HARUSKAH BERPOLEMIK MENGENAI ARAH KIBLAT?
Prolog
Belakangan ini, polemik mengenai arah kiblat semakin menghangat.
Bukan hanya di daerah tertentu, melainkan sudah menjadi isu nasional.
Tulisan, ceramah dan diskusi resmi maupun tidak, banyak diadakan untuk
membahas masalah ini. Ada yang berbicara berdasarkan ilmu, namun tidak
sedikit yang berbicara berdasarkan emosional belaka. Ini berkenaan
dengan wacana yang dilontarkan.
Adapun implementasinya di ‘dunia nyata’, ada yang berusaha merubah
arah kiblat di masjidnya dengan cara yang bijak dan santun. Tetapi
ternyata ada pula yang memilih jalan ‘kekerasan’ dan intimidasi, tanpa
memperhatikan kaidah pertimbangan maslahat dan madharat.
Sebenarnya permintaan untuk membahas permasalahan ini telah cukup
lama dilontarkan ke penulis. Namun karena satu dan lain hal, terutama
kesibukan merintis pesantren dan berdakwah, keinginan tersebut baru bisa
terealisasikan sekarang. Semoga tulisan sederhana berikut bisa turut
memberikan andil dalam mengurai benang kusut permasalahan ini. Amien…
Apa itu Kiblat?
Di sini ada dua istilah yang saling bertautan, yakni: “kiblat” dan “ka’bah”.
Kiblat berasal dari kata dalam bahasa Arab; yaitu
al-Qiblah, yang bermakna keadaan seorang yang menghadap. Kemudian, kata
ini digunakan untuk istilah arah yang dituju seorang muslim ketika ia shalat.[1] Ke arah mana muslim menghadap ketika shalatnya? Jawabnya: ke arah Ka’bah.
Adapun Ka’bah, maknanya secara bahasa adalah setiap rumah yang berbentuk kubus.[2]
Namun secara etimologi, kata ka’bah lebih dikenal untuk menamai
bangunan kubus yang dibangun pondasinya oleh Nabi Ibrahim dan Nabi
Isma’il ‘alaihimassalam. Yang saat ini bangunan tersebut berada di tengah Masjidil Haram di tanah suci Mekah.[3]
Hukum Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat ketika shalat merupakan syarat sah shalat seorang hamba jika ia mampu. Para ulama satu kata dalam hal ini. Imam Ibn Rusyd (w. 595 H) menjelaskan,
“اتَّفَقَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ التَّوَجُّهَ نَحْوَ الْبَيْتِ فى الصلاة شَرْطٌ مِنْ شُرُوطِ صِحَّةِ الصَّلَاةِ”.
“Kaum muslimin telah bersepakat bahwa menghadap ke arah Baitullah ketika shalat merupakan salah satu syarat sah shalat”.[4]
Mereka berdalil, antara lain, dengan firman Allah ta’ala,
“فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ”.
Artinya: “Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu”. QS. Al-Baqarah (2): 144.
Juga hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّر”.
“Jika engkau hendak menunaikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah”. HR. Bukhari (no. 6251) dan Muslim (no. 884) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
·Adakah Orang yang Tidak Diwajibkan Menghadap Kiblat?
Di atas telah dijelaskan bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah
shalat, bagi orang yang mampu. Berdasarkan keterangan ini, bisa
disimpulkan bahwa orang yang tidak mampu, maka ia tidak wajib untuk
menghadap kiblat. Dan ini merupakan salah satu potret kemudahan syariat
Islam.
Siapa sajakah orang-orang yang mendapatkan dispensasi untuk tidak diharuskan menghadap kiblat ketika shalat?
Mereka antara lain:[5]
1. Orang yang tidak mampu untuk menghadap kiblat, karena sakit misalnya. Akibat sakit yang begitu parah, sekedar untuk menggerakkan tubuhnya ke arah kiblat saja ia tidak mampu. Dalam kondisi seperti ini maka shalatnya dianggap sah, kemanapun ia menghadap. Dalilnya firman Allah ta’ala,
“فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ”.
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah menurut kemampuan kalian”. QS. At-Taghabun (64): 16.
