Drop Down Menu

Tuesday, 3 February 2015

Proporsional Itu Indah

Studi ringkas tentang keseimbangan ajaran Islam tentang kuburan

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA

Ilustrasi

maqam-baqi-700Pernahkah istri Anda membuat masakan yang keasinan? Bagaimana rasanya? Tentu saja tidak enak! Di lain kesempatan, barangkali istri Anda juga pernah lupa tidak membubuhkan garam di masakannya. Bagaimana rasanya? Jelas saja hambar, dan makan menjadi kurang nikmat. Begitulah sesuatu yang tidak pas dan proporsional, akan tidak enak dirasa, juga tidak indah dipandang.

‘Kaidah’ tersebut bukan hanya berlaku dalam urusan duniawi belaka. Dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi (baca: ibadah) pun ‘kaidah’ ini juga berlaku. Hanya saja dalam hal-hal yang berbau agama, barometernya jauh lebih jelas dan akurat. Berbeda dengan urusan duniawi, yang subjektifitas penilai seringkali lebih berperan. Contoh mudahnya, masakan yang menurut saya tingkat keasinannya sudah pas, belum tentu menurut Anda juga demikian. Relatif!

Proporsionalitas ajaran Islam

Tawâzun atau tanâsub (keseimbangan), begitu kira-kira kata lain proporsional dalam bahasa Arab. Salah satu keistimewaan ajaran Islam, ia memiliki karakter yang seimbang dalam segala sesuatunya. Karenanya terlihat begitu indah. Dalam menyikapi dua alam; dunia dan akhirat, misalnya. Islam membolehkan manusia untuk menikmati keindahan duniawi, selama dalam koridor yang diizinkan agama. Namun Islam juga memotivasi manusia untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya demi menghadapi kehidupan abadi di negeri akhirat kelak. Amat proporsional bukan? Jadi Islam bukanlah agama yang mengharamkan kenikmatan duniawi, tidak pula mengusung ideologi yang melupakan negeri keabadian.

Masih banyak contoh lain yang menggambarkan keseimbangan ajaran Islam. Yang manakala ajaran tersebut tidak dipraktekkan dengan baik, maka pasti akan muncul ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan seorang insan.

Ukuran proporsionalitas amalan

Saat kita berbicara tentang suatu amalan, apakah ia benar atau salah, atau apakah ia proporsional atau tidak, bisa jadi ada sebagian kalangan yang menyeletuk, “Benar menurut siapa? Proporsional menurut siapa? Menurut saya atau anda? Menurut ulama kami atau ulama kalian? Menurut kami amalan ini sudah benar dan proporsional. Toh jika menurut kalian salah dan ekstrim, itu adalah pendapat kalian.  Kebenaran kan relatif?”. Begitu komentar mereka.

Anda tidak perlu merasa bingung menghadapi pertanyaan seperti ini. Sebab kita memiliki barometer yang jelas dan gamblang untuk mengukur hal tersebut. Amalan atau ideologi apapun yang dilandasi dalil sahih, maka itulah yang benar. Sikap apapun yang bersumber dari al-Qur’an atau hadits sahih, serta didukung dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, itulah sikap yang proporsional.

Dari sini kita mengetahui kekeliruan celetukan sebagian orang, saat mengomentari temannya yang rajin shalat lima waktu berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Ditambah sangat berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis, “Kamu itu jangan alim-alim amat kenapa! Ekstrim banget sih! Cobalah kamu lebih moderat dikit!”.

Dia menilai shalat tepat waktu dan menjaga jarak dengan lawan jenis sebagai perilaku ekstrim. Padahal itu bagian dari ajaran agama. Sehingga tidaklah mungkin dikategorikan perilaku ekstrim. Sebab ajaran Islam, manakala diterapkan dengan benar, itulah inti dari sikap proporsional. Tidak ada aturan yang lebih proporsional dibanding aturan Allah ta’ala.

Proporsionalitas Islam dalam menyikapi kuburan

Agama Islam sangat kental dengan keseimbangan dan sikap tengah dalam setiap bagian ajarannya. Termasuk dalam perihal kuburan.

Terkait dengan masalah kuburan, sikap proporsional tersebut terbangun di atas dua pertimbangan:

Pertama: maslahat menjaga kehormatan orang yang telah meninggal.

Kedua: maslahat menjaga kemurnian akidah orang yang masih hidup.[1]

Upaya menjaga kehormatan orang yang telah meninggal, harus dengan sesuatu yang tidak sampai mengorbankan akidahnya orang yang masih hidup.

Sebaliknya, usaha untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, bukan dengan sesuatu yang menodai kehormatan orang yang telah meninggal.

Dengan sikap proporsional seperti ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan.

Berikut beberapa contoh ajaran Islam yang berdimensi penghormatan terhadap kuburan, juga orang yang telah meninggal dunia:

1. Islam mengharamkan membuang hajat di atas kuburan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“لأَنْ أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ. وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقُبُورِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْطَ السُّوقِ!”.

