Studi ringkas tentang keseimbangan ajaran Islam tentang kuburan
Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA
Ilustrasi
Pernahkah istri Anda membuat masakan yang keasinan? Bagaimana
rasanya? Tentu saja tidak enak! Di lain kesempatan, barangkali istri
Anda juga pernah lupa tidak membubuhkan garam di masakannya. Bagaimana
rasanya? Jelas saja hambar, dan makan menjadi kurang nikmat. Begitulah
sesuatu yang tidak pas dan proporsional, akan tidak enak dirasa, juga
tidak indah dipandang.
‘Kaidah’ tersebut bukan hanya berlaku dalam urusan duniawi belaka.
Dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi (baca: ibadah) pun ‘kaidah’ ini juga
berlaku. Hanya saja dalam hal-hal yang berbau agama, barometernya jauh
lebih jelas dan akurat. Berbeda dengan urusan duniawi, yang
subjektifitas penilai seringkali lebih berperan. Contoh mudahnya,
masakan yang menurut saya tingkat keasinannya sudah pas, belum tentu
menurut Anda juga demikian. Relatif!
Proporsionalitas ajaran Islam
Tawâzun atau tanâsub (keseimbangan), begitu kira-kira
kata lain proporsional dalam bahasa Arab. Salah satu keistimewaan ajaran
Islam, ia memiliki karakter yang seimbang dalam segala sesuatunya.
Karenanya terlihat begitu indah. Dalam menyikapi dua alam; dunia dan
akhirat, misalnya. Islam membolehkan manusia untuk menikmati keindahan
duniawi, selama dalam koridor yang diizinkan agama. Namun Islam juga
memotivasi manusia untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya demi
menghadapi kehidupan abadi di negeri akhirat kelak. Amat proporsional
bukan? Jadi Islam bukanlah agama yang mengharamkan kenikmatan duniawi,
tidak pula mengusung ideologi yang melupakan negeri keabadian.
Masih banyak contoh lain yang menggambarkan keseimbangan ajaran
Islam. Yang manakala ajaran tersebut tidak dipraktekkan dengan baik,
maka pasti akan muncul ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan seorang
insan.
Ukuran proporsionalitas amalan
Saat kita berbicara tentang suatu amalan, apakah ia benar atau salah,
atau apakah ia proporsional atau tidak, bisa jadi ada sebagian kalangan
yang menyeletuk, “Benar menurut siapa? Proporsional menurut siapa?
Menurut saya atau anda? Menurut ulama kami atau ulama kalian? Menurut
kami amalan ini sudah benar dan proporsional. Toh jika menurut kalian salah dan ekstrim, itu adalah pendapat kalian. Kebenaran kan relatif?”. Begitu komentar mereka.
Anda tidak perlu merasa bingung menghadapi pertanyaan seperti ini.
Sebab kita memiliki barometer yang jelas dan gamblang untuk mengukur hal
tersebut. Amalan atau ideologi apapun yang dilandasi dalil sahih, maka
itulah yang benar. Sikap apapun yang bersumber dari al-Qur’an atau hadits sahih, serta didukung dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, itulah sikap yang proporsional.
Dari sini kita mengetahui kekeliruan celetukan sebagian orang, saat
mengomentari temannya yang rajin shalat lima waktu berjamaah di masjid
tepat pada waktunya. Ditambah sangat berhati-hati dalam bergaul dengan
lawan jenis, “Kamu itu jangan alim-alim amat kenapa! Ekstrim banget sih! Cobalah kamu lebih moderat dikit!”.
Dia menilai shalat tepat waktu dan menjaga jarak dengan lawan jenis
sebagai perilaku ekstrim. Padahal itu bagian dari ajaran agama. Sehingga
tidaklah mungkin dikategorikan perilaku ekstrim. Sebab ajaran Islam,
manakala diterapkan dengan benar, itulah inti dari sikap proporsional.
Tidak ada aturan yang lebih proporsional dibanding aturan Allah ta’ala.
Proporsionalitas Islam dalam menyikapi kuburan
Agama Islam sangat kental dengan keseimbangan dan sikap tengah dalam setiap bagian ajarannya. Termasuk dalam perihal kuburan.
Terkait dengan masalah kuburan, sikap proporsional tersebut terbangun di atas dua pertimbangan:
Pertama: maslahat menjaga kehormatan orang yang telah meninggal.
Kedua: maslahat menjaga kemurnian akidah orang yang masih hidup.[1]
Upaya menjaga kehormatan orang yang telah meninggal, harus dengan
sesuatu yang tidak sampai mengorbankan akidahnya orang yang masih hidup.
Sebaliknya, usaha untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, bukan
dengan sesuatu yang menodai kehormatan orang yang telah meninggal.
Dengan sikap proporsional seperti ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan.
Berikut beberapa contoh ajaran Islam yang berdimensi penghormatan terhadap kuburan, juga orang yang telah meninggal dunia:
1. Islam mengharamkan membuang hajat di atas kuburan.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لأَنْ
أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي؛
أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ. وَمَا أُبَالِي
أَوَسْطَ الْقُبُورِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْطَ السُّوقِ!”.
