PROLOG
“Mas, apa hukum ngumpul-ngumpul di keluarga orang
yang meninggal?”, tanya seorang awam kepada temannya yang menurut dia
lebih paham agama, karena terlihat rajin ngaji.
“Haram!” jawabnya dengan tegas.
“Dalilnya apa?”.
“Eemm, apa ya? Ntar saya tanyakan dulu ke Ustadzku”.
“Terus kalo Yasinan dan Tahlilan, hukumnya apa?”.
“Bid’ah!”.
“Kalo yang ini dalilnya apa?”.
“Eemm, apa ya? Saya ngajinya gitu lo. Coba ntar tak tanyakan lagi ke Ustadzku”.
Demikian obrolan antara dua orang kawan berakhir.
“Dalilnya apa?”.
“Eemm, apa ya? Ntar saya tanyakan dulu ke Ustadzku”.
“Terus kalo Yasinan dan Tahlilan, hukumnya apa?”.
“Bid’ah!”.
“Kalo yang ini dalilnya apa?”.
“Eemm, apa ya? Saya ngajinya gitu lo. Coba ntar tak tanyakan lagi ke Ustadzku”.
Demikian obrolan antara dua orang kawan berakhir.
STUDI KRITIS
Menilik jalannya dialog di atas, menurut hemat kami,
sekurang-kurangnya ada dua catatan penting yang perlu digoreskan untuk
menanggapinya.
Catatan Pertama: Berdakwah itu Perlu Memakai Etika
Satu hal yang kerap dilupakan oleh teman-teman ketika berdakwah,
terutama saat menjawab pertanyaan perihal agama, adalah perlunya
menggunakan etika atau seni berbicara. Saking urgennya fatsun (sopan
santun) ini, sampai sebagian pakar pendidikan menyatakan bahwa “ath-tharîqah ahammu min al-mâddah (metode penyampaian itu lebih penting dibandingkan materi
yang akan disampaikan)”. Dari sini kita bisa memahami mengapa kebatilan
seringkali begitu laris, sebaliknya kebenaran kerap tidak diminati.
Salah satu penyebabnya adalah karena kebatilan dibungkus dengan label
yang amat menarik. Sebaliknya, kebenaran dipaparkan oleh sebagian orang
dengan cara yang sama sekali tidak simpatik.
Betul memang, bahwa dakwah itu perlu disampaikan dengan jelas dan lugas. Tapi “jelas” itu tidak mesti berarti langsung to the point. Dan
jangan lupa, bahwa obyek dakwah itu amatlah beragam. Ada di antara
mereka berasal dari kalangan berpendidikan, yang bila hanya didoktrin
tanpa diiringi penjelasan yang memadai dan memuaskan, dakwah itu justru
akan mental. Di sinilah kita perlu memperhatikan kondisi psikologis
tersebut[1] dan pintar ‘bermain kata’ saat mendakwahinya.
Lantas jawaban yang lebih pas bagaimana?
Untuk kasus tersebut di atas, mengenai pertanyaan tentang hukum ngumpul-ngumpul di rumah keluarga orang yang meninggal, jawaban yang dilontarkan bisa misalnya, “Sebatas ilmu yang saya dapatkan, acara ngumpul-ngumpul seperti itu, terutama pasca jenazah dimakamkan, terlebih hingga berhari-hari, tidak dibenarkan dalam agama.
Apalagi sampai memberatkan mereka yang sedang berduka, untuk
menyediakan sajian makan besar buat penduduk satu RT. Bukankah orang
yang sedang tertimpa musibah seharusnya dibantu, bukan malah dibebani?
Jika demikian keadaannya, apa bedanya mereka dengan orang yang sudah
jatuh, masih tertimpa tangga pula!”.
Begitu kira-kira jawaban simpel yang bisa disampaikan padanya. Kuncinya ajaklah dia berpikir dan bangkitkan empatinya.