2. Orang yang dalam keadaan super takut, misal karena dikejar musuh, dan ia lari bukan ke arah kiblat. Jika ia mengalami kondisi seperti itu dan masuk waktu shalat, maka diperbolehkan baginya untuk shalat tidak menghadap kiblat, bahkan sambil berlari sekalipun. Ia shalat dengan menggunakan isyarat. Dalilnya firman Allah ta’ala,
“فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا”.
Artinya: “Jika kalian takut (ada bahaya), maka shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan”. QS. Al-Baqarah (2): 239.
3. Orang yang sedang bepergian naik kendaraan dan hendak menunaikan shalat sunnah. Ia diperbolehkan untuk menunaikan shalat di atas kendaraan, walaupun kendaraannya tidak menghadap ke arah kiblat. Dalilnya sebuah hadits sahih yang dituturkan oleh Ibn ‘Umar radhiyallahu’anhuma,
“كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ،
وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا
الْمَكْتُوبَةَ”.
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam biasa mengerjakan shalat
sunnah di atas kendaraan, dengan menghadap ke arah manapun yang dituju
kendaraan. Beliau juga melaksanakan shalat witir di atasnya. Namun
beliau tidak pernah menunaikan shalat wajib di atas kendaraan”. HR. Bukhari (no. 1097) dan Muslim (no. 1616).
Cara Menghadap Kiblat
Sebelum menjelaskan teknis menghadap kiblat, perlu diketahui bahwa keadaan orang yang sedang shalat bisa dibagi menjadi dua:[6]
1). Keadaan pertama: Orang yang sedang shalat tersebut berada di depan Ka’bah atau bisa melihat Ka’bah secara langsung.
Dalam kondisi seperti ini, maka dia wajib menghadap langsung ke
bangunan fisik Ka’bah. Jika melenceng, maka shalatnya tidak sah. Tidak
diketahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini.
Imam Ibn Qudâmah (w. 620 H) menjelaskan,
“إِنْ كَانَ مُعَايِناً لِلْكَعْبَةِ فَفَرْضُهُ
الصَّلاَةُ إِلَى عَيْنِهَا لاَ نَعْلَمُ فِيْهِ خِلاَفًا، قَالَ ابْنُ
عَقِيْلٍ: “إِنْ خَرَجَ بَعْضُهُ مُسَامَتَةَ الْكَعْبَةِ لَمْ تَصِحْ
صَلاَتُهُ”.
“Jika seseorang langsung melihat Ka’bah; maka wajib baginya untuk
shalat menghadap ke bangunan fisik Ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ibnu ‘Aqil berkata, “Jika
sebagian badannya melenceng dari arah Ka’bah maka shalatnya tidak sah”.[7]
2). Keadaan kedua: orang yang tidak berada di depan Ka’bah dan tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung. Misalnya orang yang tinggal jauh dari kota Mekah, seperti kita yang berada di Indonesia.
Dalam keadaan kedua ini, para ulama kita bersilang pendapat, apakah ia tetap diwajibkan untuk menghadap pas ke fisik bangunan Ka’bah (‘ain al-ka’bah), tidak boleh melenceng sedikitpun? Atau cukup menghadap ke arahnya (jihat al-ka’bah) saja?[8]
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
@ Pendapat pertama: mengatakan
bahwa orang tersebut tetap diwajibkan untuk menghadap pas ke fisik
bangunan Ka’bah, tidak boleh melenceng sedikitpun. Ini merupakan
pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah.[9]
Mereka berargumen antara lain dengan:
Dalil dari al-Qur’an:
Firman Allah ta’ala,
“فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ”.
Artinya: “Hadapkanlah wajahmu ke syathro Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu”. QS. Al-Baqarah (2): 144.
Menurut mereka kata “syathro” tersebut dalam ayat di atas, maksudnya
bukan sekedar arah Kiblat saja, namun maksudnya harus pas ke bangunan
Ka’bah.[10]
Dalil dari hadits:
Penafsiran di atas dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam yang dituturkan oleh Ibn ‘Abbas radhiyallahu’anhuma,
“لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى
خَرَجَ مِنْهُ، فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ
الْكَعْبَةِ وَقَالَ: “هَذِهِ الْقِبْلَةُ”.
“Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala memasuki
Ka’bah, beliau berdoa di setiap sisinya. Beliau tidak menunaikan shalat
melainkan setelah keluar darinya. Manakala keluar beliau shalat dua
raka’at di depan Ka’bah lalu berkata, “Inilah Kiblat”. HR. Bukhari (no. 398) dan Muslim (no. 3224).