“Lebih baik aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku
menjahit sandalku menggunakan kakiku; daripada aku harus berjalan di
atas kuburan seorang muslim. Aku tidak peduli antara buang hajat di tengah pekuburan atau di tengah pasar (keduanya sama-sama buruk)”. HR. Ibn Majah (II/154 no. 1589) dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu. Al-Mundziry menilai sanad hadits ini jayyid (baik)[2]. Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih[3].
2. Islam melarang berjalan di atas kuburan.
Dalilnya antara lain adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu tersebut di atas.
3. Islam melarang duduk di atas kuburan
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“لأَنْ
يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ
إِلَى جِلْدِهِ؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ”.
“Lebih baik salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga membakar baju dan kulitnya; daripada duduk di atas kuburan”. HR. Muslim (VII/41 no. 245) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
4. Islam melarang mengenakan sandal di pekuburan
Basyir radhiyallahu’anhu; hamba sahaya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bercerita bahwa suatu saat beliau melihat seseorang berjalan di pekuburan sambil mengenakan sandal. Maka beliaupun bersabda,
“يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ! أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ!”.
“Wahai si pemakai sandal, celaka engkau. Lepaskan kedua sandalmu!”. HR. Abu Dawud (III/360 no. 3230) dan isnadnya dinyatakan sahih oleh al-Hakim[4] dan al-Albany[5].
5. Islam melarang mematahkan tulang mayit
Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا”.
“Mematahkan tulang mayit mukmin seperti mematahkannya di saat ia masih hidup”. HR. Ahmad (41/58 no. 24739) dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban[6] serta al-Albany[7].
6. Islam membolehkan meletakkan tanda di atas kuburan
Hal itu dalam rangka menandai bahwa tempat tersebut adalah kuburan,
sehingga mudah diketahui saat akan berziarah. Juga tidak dilangkahi atau
diduduki.
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan,
“أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ بِصَخْرَةٍ”.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menandai kuburan ‘Utsman bin Mazh’un dengan batu”. HR. Ibn Majah (II/152 no. 1583) dan isnadnya dinyatakan hasan oleh al-Bushiry[8] juga Ibn Hajar[9].
Inilah kadar tanda yang dibenarkan oleh agama kita. Adapun menandai
kuburan dengan bangunan, apapun bentuknya, entah sekedar bangunan
persegi panjang atau hingga kubah, maka hal itu terlarang. Sebagaimana
akan dijelaskan kemudian.
Jika dicermati dengan baik, berbagai aturan tersebut di atas,
mengarah kepada penghormatan terhadap kuburan dan ahli kubur, namun
tidak beraroma pengkultusan. Sehingga akidah umat tetap terjaga
kemurniannya. Inilah salah satu keindahan ajaran Islam. Amat
proporsional!
Adapun segala sikap yang menjurus kepada pengkultusan kuburan atau
ahli kubur dan bisa menodai akidah umat, maka pintu tersebut ditutup
rapat-rapat oleh agama kita. Walaupun berdalihkan penghormatan.
Misalnya:
1. Shalat menghadap kuburan.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mewanti-wanti,
“لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا“.
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya”. HR. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiyallahu’anhu.
Imam Nawawy (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan
terlarangnya shalat ke arah kuburan. Imam Syafi’i berkata, “Aku membenci
tindak pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir
mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya”.[10]
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggandengkan antara dua etika. Etika pertama untuk menghormati ahli kubur, yakni dengan tidak menduduki kuburannya. Etika kedua
untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, yakni dengan tidak shalat
menghadap kuburan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara
penghormatan terhadap ahli kubur dengan penjagaan terhadap akidah umat.
2. Membangun masjid di kuburan
Rasul shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,
“قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ”.
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
3. Mendirikan bangunan di atas kuburan
Di antara yang disunnahkan berkenaan dengan masalah kuburan adalah
meninggikannya satu jengkal saja dan tidak lebih dari itu. Jabir bin
Abdullah radhiyallahu’anhu menceritakan bentuk makam Nabi shallalallahu’alaihiwasallam,
“وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْواً مِنْ شِبْرٍ”.
“Makam beliau shallallahu’alaihiwasallam ditinggikan dari tanah seukuran satu jengkal.” HR. Ibnu Hibban (XIV/602 no. 6635) dan isnadnya dinilai hasan oleh Syaikh al-Albany[11].
Bahkan, para ulama melarang untuk menambah tanah di atas kuburan dengan tanah yang berasal dari luar kuburan tersebut.
Imam Syafi’i (w. 204 H) berkata, “Aku lebih suka untuk tidak ditambahkan di atas kuburan tanah dari selainnya”[12].
Seandainya meninggikan kuburan lebih dari sejengkal dengan tanah lain
saja dilarang, bagaimana jika didirikan bangunan di atasnya? Entah itu
berupa nisan persegi panjang (biasanya dibuat setelah seribu hari dari
kematian), kubah, joglo atau masjid!