“Lebih baik aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku menjahit sandalku menggunakan kakiku; daripada aku harus berjalan di atas kuburan seorang muslim. Aku tidak peduli antara buang hajat di tengah pekuburan atau di tengah pasar (keduanya sama-sama buruk)”. HR. Ibn Majah (II/154 no. 1589) dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu. Al-Mundziry menilai sanad hadits ini jayyid (baik)[2]. Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih[3].

2. Islam melarang berjalan di atas kuburan.

Dalilnya antara lain adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu tersebut di atas.

3. Islam melarang duduk di atas kuburan

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ”.

“Lebih baik salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga membakar baju dan kulitnya; daripada duduk di atas kuburan”. HR. Muslim (VII/41 no. 245) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

4. Islam melarang mengenakan sandal di pekuburan

Basyir radhiyallahu’anhu; hamba sahaya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bercerita bahwa suatu saat beliau melihat seseorang berjalan di pekuburan sambil mengenakan sandal. Maka beliaupun bersabda,

“يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ! أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ!”.

Wahai si pemakai sandal, celaka engkau. Lepaskan kedua sandalmu!”. HR. Abu Dawud (III/360 no. 3230) dan isnadnya dinyatakan sahih oleh al-Hakim[4] dan al-Albany[5].

5. Islam melarang mematahkan tulang mayit

Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

“كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا”.

“Mematahkan tulang mayit mukmin seperti mematahkannya di saat ia masih hidup”. HR. Ahmad (41/58 no. 24739) dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban[6] serta al-Albany[7].

6. Islam membolehkan meletakkan tanda di atas kuburan

Hal itu dalam rangka menandai bahwa tempat tersebut adalah kuburan, sehingga mudah diketahui saat akan berziarah. Juga tidak dilangkahi atau diduduki.

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan,

“أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ بِصَخْرَةٍ”.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menandai kuburan ‘Utsman bin Mazh’un dengan batu”. HR. Ibn Majah (II/152 no. 1583) dan isnadnya dinyatakan hasan oleh al-Bushiry[8] juga Ibn Hajar[9].

Inilah kadar tanda yang dibenarkan oleh agama kita. Adapun menandai kuburan dengan bangunan, apapun bentuknya, entah sekedar bangunan persegi panjang atau hingga kubah, maka hal itu terlarang. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian.    

Jika dicermati dengan baik, berbagai aturan tersebut di atas, mengarah kepada penghormatan terhadap kuburan dan ahli kubur, namun tidak beraroma pengkultusan. Sehingga akidah umat tetap terjaga kemurniannya. Inilah salah satu keindahan ajaran Islam. Amat proporsional!

Adapun segala sikap yang menjurus kepada pengkultusan kuburan atau ahli kubur dan bisa menodai akidah umat, maka pintu tersebut ditutup rapat-rapat oleh agama kita. Walaupun berdalihkan penghormatan.

Misalnya:

1. Shalat menghadap kuburan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mewanti-wanti,

“لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا“.

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya”. HR. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiyallahu’anhu.

Imam Nawawy (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat ke arah kuburan. Imam Syafi’i berkata, “Aku membenci tindak pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya”.[10]

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggandengkan antara dua etika. Etika pertama untuk menghormati ahli kubur, yakni dengan tidak menduduki kuburannya. Etika kedua untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, yakni dengan tidak shalat menghadap kuburan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara penghormatan terhadap ahli kubur dengan penjagaan terhadap akidah umat.

2. Membangun masjid di kuburan

Rasul shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,

“قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ”.

“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

3. Mendirikan bangunan di atas kuburan

Di antara yang disunnahkan berkenaan dengan masalah kuburan adalah mening­gikannya satu jengkal saja dan tidak lebih dari itu. Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu menceritakan bentuk makam Nabi shallalallahu’alaihiwasallam,

“وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْواً مِنْ شِبْرٍ”.        

“Makam beliau shallallahu’alaihiwasallam ditinggikan dari tanah seukuran satu jengkal.” HR. Ibnu Hibban (XIV/602 no. 6635) dan isnadnya dinilai hasan oleh Syaikh al-Albany[11].

Bahkan, para ulama melarang untuk menambah tanah di atas kuburan dengan tanah yang berasal dari luar kuburan tersebut.

Imam Syafi’i (w. 204 H) berkata, “Aku lebih suka untuk tidak ditambahkan di atas kuburan tanah dari selainnya”[12].

Seandainya meninggikan kuburan lebih dari sejengkal dengan tanah lain saja dilarang, bagaimana jika didirikan bangunan di atasnya? Entah itu berupa nisan persegi panjang (biasanya dibuat setelah seribu hari dari kematian), kubah, joglo atau masjid!

Sebab itu semua menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam berikut:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ”.