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Kiblat adalah fisik bangunan Ka’bah itu sendiri.[11] Jadi tidak cukup sekedar menghadap ke arahnya saja, tapi harus pas menghadap bangunannya. [12]
@ Pendapat kedua: mengatakan bahwa orang yang jauh dari Ka’bah cukup baginya untuk menghadap ke arah Kiblat saja, tidak harus pas menghadap bangunan fisik Ka’bah. Jadi jika melenceng sedikit, maka hal tersebut tidak mengapa.[13] Pendapat ini dipilih oleh mayoritas[14] ulama dari kalangan Hanafiyyah [15], Malikiyyah[16] dan Hanabilah[17]. Juga merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i.[18]
Argumen yang mereka kemukakan antara lain:
Dalil dari al-Qur’an:
Firman Allah ta’ala,
“فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ”.
Artinya: “Hadapkanlah wajahmu ke syathro (arah) Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu”. QS. Al-Baqarah (2): 144.
Walaupun ayat ini juga dijadikan dalil oleh pendapat pertama, namun
pendapat kedua ini memiliki penafsiran yang berbeda. Menurut mereka,
kata “syathro” tersebut dalam ayat ini berarti arah.
Yakni maksudnya, ketika shalat cukuplah bagi kalian untuk menghadap ke
arah Kiblat, tidak harus tepat menghadap kepada bangunan Ka’bahnya.
Secara bahasa, penafsiran ini didukung oleh para
ulama pakar bahasa di dalam kamus-kamus bahasa Arab, juga di dalam
kitab-kitab bahasa lainnya.[19] Bahkan menurut sebagian mereka, tidak ada perbedaan pendapat di antara para pakar bahasa mengenai makna ini.[20]
Para ulama pakar tafsir, mulai dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, generasi Tabi’in, hingga para ulama salaf sesudah mereka, pun menyampaikan hal serupa.[21]
Dalil dari hadits:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ قِبْلَةٌ”.
“Arah antara Timur dan Barat adalah Kiblat”. HR. Tirmidzy (no. 344) dan dinilai hasan sahih oleh beliau. Al-Albany menyatakan hadits ini sahih.[22]
Secara asal, hadits ini ditujukan kepada para penduduk Madinah dan
sekitarnya yang tinggal di wilayah sebelah Utara Ka’bah atau yang
tinggal di wilayah Selatan Ka’bah. Pun demikian, hadits ini juga berlaku
bukan hanya untuk mereka saja, namun berlaku untuk siapa saja di
manapun ia berada. Hanya saja penerapannya sesuai dengan arah daerah
masing-masing.
Contohnya kita yang berada di Indonesia. Sebagaimana telah maklum,
negeri kita berada di sebelah Timur Ka’bah. Jadi kiblat kita adalah seluruh arah antara Utara dan Selatan.
Tidak harus tepat mengarah ke Barat Laut misalnya. Jika ada yang
melenceng ke arah Barat, atau Barat Daya, maka hal tersebut tidak
masalah.[23]
Kata para ulama, fleksibelitas dalam hal tersebut begitu dikenal dalam praktek dan perkataan para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Bahkan tidak diketahui adanya silang pendapat di antara mereka mengenai hal itu.[24]
Dalil aqli (logika)[25]
Selain berdalil dengan al-Qur’an dan Hadits, pendapat kedua ini juga
berargumen dengan logika akal. Kata mereka, untuk menyatukan kaum
muslimin di seluruh dunia menghadap kepada satu titik, yakni tepat di
fisik bangunan Ka’bah, adalah merupakan suatu hal yang mustahil.
Mengapa?
Perlu diketahui bahwa fisik bangunan Ka’bah itu berukuran + 11 m x 12 m.[26]
Sebagaimana telah maklum bahwa banyak sekali masjid kaum muslimin di
berbagai penjuru dunia yang berukuran lebih besar dibanding ukuran
bangunan Ka’bah tersebut di atas.
