Prolog
Suatu saat ketika mengisi pengajian, penulis menyinggung tentang
betapa tercelanya perilaku para ‘lintah darat’. Ternyata kemudian dalam
sesi tanya jawab, salah satu jama’ah bertanya, “Ustadz, para rentenir
itu ketika dinasehati, justru berargumen, wong tujuan kami adalah baik; membantu orang-orang yang sedang terjepit koq. Masa ndak boleh?!”.
Kata saya, “Nulung (membantu) atau menthung (memukul)?
Berniat murni membantu orang yang kesusahan, atau justru memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan? Kalau benar-benar bertujuan untuk membantu,
mengapa musti disyaratkan dari awal bahwa kelak manakala mengembalikan
harus pakai bunga?”.
Bolehkah ‘membisniskan’ hutang piutang?
Islam manakala membolehkan praktek hutang piutang jika sesuai dengan
etikanya, bukanlah tanpa tujuan. Banyak hikmah mulia yang bisa dipetik,
baik oleh si pemberi pinjaman maupun si peminjam. Di antaranya: guna
menumbuhkembangkan ruh saling membantu dan kepedulian sosial terhadap
sesama.[1]
Jadi, sebenarnya pemberian piutang haruslah bermotif sosial (ihsân atau tabarru’) dan ibadah mengharap pahala dari Allah semata. Bukan bermotifkan bisnis dan mengeruk ‘keuntungan duniawi’ (baca: bunga).
Menjadikan piutang sebagai lahan basah bisnis merupakan perilaku jahiliyah yang diperangi Islam.
Alkisah, orang-orang jahiliyah dahulu manakala memberikan pinjaman,
mereka menentukan jatuh tempo pengembalian. Apabila si peminjam tidak
bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, dikenakanlah
bunga sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran.[2]
Yang bunga itu akan semakin bertambah dengan berjalannya waktu.
Sehingga si peminjam akan sangat sengsara karena terbebani dengan hutang
yang semakin berlipat ganda.[3]
Lalu datanglah Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn dan melarang praktek seperti itu serta mengkategorikannya sebagai riba. Allah ta’ala berfirman,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kalian mendapat keberuntungan.” QS. Ali Imran (3): 130.
Jika kita cermati dengan seksama ternyata praktek pengambilan bunga
dari hutang piutang di zaman ini lebih parah dibanding di zaman
jahiliyah dulu. Sebab pada riba jahiliyah, bunga baru akan dikenakan
ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah
ditentukan, sebagai kompensasi pengunduran waktu pembayaran. Sedangkan
pada praktek perbankan dan rentenir saat ini, bunga telah ditetapkan
sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima
dana yang dipinjamnya. Oleh karena praktek riba yang terjadi pada sektor
perbankan dan yang dipraktekkan oleh para lintah darat saat ini, jelas
lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.
Undur atau bebaskan!
Di antara hal yang semakin menguatkan bahwa pemberian piutang dalam agama kita adalah berdimensi sosial bukan bisnis minded, adalah etika manakala si peminjam belum mampu untuk melunasi saat jatuh tempo.
Etikanya adalah satu di antara dua; undur atau bebaskan!
1. Undurlah tenggat pembayarannya, hingga ia mampu. Allah ta’ala memerintahkan,
“وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ”
Artinya: “Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan”. QS. Al-Baqarah (2): 280.
2. Jika tidak mampu pula, dan ia memang benar-benar tidak mampu, maka bebaskanlah hutangnya. Cara kedua ini lebih afdhal dibanding cara pertama. Kata Allah melanjutkan ayat di atas,
“وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ”
Artinya: “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui”. QS. Al-Baqarah: 280.
Maksud “sedekah” dalam ayat ini adalah membebaskan si peminjam dari
kewajiban mengembalikan pinjamannya, baik secara total maupun parsial.[4]
Apa gerangan yang mendorong muslim untuk melakukan etika di atas? Apa
pula keuntungan duniawi yang akan diunduhnya manakala ia mengundur
tenggat pelunasan atau bahkan membebaskannya?
Motifnya tidak lain adalah karena mengharap pahala ukhrawi yang dijanjikan Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
“مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ“
“Barang siapa menangguhkan pembayaran hutang orang yang sedang
kesulitan, atau membebaskan hutangnya; maka Allah akan menaungi dia
dengan naungan-Nya (pada hari kiamat)”. HR. Muslim dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit.
Ntar jadi ketagihan dong!
Mempraktekkan etika di atas apa tidak mengakibatkan si tukang utang
semakin menjadi-jadi dalam berhutang dan semakin ketagihan untuk tidak
melunasinya?
Jawabannya: kita perlu melihat tipe manusianya. Apakah ia
berhutang karena betul-betul kepepet dan bertekad bulat untuk
melunasinya. Cuman karena kondisi ekonomi yang memprihatinkan, ia tidak
mampu untuk mengembalikan pinjaman. Ataukah ia memang punya hobi
berhutang, butuh atau ndak butuh. Dan dari awal telah tercium ia
tidak punya itikad baik untuk membayar. Atau bahkan sudah terkenal di
seantero kampung, sebagai si jago utang plus malas membayar?
Jika ia termasuk tipe kedua, maka kita memiliki tanggung jawab moral
untuk memberinya pelajaran dan merubah perilaku buruknya. Dengan tidak
membebaskan hutang dia, misalnya. Atau bahkan mungkin sejak awal tidak
menghutanginya.
Menilai dan membedakan tipe satu orang dengan yang lainnya,
sebenarnya telah diisyaratkan Allah dalam akhir QS. Al-Baqarah: 280
tersebut di atas: “Jika kalian mengetahui”.
Mengetahui apa? “Mengetahui bahwa pembebasan hutang tersebut positif”.[5]
Balas budi
Manakala kita terdesak suatu kebutuhan mendadak, misal istri
tersayang harus segera operasi, padahal saat itu kantong lagi kempes.
Kemudian tau-tau ada teman berbaik hati meminjamkan uang, dan kita
diberi keluasan tenggang waktu, tanpa bunga pula. Bukankah ia telah
berbuat begitu baik pada kita? Bagaimana cara kita membalas budinya?
Apakah tidak dibenarkan manakala mengembalikan pinjaman tersebut, kita
memberinya nominal yang lebih dari jumlah uang yang kita pinjam? Dengan
niat balas budi.
Jawabannya: boleh bahkan disunnahkan.[6] Sebab Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun dalam banyak hadits sahih, diceritakan seringkali mempraktekkan hal itu manakala membayar hutang.[7] Dan beliau juga pernah bersabda,
“إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً“
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling baik ketika membayar hutang”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Beda antara perilaku mulia ini dengan praktek tercela tersebut
di awal tulisan, adalah: di sini tidak ada pensyaratan di awal atau
kesepakatan di muka harus mengembalikan pinjaman dengan nilai lebih.
Namun benar-benar inisiatif sepihak dari si peminjam.[8]
Wallahu ta’ala a’lam…
@Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 29 Rabi’ul Awwal 1433 / 21 Februari 2012
[1] Baca: Ahkâm ad-Dain – Dirâsah Hadîtsiyyah Fiqhiyyah karya Sulaiman al-Qushayyir (hal. 21-22).
[2] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (VI/49).
[3] Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
[4] Periksa: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 98).
[5] Tafsîr al-Jalâlain (hal. 56).
[6] Baca: Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawy (XI/39).
[7] Lihat berbagai hadits tersebut beserta takhrijnya dalam Ahkâm ad-Dain (hal. 235-250).
[8] Syarh Shahih Muslim (XI/39).
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
No comments:
Post a Comment