Alhamdulillâhi wahdah, wash shalalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh.
Makna silaturrahim
Silaturrahmi tersusun dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambung[1] dan rahim yang berarti rahim wanita, dan dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan kerabat.[2]
Jadi silaturrahim bermakna: menyambung hubungan dengan kerabat. Dari
keterangan ini, bisa disimpulkan bahwa secara bahasa Arab dan istilah
syar’i, penggunaan kata silaturrahim untuk makna sembarang pertemuan
atau kunjungan dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat,
sebenarnya kurang pas.
Motivasi untuk bersilaturrahim
Silaturrahim bukanlah murni adat istiadat, namun ia merupakan bagian
dari syariat. Amat bervariasi cara agama kita dalam memotivasi umatnya
untuk memperhatikan silaturrahim. Terkadang dengan bentuk perintah
secara gamblang, janji ganjaran menarik, atau juga dengan cara ancaman
bagi mereka yang tidak menjalankannya.
Allah ta’ala memerintahkan berbuat baik pada kaum kerabat,
“وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً”.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh,
teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak
menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa': 36.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan bahwa silaturrahim merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir,
“مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه”.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Beliau juga menjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah keluasan rizki dan umur yang panjang,
“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.
“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.
Catatan: Hadits tadi seakan kontradiktif dengan firman Allah ta’ala,
“وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ”.
Artinya: “Setiap umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. QS. Al-A’raf: 34.
Ada beberapa alternatif penafsiran yang ditawarkan para ulama untuk memadukan antara dua nas di atas. Antara lain:
Pertama: Pengunduran ajal merupakan kiasan dari
keberkahan umur. Atau dengan kata lain, silaturrahmi menjadikan
seseorang meraih taufik untuk berbuat ketaatan dan menjauhi maksiat;
sehingga namanya tetap harum, walaupun telah meninggal dunia. Sehingga
seakan-akan ia belum mati.
Kedua: Silaturrahim memang nyata benar-benar
menambah umur dan mengundur ajal seseorang. Dan waktu ajal yang dimaksud
dalam hadits di atas adalah apa yang tertulis dalam ‘catatan’ malaikat
penganggung jawab umur. Sedangkan waktu ajal yang dimaksud dalam ayat
adalah apa yang ada dalam ilmu Allah (lauh al-mahfuzh).
Misalnya: malaikat mendapat berita dari Allah bahwa umur fulan 100
tahun jika ia bersilaturrahim dan 60 tahun jika ia tidak
bersilaturrahim. Dan Allah telah mengetahui apakah fulan tadi akan
bersilaturrahim atau tidak. Waktu ajal yang ada dalam ilmu Allah inilah
yang tidak akan ditunda maupun dipercepat, adapun waktu ajal yang ada di
ilmu malaikat ini bisa diundur maupun diajukan.
Keterangan tersebut diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ”.
Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh al-Mahfuzh)”. QS. Ar-Ra’du: 39.
Takdir yang masih berpeluang untuk dihapus dan ditetapkan adalah apa
yang ada dalam ‘catatan’ malaikat. Adapun takdir yang termaktub dalam lauh al-mahfuzh di sisi Allah maka ini sama sekali tidak akan ada perubahan.[3]
Kembali kepada pembahasan tentang silaturrahmi. Orang yang tidak
menjaga tali persaudaraan dia terancam dengan hukuman di dunia maupun di
akhirat. Di antara kerugian duniawi yang akan menimpa pemutus tali
silaturrahim: dia akan terputus dari kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,
“مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ”.
“Barang siapa menyambungmu (silaturrahmi) maka Aku akan
bersambung dengannya, dan barang siapa memutusmu (silaturrahmi); maka
Aku akan memutuskan (hubungan)Ku dengannya”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Ganjaran di akhirat bagi pemutus tali silaturrahim lebih mengerikan lagi! Terhalang untuk masuk surga! Na’udzubillahi min dzalik…
Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ”.
“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahim)”. HR. Bukhari dan Muslim.
Hakikat silaturrahim
Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang
bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya
ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan,
sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang
gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya
masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah
mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber
dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”.
“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang
menyambung hubungan dengan kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun
penyambung hakiki adalah orang yang jika hubungan kerabatnya diputus
maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.
Sebab kata menyambung mengandung makna menyambungkan sesuatu yang
telah putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum kerabat manakala
mereka menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang menyambung
hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat
dengan kebaikan serupa.
Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di
atas dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang
ringan; sebab kita harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak,
sedangkan kita tertuntut untuk berbuat baik terhadap orang yang
menyakiti kita, tersenyum pada orang yang cemberut pada kita, memuji
orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan memberi kita, dan
sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang dijanjikan
Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ
لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ
وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”.
فَقَالَ: “لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ
وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى
ذَلِكَ”
Pernah ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,
“Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun
mereka memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya
namun mereka menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat
jahat padaku!”.
“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau bagaikan sedang memberinya makan abu panas[4]. Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR. Muslim.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:
- Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
- Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan berbuat baik manakala ia dibaiki.
- Pemutus silaturrahim.[5]
Konsekwensi silaturrahim
Silaturrahim bukan hanya diwujudkan dalam bentuk berkunjung ke rumah
kerabat atau mengadakan arisan keluarga, namun ia memiliki makna yang
lebih dalam dari itu. Silaturrahim memiliki berbagai konsekwensi yang
harus dipenuhi seorang insan, di antaranya:
1. Mendakwahi kerabat
Dalam Islam, kerabat mendapatkan prioritas utama untuk didakwahi. Allah ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah beliau,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara': 214.
Dengan bahasa yang santun, ingatkanlah kerabat kita yang masih
percaya dengan jimat, yang masih gemar pergi ke dukun, yang shalatnya
masih bolong-bolong, yang belum berpuasa Ramadhan, yang masih enggan
mengeluarkan zakat dan yang semisal. Berbagai nasehat tadi bisa
disampaikan kepada yang bersangkutan secara langsung, atau bisa pula
ditransfer melalui siraman rohani yang biasa diletakkan di awal rentetan
acara arisan atau pertemuan berkala keluarga.
Persaudaraan yang dibumbui dengan budaya saling menasehati inilah
yang akan ‘abadi’ hingga di alam akhirat kelak. Adapun persaudaraan yang
berkonsekwensi mengorbankan prinsip ini; maka itu hanyalah persaudaraan
semu, yang justru di hari akhir nanti akan berbalik menjadi permusuhan.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ”.
Artinya: “Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. QS. Az-Zukhruf: 67.
2. Saling bantu-membantu
Orang yang membantu kerabat akan mendapat pahala dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ”.
“Sedekah terhadap kaum miskin (berpahala) sedekah. Sedangkan
sedekah terhadap kaum kerabat (berpahala) dobel; pahala sedekah dan
pahala silaturrahim”. HR. Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.
Berbuat baik terhadap kerabat, selain berpahala besar, juga merupakan
sarana manjur untuk mendakwahi mereka. Andaikan kita rajin menyambung
silaturrahim, gemar memberi dan berbagi dengan kerabat, selalu
menanyakan kondisi dan kabar mereka, menyertai kebahagiaan dan kesedihan
mereka; tentu mereka akan berkenan mendengar omongan kita serta
menerima nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih sayang dan perhatian
ekstra kita pada mereka.[6]
3. Saling memaafkan kesalahan
Dalam kehidupan interaksi sesama kerabat, timbulnya gesekan dan
riak-riak kecil antar anggota keluarga merupakan suatu hal yang amat
wajar. Sebab manusia merupakan sosok yang tidak lepas dari salah dan
alpa. Namun fenomena itu akan berubah menjadi tidak wajar manakala luka
yang muncul akibat kekeliruan tersebut tetap dipelihara dan tidak segera
diobati dengan saling memaafkan.
Betapa banyak keluarga besar yang terbelah menjadi dua, hanya akibat
merasa gengsi untuk memaafkan kesalahan-kesalahan sepele. Padahal
karakter pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang amat dianjurkan
dalam Islam.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Namun ada suatu praktek keliru dalam mengamalkan sifat mulia ini yang
perlu diluruskan. Yaitu: mengkhususkan hari raya Idhul Fitri sebagai
momen untuk saling memaafkan. Jika minta maaf tidak dilakukan di hari
lebaran seakan-akan menjadi tidak sah, atau minimal kurang afdhal.
Sehingga maraklah acara ‘halal bihalal’ di bulan Syawal. Padahal kita
diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun dan tidak
menumpuk-numpuk kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru
di’rapel’ di hari lebaran. Jika belum sempat berjumpa dengan idhul
fitri, lalu keburu dipanggil Allah, alangkah malangnya nasib dia di
akherat!
Keyakinan tersebut juga berimbas pada ucapan selamat idhul fitri yang
serasa kurang jika tidak dibumbui kalimat “mohon maaf lahir batin”.