Misalkan ada sebuah masjid yang berukuran 30 m x 30 m, dan takmir
masjid tersebut mengukur arah kiblat dari mihrab imam, katakanlah hingga
pas dengan arah fisik bangunan Ka’bah. Imam dan para makmum yang berada
di sebelah kiri atau kanan imam sepanjang 12 meter, mungkin bisa
menghadap pas ke fisik Ka’bah. Sebab sesuai dengan ukuran Ka’bah. Namun
bagaimana dengan para makmum yang berposisi melewati ukuran tersebut?
Mungkinkah mereka menghadap pas ke fisik bangunan Ka’bah? Jawabnya
adalah mustahil! Sebab bertolak belakang dengan logika dan ilmu pasti.
Silahkan dilihat gambar ilustrasi di bawah ini:
GAMBAR ILUSTRASI:
Perhatikan, di masjid yang ukurannya lebih besar dari ukuran fisik
Ka’bah, orang yang bisa menghadap pas ke bangunan fisik Ka’bah, hanyalah
imam dan makmum no. 9 hingga no. 15 saja. Adapun
makmum yang lainnya, maka hanya bisa menghadap ke arah Kiblat saja,
bukan ke fisik bangunan Ka’bah. Apakah shalat mereka dinilai tidak sah?
Karena itu para ulama berijma’ tentang sahnya shalat orang-orang yang
berada di shaf panjang tersebut di atas, walaupun jika ditarik garis
lurus tidak akan pas mengenai fisik Ka’bah.
Imam Ibn Rajab (w. 795 H) menyatakan,
“قَدْ أَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى صِحَّةِ الصَّفِّ
الْمُسْتَطِيْلِ مَعَ الْبُعْدِ عَنِ الْكَعْبَةِ، مَعَ الْعِلْمِ
بِأَنَّهُ لاَ يُمْكِنُ أَنْ يَكُوْنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ
مُسْتَقْبِلاً لِعَيْنِهَا بِحَيْثُ أَنَّهُ لَوْ خَرَجَ مِنْ وَسَطِ
وَجْهِهِ خَطٌّ مُسْتَقِيْمٌ لَوَصَلَ إِلَى الْكَعْبَةِ عَلَى
الْاِسْتِقَامَةِ، فَإِنَّ هَذَا لاَ يُمْكِنُ إِلاَّ مَعَ التَّقَوُّسِ
وَلَوْ شَيْئاً يَسِيْراً”.
“Umat telah bersepakat tentang sahnya shalat
shaf panjang yang jauh dari Ka’bah. Padahal telah maklum bahwa tidak
mungkin semua dari mereka menghadap pas ke fisik bangunan Ka’bah. Dengan
kata lain jika ditarik garis lurus di depan mukanya maka akan sampai
tepat ke Ka’bah. Ini tidak mungkin terjadi, melainkan pasti akan
melenceng walaupun sedikit”.[27]
·Manakah pendapat yang lebih kuat?
Menilik argumen yang dipaparkan masing-masing pendapat, nampak terlihat bahwa pendapat kedualah yang lebih kuat.
Dikarenakan begitu gamblang dan kuatnya argumen mereka, baik dalil
naqlinya maupun dalil ‘aqlinya. Pendapat ini pula yang dipilih Majelis
Ulama Indonesia pusat.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan: “Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah)”.[28]
Terlebih lagi jika kita menilik akibat yang akan ditimbulkan
dari diwajibkannya menghadap pas ke bangunan Ka’bah. Yakni akan sangat
mempersulit kaum muslimin dalam peribadatan mereka. Hal ini tentu tidak sejalan dengan karakteristik syariat Islam yang senantiasa mengedepankan prinsip kemudahan.
Allah ta’ala berfirman,
“يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ”.
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesukaran untuk kalian”. QS. Al-Baqarah (2): 185.
“وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ”.
Artinya: “Allah tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama”. QS. Al-Hajj (22): 78.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,
“إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ”.
“Sesungguhnya agama ini mudah”. HR. Bukhari (no. 39) dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu.
Makanya, generasi terbaik umat ini, yakni para sahabat Rasul shallallahu’alaihi wasallam, manakala
mereka menaklukkan negeri-negeri dan membuka wilayah baru, saat
menentukan Kiblat, mereka mencukupkan diri dengan arah Ka’bah saja.