“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang untuk dibangun di atas kuburan atau ditambah di atasnya.” HR. An-Nasa`i (IV/391 no. 2026) dari Jabir radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban[13], al-Hakim[14] dan al-Albany[15].

Membuat bangunan di atas kuburan merupakan salah satu faktor terbesar yang akan mengantarkan kepada pengkultusan kuburan tersebut. Yang ujung-ujungnya bermuara kepada kesyirikan. Karena itulah tidak heran jika para ulama mu’tabar dari kalangan empat mazhab Ahlus Sunnah satu kata dalam melarang hal tersebut.[16]

Dan masih banyak praktek-praktek lain terhadap kuburan yang dilarang di dalam Islam. Seperti membuat tulisan di atas kuburan, mewarnainya, meneranginya dengan lampu dan yang semisal. Yang semuanya itu pasti akan menimbulkan dampak negatif, besar atau kecil, terasa atau tidak, terutama terhadap akidah umat.
Sebab kita haqqul yaqin bahwa setiap yang dilarang agama, pasti akan membawa keburukan. Sebaliknya, setiap yang diperintah agama, pasti akan mendatangkan kemaslahatan.

Renungan

Alangkah menyedihkannya perilaku sebagian kalangan yang begitu bersemangat untuk menghiasi kuburan dengan bangunan, padahal itu jelas-jelas haram. Di kesempatan lain, saat mengantar jenazah ke pemakaman, dengan santai sambil ngobrol, mereka duduk-duduk di atas kuburan. Padahal ini juga terlarang. Jadi, larangan mana yang tidak mereka langgar? Terus maslahat apa yang sudah mereka realisasikan?

Kesimpulan

Dari studi ringkas di atas, insyaAllah kita bisa melihat betapa ajaran Islam mengenai kuburan sangatlah proporsional dan tidak timpang sudut pandangannya. Semua mendapat porsi perhatian yang memadai. Baik kepentingan ahli kubur, maupun kepentingan orang yang masih hidup. Kehormatan orang yang meninggal tetap dihargai. Akidah masyarakat pun tetap terjaga.

Jika aturan di atas tidak dijalankan, bisa dipastikan ada pihak yang dirugikan. Bisa jadi yang dirugikan adalah ahli kubur, karena kehormatannya dinodai. Atau lebih parah lagi, yang dirugikan adalah umat manusia, karena akidah mereka rusak. Ujung-ujungnya keindahan proporsionalitas ajaran Islam tentang kuburan, akan tampak buram, akibat ulah sebagian kaum muslimin sendiri.

Hanya kepada Allah sajalah kita mengadu…

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 15 Jumadal Ula 1434 / 27 Maret 2013





[1] Baca: Al-Qubûriyyah, Nasy’atuhâ, Âtsâruhâ, Mauqif al-‘Ulamâ’ minhâ – al-Yaman Namûdzajan, karya Ahmad bin Hasan al-Mu’allim (hal. 63).
[2] Periksa: At-Targhîb wa at-Tarhîb (III/1286).
[3] Lihat: Irwâ’ al-Ghalîl (I/102 no. 63).
[4] Baca: Al-Mustadrak (I/709 no. 1421).
[5] Cermati: Irwâ’ al-Ghalîl (III/211 no. 760). Dalam beberapa kitab yang lain, beliau menyatakan hadits ini hasan.
[6] Lihat: Shahîh Ibn Hibbân (VII/437 no. 3167).
[7] Baca: Irwâ’ al-Ghalîl (III/213 no. 763).
[8] Sebagaimana dalam Mishbâh az-Zujâjah di hasyiyah Sunan Ibn Majah (II/152).
[9] Melalui jalan Abu Dawud. Periksa: At-Talkhîsh al-Habîr (III/1241 no. 964).
[10] Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[11] Lihat: Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 195).
[12] Al-Umm (I/463).
[13] Shahih Ibn Hibban (VII/434 no. 3163).
[14] Al-Mustadrak (no. 1369).
[15] Lihat: Shahîh Sunan an-Nasâ’i (II/65 no. 2026).
[16] Sekedar contoh, untuk Ulama Mazhab Hanafi, silahkan baca: Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kâsâny (II/797) dan Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (II/236). Ulama Mazhab Maliki, silahkan periksa: Ikmâl al-Mu’lim karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/540) dan Tafsîr al-Qurthuby (XIII/242-243). Ulama Mazhab Syafi’i, silahkan telaah: Al-Umm karya Imam Syafi’i (I/463), al-Majmû’ karya an-Nawawy (V/289) dan Faidh al-Qadîr karya al-Munawy (V/274). Ulama Mazhab Hambali, silahkan lihat: al-Mughny karya Ibn Qudamah (III/441), Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488) dan Ighâtsah al-Lahfân karya Ibn al-Qayyim (I/350).


*diambil dari artikel www.tunasilmu.com

No comments:

Post a Comment