Padahal dahulu para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala saling mengucapkan selamat di hari raya, redaksi yang diucapkan adalah: “taqabbalallah minna wa minkum”[7]. Dan
kalimat ini jelas lebih sempurna; sebab tidak semata-mata bermuatan
ucapan selamat, namun juga mengandung doa agar Allah menerima amalan
orang yang mengucapkan selamat maupun yang diberi selamat.
Ranjau-ranjau ‘silaturrahim’
Sebelum munculnya agama Islam, dalam adat istiadat komunitas Arab
telah dikenal persaudaraan antar kerabat, dan itu juga mereka anggap
sebagai salah satu akhlak mulia. Kemudian Islam datang dengan membawa
ajaran ‘serupa’ yang diistilahkan dengan silaturrahmi, namun dengan
format dan aturan yang lebih sempurna. Sisi-sisi kekurangan dalam
‘silaturrahmi’ versi adat jahiliyah dibenahi, sehingga karakter mulia
tersebut semakin terlihat indah dan menarik.
Kita hidup di tanah air yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Dalam
budaya kita pun menjalin hubungan persaudaraan dikenal sebagai perilaku
mulia. Hanya saja praktek sebagian kalangan terkadang menodai ‘kesucian’
silaturrahmi. Sisi-sisi negatif dalam ‘silaturrahmi’ mereka inilah yang
penulis istilahkan dengan ‘ranjau silaturrahim’.
Di antara perilaku yang seharusnya dihindari dalam menjalin silaturrahim:
1. Fanatisme
Salah satu musibah besar yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah:
perpecahan di antara mereka. Di antara faktor terbesar yang menimbulkan
perpecahan adalah adanya ‘rumah-rumah’ lain di dalam ‘rumah besar’
Islam. Apalagi manakala hal itu diiringi dengan fanatisme buta sesama
anggota rumah-rumah kecil tersebut. Sehingga seakan kebenaran hanyalah
ada dalam diri mereka. Padahal sebagai umat Islam kita tidak boleh
bersikap fanatik kecuali kepada kebenaran; yakni al-Qur’an dan Sunnah
Rasul shallalahu’alaihiwasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Paguyuban keluarga juga berpeluang menimbulkan fanatisme tercela,
jika tidak senantiasa disuntik arahan agama dan dipoles sentuhan
islami.
2. Lunturnya sikap adil.
Perasaan pakewuh terhadap saudara terkadang menjerumuskan
seseorang untuk segan mengucapkan yang haq. Apalagi manakala hal itu
‘merugikan’ saudara sendiri. Contoh nyatanya manakala kita dihadapkan
untuk menjadi saksi dalam suatu kasus, yang pelakunya adalah saudara
kita sendiri. Manakala kita menyampaikan fakta sebenarnya, hal itu akan
mengakibatkan dia mendekam di hotel prodeo dan kerabat lainnya menjauhi
kita, namun insyaAllah buahnya kita akan disayang Allah.
Sebaliknya jika kita menyembunyikan kebenaran, mungkin saudara kita akan
selamat, kita akan disanjung kaum kerabat, namun akibatnya dimurkai
Allah. Dalam kondisi simalakama inilah keimanan kita diuji; apakah akan
mementingkan keridhaan Allah atau pujian manusia?
Panutan kita semua; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan sikap adil dalam sabdanya,
“وَايْمُ اللَّهِ! لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا“
“Demi Allah, andaikan putriku Fatimah mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya. HR. Bukhari (hal. 716 no. 3475) dan Muslim (XI/189 no. 4389) dengan redaksi Bukhari.
3. Berjabat tangan dengan non mahram[8]
Bersalaman merupakan salah satu ibadah mulia yang menjanjikan ganjaran menggiurkan. Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,
“مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا”.
“Tidaklah ada dua orang muslim yang bertemu lalu saling
bersalaman, melainkan dosa keduanya akan diampuni sebelum mereka berdua
berpisah”. HR. Abu Dawud dari al-Bara’ bin ‘Azib dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.
Namun manakala yang diajak bersalaman adalah orang-orang yang
sebenarnya tidak boleh kita salami, maka saat itu justru dosalah yang
menanti kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”.
“Lebih baik kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi daripada ia memegang wanita yang tidak halal baginya”. HR. Thabarany (XX/212 no. 487) dari Ma’qil bin Yasar dan dinilai kuat oleh al-Mundziry[9] dan al-Albany[10].