Tidak berusaha menyulitkan kaum muslimin dengan mewajibkan mereka
menghadap tepat ke fisik bangunan Ka’bah.[29]
Cukuplah fakta di atas sebagai sarana introspeksi buat kita yang
kapasitas keilmuannya tidak sebanding sedikitpun dengan para sahabat
Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Supaya kita lebih
berhati-hati lagi dalam berpendapat dan bersikap. Semakin tinggi
keilmuan seseorang, akan berbanding lurus dengan semakin berhati-hatinya
ia dalam berfatwa dan berucap. Kebalikannya, semakin rendah keilmuan
seseorang, maka ia akan semakin ceroboh dalam mengeluarkan fatwa.
Bagaimana menjawab argumen pendapat pertama?
Mengenai dalil mereka yang berupa ayat al-Qur’an {QS. Al-Baqarah (2):
144}, maka telah disampaikan di atas bahwa penafsiran yang lebih tepat
adalah penafsiran pendapat kedua. Sebab itu didukung dengan tinjauan
bahasa, juga kajian tafsir.
Adapun dalil mereka yang berupa hadits, maka bisa dijawab, bahwa yang
dibidik oleh hadits tersebut adalah: mereka yang shalat di depan
Ka’bah. Bukan setiap orang yang shalat di manapun ia berada. Sebab jika
dicermati lebih lanjut, hadits tersebut memang sedang menjelaskan
kaifiat shalat Nabi shallallahu’alaihiwasallam yang saat itu posisi beliau sedang berada di depan Ka’bah, bukan jauh darinya.
Dengan keterangan ini, maka bisa dipadukan antara dalil-dalil dua pendapat tersebut di atas yang terlihat kontradiktif. Walhamdulillah…
Renungan
Seyogyanya bagi setiap muslim, terlebih lagi para tokoh agama atau
panutan, sebelum melontarkan sesuatu atau menerapkannya di masyarakat,
hendaklah menimbang maslahat dan madharat yang akan ditimbulkan darinya.
Juga mempertimbangkan skala prioritas dalam menyampaikan ilmu. Tidak
serta merta begitu mengetahui sesuatu, lantas langsung dilemparkan ke
khalayak umum.
Tatkala Imam asy-Syâthibî (w. 790 H) menjelaskan patokan
perkara apa yang boleh disebarkan dan perkara apa yang tidak boleh
disebarkan, beliau berkata, “Patokannya: (Langkah pertama) engkau timbang perkara itu dengan syariat.
Jika dibenarkan secara syariat, maka (langkah kedua) pertimbangkan akibat yang akan ditimbulkan darinya, tatkala disampaikan pada zaman dan masyarakat yang ada saat itu.
Seandainya tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan), maka (langkah ketiga)
timbanglah perkara itu dengan pikiranmu, kira-kira akal masyarakat
(telah mampu untuk memahami perkara itu), sehingga mereka mau
menerimanya atau tidak?.
Bila engkau pertimbangkan bahwa akal mereka telah mampu; maka (langkah keempat) sampaikanlah
kepada masyarakat umum, jika perkara itu bisa diterima secara umum.
Atau sampaikan pada komunitas terbatas, jika perkara itu tidak cocok
untuk disampaikan secara umum.
Andaikan perkara yang akan engkau sampaikan tidak memenuhi
syarat-syarat di atas, maka yang selaras dengan maslahat menurut syariat
dan akal sehat, adalah perkara tersebut tidak engkau sampaikan”[30].
·Kesimpulan
Dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa arah kiblat untuk
penduduk Indonesia yang letaknya di sebelah timur Ka’bah adalah barat,
yang paling tepat adalah menghadap ke arah barat laut[31]. Tetapi jika melenceng sedikit sehingga menghadap barat lurus, selama masih arah barat, maka shalatnya dianggap sah.
Dengan demikian, umat Islam Indonesia tidak perlu berpolemik apalagi hingga bersitegang dalam masalah ini, karena semuanya sah insyaAllah.
Masjid-masjid yang sudah terlanjur menghadap Barat atau melenceng
sedikit tidak perlu dipugar. Shaf atau karpet juga tidak harus
dimiringkan, khususnya jika hal itu akan menimbulkan gejolak di
masyarakat.
Bila akan disesuaikan maka perlu disosialisasikan dan dirembug
terlebih dahulu dengan warga, tidak asal merubah. Supaya tidak
menimbulkan polemik berkepanjangan. Namun jika jama’ah memilih untuk
tidak dirubah, maka tidak masalah insyaAllah.