Untuk menguatkan jawaban, bisa Anda menukil pesan Nabi shallallahu’alaihi wasallam, saat salah satu sahabatnya; Ja’far radhiyallahu’anhu wafat,
“اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا؛ فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ”
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang menguras (tenaga dan pikiran) mereka”. HR. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albany.
Namun keterangan di atas bukan berarti mengajarkan bahwa keluarga
yang sedang ditimpa musibah tidak boleh ditemani dan dihibur oleh
orang-orang dekatnya. Yang ingin disampaikan di sini adalah, jangan
sampai kita terjerumus dalam perilaku niyâhah (meratap) yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Yang
salah satu potretnya adalah: berkumpul-kumpul dan makan-makan di rumah
si mayit, tanpa alasan yang dibenarkan agama. Jarir bin Abdullah radhiyallahu’anhu menjelaskan,
“كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ”
“Kami (para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam) menilai
kumpul-kumpul dan makan-makan di rumah keluarga orang yang meninggal
setelah pemakamannya, termasuk kategori niyâhah (meratap)”. HR. Ahmad dan isnadnya dinyatakan sahih oleh ash-Shan’any.
Adapun jawaban terhadap pertanyaan tentang Yasinan dan Tahlilan, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa sebenarnya hukum asal membaca surat Yasin dan melantunkan kalimat Tahlil.
Terangkan bahwa membaca surat Yasin itu berpahala besar, sebab termasuk
dari al-Qur’an, yang tiap hurufnya mendatangkan sepuluh pahala.
Melantunkan kalimat Tahlil juga bagian dari amal ibadah istimewa, sebab
kalimat thayyibah tersebut merupakan dzikir yang paling afdal.
Setelah hal tersebut gamblang, barulah dijelaskan bahwa salah satu
syarat fundamental diterimanya suatu ibadah adalah: tata caranya harus
sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Sebagaimana
telah maklum, bahwa tambahan suku kata “an” di akhir kata Yasin dan
Tahlil, sehingga menjadi Yasinan dan Tahlilan, mengandung makna khusus.
Yakni bukan semata membaca surat Yasin atau melantunkan kalimat Tahlil.
Namun sudah merupakan istilah dari sebuah ritual yang ditentukan
waktunya, tata caranya, bacaannya dan aturan-aturan main lain. Yang jika
dicermati, bisa dipastikan ritual tersebut tidak ada akar dalilnya
dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Atau dengan kata lain, amalan tersebut tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu‘alaihiwasallam. Sehingga tidak perlu diamalkan maupun dilestarikan.
Menjelaskan perbedaan antara hukum membaca surat
Yasin dengan hukum ritual Yasinan, juga antara hukum melantunkan kalimat
Tahlil dengan hukum menjalankan ritual Tahlilan, amat perlu dan
penting. Untuk menepis anggapan dan tuduhan orang-orang jahil, bahwa
kita mengharamkan membaca surat Yasin dan mengucapkan Tahlil. Kami
menilai ini prinsipil; karena perspektif keliru tadi berbahaya jika
dibiarkan. Sebab akan memunculkan kerancuan pemahaman, mengapa ibadah
mulia koq dilarang untuk dikerjakan?!
Catatan Kedua: Berdakwah itu Perlu Modal Ilmu
Melihat jawaban-jawaban yang dilontarkan ikhwan tersebut di atas, secara sekilas kita bisa melihat betapa njomplangnya perbandingan antara jawaban pertama dan kedua. Manakala ditanya tentang hukum ngumpul-ngumpul di
rumah keluarga orang yang meninggal, juga hukum Yasinan dan Tahlilan,
dengan tegas dan lancar, ia menjawab, “Haram! Bid’ah!”. Namun begitu
ditanya tentang landasan hukum tersebut, ketegasan tadi sontak berubah
menjadi keraguan dan ketidakpastian. “Eeemm, apa ya dalilnya. Saya ndak tahu lo. Kata Ustadz di pengajian seperti itu. Coba ntar saya tanyakan lagi ke Ustadz…”. Sebuah jawaban yang amat tidak meyakinkan apalagi memuaskan si penanya.
