk, sebagaimana dalam sabda Rasul shallallahu’alaihiwasallam,

“إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ؛ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً”. متفق عليه.

“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, bagaikan penjual minyak wangi dan tukang besi. Penjual minyak wangi, jika ia tidak menghadiahkan padamu minyak wangi, maka engkau akan beli darinya, atau paling tidak engkau akan ketularan harumnya. Sedangkan tukang besi, jika bajumu tidak terbakar akibat terkena percikan api yang ada di tungku besinya, setidak-tidaknya engkau (akan keluar dari tempat kerjanya) dalam keadaan bau asap”. HR. Bukhari dan Muslim, dengan redaksi Muslim, dari hadits Abu Musa al-Asy’ari.

Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan bahwa teman yang baik, bagaimanapun juga akan menguntungkan kita, sedikit atau banyak. Sebagaimana teman yang buruk, apapun kondisinya akan merugikan kita, sedikit atau banyak.

Tapi, siapakah teman yang baik, siapa pula teman yang buruk?

Barometer sobat sejati

Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak mungkin melewatkan pembahasan ini dari sorotannya. Ada beberapa ayat dan hadits yang menyinggung hal ini, di antaranya firman Allah ta’ala tatkala menjelaskan kriteria golongan yang selamat dari kerugian,

“وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ”.

Artinya: “Mereka saling nasehat-menasehati dalam kebenaran”. QS. Al-‘Ashr: 3.
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا! قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ”. متفق عليه.

“Bantulah saudaramu ketika ia berbuat zhalim atau ketika ia dizhalimi!”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, membantu saudara kita ketika dizhalimi sudah maklum buat kami, tapi apa maksudnya membantu dia ketika ia berbuat zhalim?”. Beliau menjawab, “Engkau cegah ia”. HR. Bukhari dan Muslim, dengan redaksi Bukhari, dari hadits Anas bin Malik.

Sedikit banyaknya, ayat dan hadits di atas serta dalil-dalil lain yang senada, sudah mulai menggambarkan kepada kita barometer sobat sejati.

Salah satu kriteria utama sobat sejati adalah: senantiasa mengajak kita kepada kebaikan dan tidak tinggal diam ketika kita terjerumus kepada kesalahan. Namun, jika sebaliknya, maka ini adalah salah satu indikasi terbesar bahwa dia bukanlah sobat sejati kita. Waspadalah!

  • Sobat sejati bukanlah yang mengajak kita untuk menghabiskan waktu dalam hal-hal yang kurang bermanfaat; semisal main game sepanjang hari, sampai-sampai shalat berjama’ah di masjid rela untuk dikorbankan demi kelangsungan permainan tersebut![1]
  • Sobat sejati bukanlah yang mendoktrin kita untuk membangun wala’ dan baro’ (cinta dan benci karena Allah) di atas kepentingan yayasan, ormas, partai atau almamater.
  • Sobat sejati bukanlah yang diam seribu kata dan enggan untuk mengingatkan kita, tatkala melihat kita terjerumus dalam suatu kesalahan, entah itu kesalahan dalam akidah, ibadah, manhaj dakwah maupun akhlak; dengan dalih menjaga tali ukhuwah.
  • Sobat sejati bukanlah yang tidak malu atau canggung untuk berbagi-bagi media maksiat kepada kita, semisal file film, cd tontonan tidak layak, bluetooth tidak berpendidikan, kaset musik, literatur ahlul bid’ah, dll.
  • Sobat sejati bukanlah yang mencontohkan kepada kita untuk sering absen dari perkuliahan.

Namun…

  • Sobat sejati adalah: ia yang tidak bosan mengajak kita berlomba-lomba dalam menimba ilmu.
  • Sobat sejati ialah: yang senantiasa mengajak kita semangat untuk beribadah.
  • Sobat sejati adalah: yang tidak bakhil untuk nelpon atau sekedar missed call di waktu-waktu shalat, terutama Ashar dan Shubuh.
  • Sobat sejati ialah: yang tidak segan untuk menegur kita dengan bahasa yang santun, jika kita keliru.

Tapi, sobat sejati juga ialah yang:

  • Jika kita berpapasan dengannya, maka ia bersegera untuk mengucapkan salam, berjabat tangan dan bermuka manis.
  • Jika kita tertimpa kesusahan, maka ia menunjukkan rasa empatinya.
  • Jika kita sedang ada masalah, ia berpengertian untuk meluangkan waktunya untuk mendengar curahan isi hati kita, juga berupaya memberikan solusi yang tepat.
  • Jika kita sedang terdesak dalam kebutuhan finansial, maka dengan ringan ia meminjamkan sebagian dari rezeki yang ia miliki.
  • Jika kita sakit, maka dengan segera ia mengantar kita ke rumah sakit, atau mencarikan obat, atau menyediakan makan.
  • Jika kita sedang menghadapi kesulitan pelajaran di kuliah, maka ia rela meluangkan waktunya guna membantu kita menyelesaikan kesulitan tersebut.
  • Jika kita sedang naik bus dengannya, ia berlomba dengan kita untuk membayarkan ongkos.
  • Jika kita khilaf sehingga menyakiti perasaannya, maka ia bersegera memaafkan kita dan mensucikan hatinya dari busuknya perasaan dendam.
  • Jika ia berbincang, maka dengan tutur kata yang sopan, pintar memilih kata-kata yang manis dan tidak terasa ketus atau menyakitkan.
  • Dia bukanlah tipe orang yang senantiasa berusaha menampakkan kelebihan dirinya keapda orang lain; baik dari sisi materi duniawi maupun keunggulan kecerdasan.
  • Dia senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan bawaan dan tabiat teman bergaulnya, selama masih dalam batasan yang diperbolehkan syariat.

