Drop Down Menu

Tuesday, 17 February 2015

Hutang-Piutang: Lahan Basah Bisnis?

Prolog

Hasil gambar untuk Hutang-Piutang: Lahan Basah Bisnis?Suatu saat ketika mengisi pengajian, penulis menyinggung tentang betapa tercelanya perilaku para ‘lintah darat’. Ternyata kemudian dalam sesi tanya jawab, salah satu jama’ah bertanya, “Ustadz, para rentenir itu ketika dinasehati, justru berargumen, wong tujuan kami adalah baik; membantu orang-orang yang sedang terjepit koq. Masa ndak boleh?!”.

Kata saya, “Nulung (membantu) atau menthung (memukul)? Berniat murni membantu orang yang kesusahan, atau justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan? Kalau benar-benar bertujuan untuk membantu, mengapa musti disyaratkan dari awal bahwa kelak manakala mengembalikan harus pakai bunga?”.

Bolehkah ‘membisniskan’ hutang piutang?

Islam manakala membolehkan praktek hutang piutang jika sesuai dengan etikanya, bukanlah tanpa tujuan. Banyak hikmah mulia yang bisa dipetik, baik oleh si pemberi pinjaman maupun si peminjam. Di antaranya: guna menumbuhkembangkan ruh saling membantu dan kepedulian sosial terhadap sesama.[1]

Jadi, sebenarnya pemberian piutang haruslah bermotif sosial (ihsân atau tabarru’) dan ibadah mengharap pahala dari Allah semata. Bukan bermotifkan bisnis dan mengeruk ‘keuntungan duniawi’ (baca: bunga).

Menjadikan piutang sebagai lahan basah bisnis merupakan perilaku jahiliyah yang diperangi Islam.

Alkisah, orang-orang jahiliyah dahulu manakala memberikan pinjaman, mereka menentukan jatuh tempo pengembalian. Apabila si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, dikenakanlah bunga sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran.[2] Yang bunga itu akan semakin bertambah dengan berjalannya waktu. Sehingga si peminjam akan sangat sengsara karena terbebani dengan hutang yang semakin berlipat ganda.[3]

Lalu datanglah Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn dan melarang praktek seperti itu serta mengkategorikannya sebagai riba. Allah ta’ala berfirman,

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.” QS. Ali Imran (3): 130.

Jika kita cermati dengan seksama ternyata praktek pengambilan bunga dari hutang piutang di zaman ini lebih parah dibanding di zaman jahiliyah dulu. Sebab pada riba jahiliyah, bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi pengunduran waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan dan rentenir saat ini, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan dan yang dipraktekkan oleh para lintah darat saat ini, jelas lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.

Undur atau bebaskan!

Di antara hal yang semakin menguatkan bahwa pemberian piutang dalam agama kita adalah berdimensi sosial bukan bisnis minded, adalah etika manakala si peminjam belum mampu untuk melunasi saat jatuh tempo.

Etikanya adalah satu di antara dua; undur atau bebaskan!

1. Undurlah tenggat pembayarannya, hingga ia mampu. Allah ta’ala memerintahkan,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ”

Artinya: “Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan”. QS. Al-Baqarah (2): 280.

2. Jika tidak mampu pula, dan ia memang benar-benar tidak mampu, maka bebaskanlah hutangnya. Cara kedua ini lebih afdhal dibanding cara pertama. Kata Allah melanjutkan ayat di atas,

وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ”

Artinya: “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui”. QS. Al-Baqarah: 280.

Maksud “sedekah” dalam ayat ini adalah membebaskan si peminjam dari kewajiban mengembalikan pinjamannya, baik secara total maupun parsial.[4]

Apa gerangan yang mendorong muslim untuk melakukan etika di atas? Apa pula keuntungan duniawi yang akan diunduhnya manakala ia mengundur tenggat pelunasan atau bahkan membebaskannya?

Motifnya tidak lain adalah karena mengharap pahala ukhrawi yang dijanjikan Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,

“مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ

“Barang siapa menangguhkan pembayaran hutang orang yang sedang kesulitan, atau membebaskan hutangnya; maka Allah akan menaungi dia dengan naungan-Nya (pada hari kiamat)”. HR. Muslim dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit.

Ntar jadi ketagihan dong!

Mempraktekkan etika di atas apa tidak mengakibatkan si tukang utang semakin menjadi-jadi dalam berhutang dan semakin ketagihan untuk tidak melunasinya?

Jawabannya: kita perlu melihat tipe manusianya. Apakah ia berhutang karena betul-betul kepepet dan bertekad bulat untuk melunasinya. Cuman karena kondisi ekonomi yang memprihatinkan, ia tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman. Ataukah ia memang punya hobi berhutang, butuh atau ndak butuh. Dan dari awal telah tercium ia tidak punya itikad baik untuk membayar. Atau bahkan sudah terkenal di seantero kampung, sebagai si jago utang plus malas membayar?

Jika ia termasuk tipe kedua, maka kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberinya pelajaran dan merubah perilaku buruknya. Dengan tidak membebaskan hutang dia, misalnya. Atau bahkan mungkin sejak awal tidak menghutanginya.

Menilai dan membedakan tipe satu orang dengan yang lainnya, sebenarnya telah diisyaratkan Allah dalam akhir QS. Al-Baqarah: 280 tersebut di atas: “Jika kalian mengetahui”. 

Mengetahui apa? “Mengetahui bahwa pembebasan hutang tersebut positif”.[5]

Balas budi

Manakala kita terdesak suatu kebutuhan mendadak, misal istri tersayang harus segera operasi, padahal saat itu kantong lagi kempes. Kemudian tau-tau ada teman berbaik hati meminjamkan uang, dan kita diberi keluasan tenggang waktu, tanpa bunga pula. Bukankah ia telah berbuat begitu baik pada kita? Bagaimana cara kita membalas budinya? Apakah tidak dibenarkan manakala mengembalikan pinjaman tersebut, kita memberinya nominal yang lebih dari jumlah uang yang kita pinjam? Dengan niat balas budi.

Jawabannya: boleh bahkan disunnahkan.[6] Sebab Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun dalam banyak hadits sahih, diceritakan seringkali mempraktekkan hal itu manakala membayar hutang.[7] Dan beliau juga pernah bersabda,

“إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling baik ketika membayar hutang”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

Beda antara perilaku mulia ini dengan praktek tercela tersebut di awal tulisan, adalah: di sini tidak ada pensyaratan di awal atau kesepakatan di muka harus mengembalikan pinjaman dengan nilai lebih. Namun benar-benar inisiatif sepihak dari si peminjam.[8]

Wallahu ta’ala a’lam…


@Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 29 Rabi’ul Awwal 1433 / 21 Februari 2012

[1] Baca: Ahkâm ad-Dain – Dirâsah Hadîtsiyyah Fiqhiyyah karya Sulaiman al-Qushayyir (hal. 21-22).
[2] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (VI/49).
[3] Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
[4] Periksa: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 98).
[5] Tafsîr al-Jalâlain (hal. 56).
[6] Baca: Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawy (XI/39).
[7] Lihat berbagai hadits tersebut beserta takhrijnya dalam Ahkâm ad-Dain (hal. 235-250).
[8] Syarh Shahih Muslim (XI/39).
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com

No comments:

Post a Comment