Walaupun dengan alasan menjalin hubungan silaturrahim, praktek di atas tetap tidak bisa dibenarkan. Sebab Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam merupakan
sosok yang paling piawai dalam menjalin hubungan silaturrahmi, pun
demikian beliau tetap menghindari berjabat tangan dengan wanita non
mahram. Bahkan dalam momen sesakral bai’at saja, beliau tidak menjabat
tangan kaum mukminat. Sebagaimana diceritakan istri beliau; Aisyah radhiyallahu’anha,
“وَلَا وَاللَّهِ، مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ
قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ, مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: قَدْ
بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكِ”.
“Tidak demi Allah, tangan beliau sekalipun tidak pernah menyentuh
tangan wanita saat baiat. Beliau hanya membaiat mereka dengan berkata,
“Aku telah membaiatmu untuk hal itu”. HR. Bukhari.
Sebagian orang mengira bahwa setiap yang memiliki hubungan kerabat
dengannya dikategorikan mahram kita. Hanya orang-orang tertentu saja
yang dianggap mahram kita. Di antaranya: golongan yang Allah sebutkan
dalam firman-Nya,
“حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ
الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي
حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ
تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ…”.
Artinya: “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan,
saudara-saudara (kandung) ayahmu yang perempuan, saudara-saudara
(kandung) ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara
(kandung)mu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara
(kandung)mu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,
saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu (menikahinya). (Dan diharamkan bagimu pula) istri-istri anak kandungmu (menantu)…”. QS. An-Nisa: 23.
Tentu tidak mudah menerapkan hal tersebut, apalagi di komunitas yang
masih belum begitu memahami aturan syariat ini. Di sinilah kita
menyadari betapa besarnya tugas dan kewajiban para ulama, da’i, ustadz,
mubaligh atau siapa saja yang telah mengetahui hukum ini, untuk
menerangkan hal itu pada masyarakat, dan juga mempraktekkannya. Bukan
justru larut dalam arus kebiasaan yang keliru, atau mempertahankan
‘status quo’ yang tidak benar.
Namun demikian, mereka yang telah mengetahui hukum ini dan telah
bertekad untuk mempraktekkannya, tatkala menghindari jabat tangan dengan
non mahram, hendaklah ia melakukan hal tersebut dengan santun dan lemah
lembut, serta diiringi dengan muka yang manis. Dengan harapan hal itu
bisa sedikit mencairkan suasana yang barangkali akan terasa kaku. Dia
bisa mengungkapkan rasa hormatnya kepada yang mengajaknya bersalaman,
tanpa harus menyentuh tangan yang di hadapannya. Dengan berjalannya
waktu, insyaAllah hubungan yang awalnya akan terasa renggang akan erat kembali. Dan tentunya erat dilandasi syariat…
Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita untuk lebih memaknai silaturrahim, amien ya rabbal ‘alamien.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 4 Syawal 1431 / 13 September 2010
[1] Lihat: Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhur (XV/316).
[2] Lihat: Mujmal al-Lughah karya Ibn Faris (II/424) dan Mufradât Alfâzh al-Qur’an karya ar-Raghib al-Ashfahany (hal. 347).
[3] Lihat: Fath al-Bâry Syarh Shahih al-Bukhary karya Ibn Hajar al-‘Asqalany (X/510-511).
[4]
Perumpaan akan apa yang akan menimpa mereka berupa dosa, sebagaimana
orang yang memakan abu panas akan merasa kesakitan. Lihat: Bahjah an-Nâzhirîn Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/394-395).
[5] Lihat: Fath al-Bâry (X/520).
[6] Lihat: Fiqh al-Akhlâq wa al-Mu’âmalât ma’a al-Mu’minîn karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy (IV/13).
[7] Diriwayatkan oleh Zahir bin Thahir dalam Tuhfah ‘Ied al-Fithr, sebagaimana disebutkan as-Suyuthi dalam Wushûl al-Amâni bi Ushûl at-Tahâni, hal. 42. Ibn Hajar al-‘Asqalâni dalam Fath al-Bâri, II/575 menilai sanadnya hasan, begitu pula as-Suyuthi.
[8]
Mahram adalah istilah untuk orang yang haram untuk kita nikahi. Di
Indonesia biasa diistilahkan dengan “muhrim” dan ini kurang tepat; sebab
secara bahasa Arab, kata muhrim bermakna orang yang berihram.
[9] Dalam at-Targhib wa at-Tarhîb (II/765 no. 2799) beliau berkata, “Para perawi hadits ini dalam ath-Thabarany orang-orang yang terpercaya dan para perawi kitab ash-Shahih“.
[10] Lihat: Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/447-449 no. 226).
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
No comments:
Post a Comment