Terus, manakala menunaikan shalat di masjid yang shafnya lurus, tidak
perlu ‘tampil beda’ dengan memiringkan posisinya sendirian. Sebab hal
itu akan merusak kelurusan dan kesempurnaan shaf.
Semoga tulisan sederhana di atas bisa bermanfaat. Tegur sapa membangun para pembaca amat penulis harapkan. Wallahu a’lam bish shawab, walhamdulillahi rabbil ‘alamin…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 4 Dzulqa’dah 1433 / 20 September 2012
DAFTAR PUSTAKA:
- Al-Qur’ân al-Karîm.
- Ahkâm al-Qur’ân li al-Imam asy-Syafi’iy, dihimpun oleh al-Baihaqy, taqdim al-Kautsary, Kairo: Maktabah al-Khanjy, cet II, 1414/1994.
- Ahkâm al-Qur’ân, karya Ibn al-‘Araby, tahqiq Abdurrazzaq al-Mahdy, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, cet I, 1421/2000.
- Al-Bayân fî Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’i, karya al-‘Imrany, ‘inayah Qasim Muhammad an-Nury, Dar al-Minhaj, tc, tt.
- Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, karya Dr. Wahbah az-Zuhaily, Dimasyq: Dar al-Fikr, cet II, 1405/1985.
- Al-Fiqh al-Mâliky wa Adillatuh, karya al-Habib bin Thahir, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet I, 1418/1998.
- Al-Iqnâ’ fî Halli Alfâzh Abî Syujâ’, karya asy-Syarbiny al-Khathib, tahqiq Ali Abu al-Khair, Beirut: Dar al-Khair, cet I, 1417/1996.
- Al-Istidzkâr, karya Ibn Abdil Barr.
- Al-Kâmil, karya al-Mubarrid, tahqiq Dr. Muhammad Ahmad ad-Daly, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet V, 1429/2008.
- Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, karya an-Nawawy, tahqiq Muhammad Najib al-Muthi’iy, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, tc, 1415/1995.
- Al-Mughni, karya Ibn Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah at-Turky dkk, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, cet VI, 1428/2007.
- Al-Muwâfaqât, karya asy-Syathiby, tahqiq Masyhur bin Hasan, al-Khubar: Dar Ibn ‘Affan, cet I, 1416/1997.
- Al-Qâmûs al-Muhîth, karya al-Fairûzâbâdy, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet VI, 1419/1998.
- Ashl Shifat Shalat an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam, karya al-Albany, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet I, 1427/2006.
- Asy-Syarh ash-Shaghîr ‘alâ Aqrab al-Masâlik ilâ Madzhab al-Imâm Mâlik, karya ad-Dardir, takhrij Dr. Mushthafa Kamal, Dar al-Ma’arif, tc, tt
- Athlas as-Sîrah an-Nabawiyyah, karya Dr. Syauqy Abu Khalil, Dimasyq: Dar al-Fikr, cet I, 1432/2003.
- At-Talkhîsh al-Habîr, karya Ibn Hajar al-‘Asqalany, tahqiq Dr. Muhammad ats-Tsany, Riyadh: Adhwâ’ as-Salaf, cet I, 1428/2007.
- Bahts fî Istiqbâl al-Qiblah fî Haqq al-Ba’îd ‘an Makkah wa Miqdâr al-Inhirâf alladzi Yukhrijuh ‘an Istiqbâl al-Qiblah, makalah tulisan Mush’ab Muhammad ‘Adil, dalam www.saaid.net/book/13/5147.doc.
- Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, karya Ibn Rusyd al-Hafîd, tahqiq Muhammad Shubhi Hallaq, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, cet I, 1415.
- Fath al-Bâry fî Syarh Shahîh al-Bukhâry, karya Ibn Rajab, tahqiq Thariq ‘Awadhullah, Dammam: Dar Ibn al-Jauzy, cet III, 1425.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nomor: 05 Tahun 2010, Tentang Arah Kiblat.
- Fiqh al-‘Ibâdât, oleh Ibn ‘Utsaimin, Riyadh: Madar al-Wathan, tc, 1425.
- Hâsyiyah I’ânah ath-Thâlibîn ‘alâ Halli Alfâzh Fath al-Mu’în, karya al-Bakry, Beirut: Dar al-Fikr, tc, 1414/1993.
- Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, karya al-Îjiy, taqdim Shalahuddin Maqbul, Kuwait: Ghiras, cet I, 1428/2007.
- Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, karya Abdurrahman al-Jazîry, Kairo: Dar al-Hadits, tc, tt.
- Kitâb al-Umm, karya asy-Syafi’iy, sebagaimana dalam Mausû’ah al-Imâm asy-Syafi’iy, tahqiq Ali Muhammad dan ‘Adil Ahmad, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, tc, 1422/2001.
- Lisân al-‘Arab, karya Ibn Manzhûr, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, cet III, 1419/1999.
- Maqâyis al-Lughah, karya Ibn Faris, tahqiq Abdussalam Harun, Beirut: Dar al-Jil, cet I, 1411/1991.
- Menjawab Polemik Arah Kiblat, makalah tulisan Dr. Ahmad Zain an-Najah, dalam http://www.voaislam.com/islamia/tsaqofah/2010/08/22/9439/ menjawab-polemik -arah-kiblat/
- Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, karya ar-Raghib al-Ashfahany, tahqiq Shafwan Dawudy, Dimasyq: Dar al-Qalam, cet III, 1423/2002.
- Mujmal al-Lughah, karya Ibn Faris, tahqiq Zuhair Abdul Muhsin, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet I, 1404/1984.
- Mukhtâr ash-Shihâh, karya ar-Razy, taqdim Dr. Abdul Fattah al-Barkawy, Dar al-Manar, tc, tt.
- Nail al-Authâr min Asrâr Muntaqa al-Akhbâr, karya asy-Syaukany, tahqiq Ahmad Muhammad as-Sayyid dkk, Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, cet I, 1419/1999.
- Polemik Arah Kiblat yang Tidak Tepat, makalah tulisan Muhammad Abduh Tuasikal, dalam http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/2626-polemik-arah-kiblat-yang-tidak-tepat.html.
- Radd al-Muhtâr ‘alâ ad-Durr al-Mukhtâr, karya Ibn Abidin, tahqiq ‘Adil Ahmad dkk, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, tc, 1423/2003.
- Shahîh al-Bukhâry, karya al-Bukhary, Riyadh: Darussalam, cet I, 1417/1997.
- Shahîh Muslim, karya Muslim, beserta al-Minhâj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjâj, karya an-Nawawy, tahqiq Khalil Ma’mun, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet VI, 1420/1999.
- Sunan at-Tirmidzy, karya at-Tirmidzy, ‘inayah Masyhur bin Hasan, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet I, tt.
- Syarh al-‘Umdah, karya Ibn Taimiyyah.
40.Tafsîr al-Baghawi yang berjudul Ma’âlim at-Tanzîl, karya Imam al-Baghawy, tahqiq Muhammad Abdullah an-Namir dkk, Riyadh: Dar ath-Thaibah, tc, 1411.
- Tafsîr al-Jalâlain, karya al-Mahally dan as-Suyuthy, ta’liq Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, Riyadh: Darussalam, cet II, 1422/2002.
- Tafsîr al-Qurthuby, karya al-Qurthuby, tahqiq Dr. Abdullah at-Turky dkk, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet I, 1427/2006.
- Tafsîr ath-Thabary, karya Ibn Jarîr ath-Thabarî, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî, Jaizah: Dâr Hajar, cet I, 1422/2001.
- Tafsîr Ibn Katsîr, karya Ibn Katsir, tahqiq Sami as-Salamah, Riyadh: Dar Thaibah, cet II, 1420/199.
- Tartîb al-Qâmûs al-Muhîth, karya ath-Thahir az-Zawy, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, cet IV, 1417/1996.
[1] Mufradât Alfâzh al-Qur’ân karya ar-Raghib al-Ashfahany (hal. 654).
[2] Ibid (hal. 712) dan Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhur (XII/108).
[2] Ibid (hal. 712) dan Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhur (XII/108).
[3] Cermati: Lisan al-‘Arab (XII/107) dan Tartîb al-Qamus al-Muhîth karya ath-Thahir az-Zawy (IV/59).
[4] Bidâyah al-Mujtahid (I/274). Kesepakatan tersebut juga dinukil oleh Imam an-Nawawy dalam al-Majmû’ Syarh al-Muhadzab (III/193).