Hanya saja, di manakah kita bisa mendapatkan sobat sejati tersebut?

Tatkala kita berbicara tentang realita yang ada. Mau tidak mau kita akan terpaksa mengelus dada, atau mungkin sampai menitikkan air mata akibat rasa pilu tatkala kebingungan mencari sosok tersebut di antara banyak kaum muslimin.

Tapi, menangis bukanlah solusi tepat untuk mengakhiri krisis tersebut! Jalan keluar yang benar adalah: berbuat dan membenahi diri. Solusi tersebut bisa diformulasikan dalam dua tataran; teori dan praktek:
Teori akhlak mulia yang benar, tentunya digali dari warisan orang yang paling mulia akhlaknya; yaitu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Alhamdulillah, para ulama kita tidak melewatkan hal ini dari buku-buku yang mereka tulis. Di antara buku terunggul yang menghimpun hadits-hadits tentang akhlak Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam; Riyâdhush Shâlihin, karya ulama tersohor Imam Nawawi rahimahullah.
Menelaah hadits-hadits yang ada di dalamnya akan sangat membantu kita bersemangat dalam merevisi akhlak kita. Bagaimana tidak? Di dalamnya kita akan diajak untuk membuka mata melihat janji-janji indah bagi mereka yang berakhlak mulia!

Maka seyogyanya ada sebagian waktu yang kita luangkan untuk membaca buku tersebut. Salah satu cara manjur agar program tersebut berkesinambungan dan tidak hangat-hangat kuku; adalah dengan menghadiri kajian yang membahas kitab tersebut. Selain kita akan berdisiplin dan rutin dalam meluangkan sebagian waktu untuk hal itu, kita juga akan mendapatkan banyak pelajaran berharga dan kesimpulan-kesimpulan indah yang disarikan ustadz dari hadits-hadits yang kita baca, di mana jika kita membaca sendiri tanpa adanya bimbingan ulama, belum tentu bisa menyimpulkan konklusi serupa.
‘Perjalanan suci’ seorang hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang menantinya; yaitu mempraktekkan ilmu dan teori yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.
Berat memang, kalau kita sudah memasuki tataran praktek. Tapi seandainya kita sudah merasakan nikmat serta lezatnya mempraktekkan ilmu, niscaya itu semua akan terasa ringan, bahkan cenderung untuk ketagihan.

Perjalanan ribuan kilometer harus dimulai dari ayunan langkah pertama. Ilmu yang telah kita miliki praktekkanlah sedikit demi sedikit, niscaya lama-lama akan menjadi bukit.

Jangan lupakan ‘benang merah’ antara kita dengan Allah ta’ala. Budayakan untuk senantiasa minta pertolongan kepada-Nya, sebagaimana yang diteladankan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam dalam doa-doanya:

اللهم َاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ.

“Ya Allah, tunjukkanlah padaku akhlak yang mulia, karena hanya Engkaulah yang menunjukkan hal itu padaku. Dan jauhkanlah diriku dari akhlak yang buruk, karena hanya Engkaulah yang menjauhkannya dariku”. HR. Muslim dari hadits Ali bin Abi Thalib.  

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, perbuatan dan hawa nafsu yang buruk “. HR. Tirmidzi dari hadits Quthbah bin Malik.


Wallahu ta’ala a’lam bish shawab…
                                                                                      Suatu hari di kota Nabi shallallahu’alaihiwasallam.


[1] Jika ia berargumentasi bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya sunah bukan wajib; maka jawabannya: “Pendapat tersebut kurang dilandasi dalil yang kuat. Atau katakanlah bahwa kita sependapat dengan pandangan tersebut, namun apakah jika shalat berjama’ah di masjid hukumnya adalah sunah, itu berarti bahwa kita berlomba-lomba untuk meninggalkannya? Atau justru seyogyanya kita berlomba-lomba untuk mengamalkan, guna mengumpulkan pundi-pundi pahala? Terus apakah teladan yang dicontohkan oleh para ulama yang berpendapat dengan pendapat tersebut? Adakah di antara mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, dikarenakan sibuk dengan perbuatan yang sia-sia; semisal main game?”.


*diambil dari artikel www.tunasilmu.com

No comments:

Post a Comment