Fenomena kontradiktif seperti ini amat disayangkan banyak terjadi di kalangan ikhwan-akhwat, terlebih yang baru-baru ngaji[2].
Dirasakan oleh mereka atau tidak, sejatinya perilaku tersebut lebih
banyak merugikan dakwah, dibanding menguntungkannya. Sebab lambat laun
akan terbangun imej di masyarakat, bahwa para pengusung dakwah ini hanya
pintar memvonis, tanpa bisa berargumen.
Perlu disadari oleh semua saja, entah itu Ustadz atau jamaah
pengajian biasa, bahwa berdakwah itu perlu modal, terlebih modal ilmu.
Bukan sekedar berbekal bonek (bondo nekat). Kesadaran ini seharusnya
semakin melecut semangat kaum muslimin dan muslimat pada umumnya, untuk lebih giat lagi dalam belajar agama. Bahkan bila perlu, berlatih menghapal dalil-dalil inti landasan prinsip pola beragama (manhaj).
Misalkan, dalil bahwa setiap ibadah itu harus ada landasannya. Antara lain sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ”.
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan itu akan tertolak”. HR. Muslim.
Dalil kewajiban mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, antara lain firman-Nya,
“وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ”.
Artinya: “Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya”. QS. Al-Bayyinah: 5.
Begitu seterusnya…
Dengan semakin bertambah tingginya animo masyarakat untuk mengenal
dakwah salaf, juga semakin banyaknya tudingan-tudingan keji para
musuhnya, kewajiban menyampaikan dakwah tidak lagi hanya dibebankan
kepada para da’i dan ustadz. Pola pikir seperti itu harus segera
diakhiri. Justru setiap muslim dan muslimah perlu memberikan andilnya
dalam berdakwah, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing
EPILOG
Pemaparan tadi itulah, kira-kira uraian yang kami sampaikan kepada
ikhwan pelaku dialog tersebut di atas, manakala dia berkonsultasi kepada
kami via telpon. Guna membantunya menggarap ‘PR (Pekerjaan Rumah)’ dari
temannya yang kritis dalam bertanya.
Teknik menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, insyaAllah bukan
sekedar permainan kata dan retorika kosong belaka. Namun merupakan
secercah upaya untuk memperbaiki diri, terutama cara dan kualitas dakwah
yang kita sampaikan. Agar bisa menapak hari esok yang lebih cerah,
dengan izin Allah ta’ala…
Semoga bermanfaat! Wallahu a’lâ wa a’lam…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 9 Muharram 1434 / 23 November 2012
Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA
[1] Silahkan membaca makalah kami yang berjudul “Berdakwah dengan Akhlak Mulia” poin keempat: “Santun dalam menyampaikan nasehat, sambil memperhatikan kondisi psikologis orang yang dinasehati”. Di website www.tunasilmu.com.
[2] Bahkan yang lebih memprihatinkan, kadangkala hal itu juga dialami oleh ikhwan-akhwat yang telah puluhan tahun ngaji. Karena ternyata waktu mereka habis untuk mengupdate pengetahuannya
tentang perkembangan fitnah-fitnah yang terjadi di antara orang-orang
yang menisbatkan diri kepada Ahlus Sunnah. Sehingga ia begitu fasih dan
lancar ketika diminta untuk menyebutkan daftar nama ‘Ustadz’ yang
(katanya) bermasalah, lengkap beserta ‘kesalahan’ masing-masing. Namun
saat diminta untuk membaca rukun shalat; surat al-Fatihah, yang minimal
diulangnya dalam sehari 17 kali, ternyata bacaannya masih grothal-grathul (tidak karuan makhraj dan tajwidnya).
Wallahul musta’an…
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
Wallahul musta’an…
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
No comments:
Post a Comment