Sebab itu semua menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam berikut:
“نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ”.
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang untuk dibangun di atas kuburan atau ditambah di atasnya.” HR. An-Nasa`i (IV/391 no. 2026) dari Jabir radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban[13], al-Hakim[14] dan al-Albany[15].
Membuat bangunan di atas kuburan merupakan salah satu faktor terbesar
yang akan mengantarkan kepada pengkultusan kuburan tersebut. Yang
ujung-ujungnya bermuara kepada kesyirikan. Karena itulah tidak heran
jika para ulama mu’tabar dari kalangan empat mazhab Ahlus Sunnah satu
kata dalam melarang hal tersebut.[16]
Dan masih banyak praktek-praktek lain terhadap kuburan yang dilarang
di dalam Islam. Seperti membuat tulisan di atas kuburan, mewarnainya,
meneranginya dengan lampu dan yang semisal. Yang semuanya itu pasti akan
menimbulkan dampak negatif, besar atau kecil, terasa atau tidak,
terutama terhadap akidah umat.
Sebab kita haqqul yaqin bahwa setiap yang dilarang agama, pasti akan membawa keburukan. Sebaliknya, setiap yang diperintah agama, pasti akan mendatangkan kemaslahatan.
Renungan
Alangkah menyedihkannya perilaku sebagian kalangan yang begitu bersemangat untuk menghiasi kuburan dengan bangunan, padahal itu jelas-jelas haram. Di kesempatan lain, saat mengantar jenazah ke pemakaman, dengan santai sambil ngobrol, mereka duduk-duduk di atas kuburan. Padahal ini juga terlarang. Jadi, larangan mana yang tidak mereka langgar? Terus maslahat apa yang sudah mereka realisasikan?
Kesimpulan
Dari studi ringkas di atas, insyaAllah kita bisa melihat
betapa ajaran Islam mengenai kuburan sangatlah proporsional dan tidak
timpang sudut pandangannya. Semua mendapat porsi perhatian yang memadai.
Baik kepentingan ahli kubur, maupun kepentingan orang yang masih hidup.
Kehormatan orang yang meninggal tetap dihargai. Akidah masyarakat pun
tetap terjaga.
Jika aturan di atas tidak dijalankan, bisa dipastikan ada pihak yang dirugikan.
Bisa jadi yang dirugikan adalah ahli kubur, karena kehormatannya
dinodai. Atau lebih parah lagi, yang dirugikan adalah umat manusia,
karena akidah mereka rusak. Ujung-ujungnya keindahan proporsionalitas
ajaran Islam tentang kuburan, akan tampak buram, akibat ulah sebagian
kaum muslimin sendiri.
Hanya kepada Allah sajalah kita mengadu…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 15 Jumadal Ula 1434 / 27 Maret 2013
[1] Baca: Al-Qubûriyyah, Nasy’atuhâ, Âtsâruhâ, Mauqif al-‘Ulamâ’ minhâ – al-Yaman Namûdzajan, karya Ahmad bin Hasan al-Mu’allim (hal. 63).
[2] Periksa: At-Targhîb wa at-Tarhîb (III/1286).
[3] Lihat: Irwâ’ al-Ghalîl (I/102 no. 63).
[4] Baca: Al-Mustadrak (I/709 no. 1421).
[5] Cermati: Irwâ’ al-Ghalîl (III/211 no. 760). Dalam beberapa kitab yang lain, beliau menyatakan hadits ini hasan.
[6] Lihat: Shahîh Ibn Hibbân (VII/437 no. 3167).
[7] Baca: Irwâ’ al-Ghalîl (III/213 no. 763).
[8] Sebagaimana dalam Mishbâh az-Zujâjah di hasyiyah Sunan Ibn Majah (II/152).
[9] Melalui jalan Abu Dawud. Periksa: At-Talkhîsh al-Habîr (III/1241 no. 964).
[10] Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[11] Lihat: Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 195).
[12] Al-Umm (I/463).
[13] Shahih Ibn Hibban (VII/434 no. 3163).
[14] Al-Mustadrak (no. 1369).
[15] Lihat: Shahîh Sunan an-Nasâ’i (II/65 no. 2026).
[16] Sekedar contoh, untuk Ulama Mazhab Hanafi, silahkan baca: Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kâsâny (II/797) dan Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (II/236). Ulama Mazhab Maliki, silahkan periksa: Ikmâl al-Mu’lim karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/540) dan Tafsîr al-Qurthuby (XIII/242-243). Ulama Mazhab Syafi’i, silahkan telaah: Al-Umm karya Imam Syafi’i (I/463), al-Majmû’ karya an-Nawawy (V/289) dan Faidh al-Qadîr karya al-Munawy (V/274). Ulama Mazhab Hambali, silahkan lihat: al-Mughny karya Ibn Qudamah (III/441), Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488) dan Ighâtsah al-Lahfân karya Ibn al-Qayyim (I/350).
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
No comments:
Post a Comment