[5] Baca: Al-Bayân fî Madzhab al-Imam asy-Syafi’i karya al-‘Imrany (II/137, 151), Al-Mughni karya Ibn Qudamah (II/92-100), Radd al-Muhtâr karya Ibn ‘Abidin (II/108) dan Fiqh al-‘Ibâdât oleh Ibn ‘Utsaimin (hal. 165-166).
[6] Lihat: Kitâb al-Umm karya Imam Syafi’i (I/276-277).
[7] Al-Mughni (II/100). Ijma’ tersebut di atas juga dinukil oleh Imam al-Qurthuby dalam Tafsîrnya (II/443).
[8] Cermati: Bidâyah al-Mujtahid (I/274).
[9] Lihat: Al-Majmû’ (III/202-203).
[10] Baca: Ahkâm al-Qur’ân li al-Imam asy-Syafi’i dihimpun oleh Imam al-Baihaqy (I/68-70).
[11] Lihat: At-Talkhîsh al-Habîr karya Ibn Hajar al-‘Asqalany (II/598).
[12] Periksa: Al-Iqnâ’ fî Halli Alfâzh Abî Syujâ’ karya asy-Syarbiny al-Khathîb (I/170-171) dan I’ânah ath-Thâlibîn karya al-Bakry (I/145).
[13]
Kemiringan yang bisa ditolerir itu yang seberapa? Para ulama
menjelaskan, selama melencengnya tidak sampai berubah arah secara total,
misalkan hingga menghadap ke Selatan atau Utara, padahal Kiblatnya di
arah Barat, maka shalatnya tetap sah. Lihat: Radd al-Muhtâr (II/109, 111).
[14] Baca: Tafsîr Ibn Katsîr (I/459), Nail al-Authâr karya asy-Syaukany (I/720), al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah az-Zuhaily (I/598) dan Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziry (I/160).
[15] Lihat: Radd al-Muhtâr (II/109-111).
[16] Lihat: Asy-Syarh ash-Shaghîr karya ad-Dardir (I/294-295) dan al-Fiqh al-Mâliky wa Adillatuh karya al-Habib bin Thahir (I/192).
[17] Lihat: Al-Mughny (II/101).
[18] Baca: Tafsîr Ibn Katsîr (I/459).
[19] Cermati: Al-Kâmil karya al-Mubarrid (I/249), Maqâyis al-Lughah (III/187) dan Mujmal al-Lughah (II/503) keduanya karya Ibn Fâris, Mukhtâr ash-Shihâh karya ar-Râzy (hal. 166), Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr (VII/117) dan al-Qâmûs al-Muhîth karya al-Fairûzâbâdy (hal. 415).
[20] Lisân al-‘Arab (VII/118).
[21] Periksa: Tafsîr ath-Thabary (III/659-661), Tafsîr al-Baghawy (I/161), Ahkâm al-Qur’ân karya Ibn al-‘Araby (I/70), Tafsîr al-Qurthuby (II/442), Jâmi’ al-Bayân karya al-Îjî (hal. 73), Tafsîr al-Jalâlain karya al-Mahalliy dan as-Suyuthy (hal. 31).
[22] Baca: Ashl Shifat Shalat an-Nabi (I/69).
[23] Cermati: Al-Istidzkâr karya Imam Ibn Abdil Barr (II/458) dan Nail al-Authâr (I/720-721).
[24] Lihat: Syarh al-‘Umdah karya Ibn Taimiyyah (III/12) dan Fath al-Bâry karya Ibn Rajab (II/291).
[25] Baca: Ahkâm al-Qur’ân karta Ibn al-‘Araby (I/70), Tafsîr al-Qurthuby (II/444) dan Radd al-Muhtâr (II/109-110).
[26] Baca: Athlas as-Sîrah an-Nabawiyyah karya Dr. Syauqi Abu Khalîl (hal. 255-256).
[27] Fath al-Bâry (II/296).
[28] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 05 Tahun 2010, Tentang Arah Kiblat.
[29] Lihat: Fath al-Bâry karya Ibn Rajab (II/294).
[30] Al-Muwâfaqât (V/172).
[31] Lihat fatwa terbaru MUI Nomor: 05 Tahun 2010 Tentang Arah Kiblat.
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
No comments:
Post a Comment