Drop Down Menu

Saturday, 31 January 2015

Ujian Keimanan di Balik Mendoan

Prolog

mendoanMendoan, bukanlah suatu nama yang asing di telinga sebagian kalangan, terutama untuk ‘suku’ yang berbahasa ngapak. Yakni penduduk daerah Barlingmascakeb (Kab. Banjarnegara, Kab. Purbalingga, Kab. Banyumas, Kab. Cilacap dan Kab. Kebumen) di Jawa Tengah.

Tempe Mendoan adalah sejenis masakan tempe yang terbuat dari tempe yang tipis, dan digoreng dengan tepung sehingga rasanya gurih dan renyah.

Kata mendoan dianggap berasal dari bahasa Banyumasan, mendo yang berarti setengah matang atau lembek. Mendoan berarti memasak dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak matang benar. Walaupun setelahnya ditiriskan, karena menggorengnya harus terendam dalam minyak, maka minyaknya pun masih banyak terserap di dalam mendoan. Ini barangkali salah satu rahasianya, mengapa gorengan ini terasa begitu gurih.

Saya pribadi sejak kecil suka sekali dengan spesies gorengan yang satu ini, apalagi jika ditemani cabe rawit dan ketupat atau lontong, rasanya maknyuss!

Ujian Keimanan

Di awal bulan ini; Juni 2013, saya merasa kondisi kesehatan menurun. Badan lemes, pusing dan perut rasanya ndak enak. Tapi karena jadwal mengisi pengajian sudah terlanjur tertata rapi sejak lama, akhirnya kondisi itu agak saya abaikan. Pagi, sore, malam, lalu paginya lagi, jadwal pengajian tetap dilakoni sesuai rencana. Ternyata fisik kewalahan, badanpun ambruk, makanan yang sudah masuk selalu memaksa untuk keluar lagi. Sehari semalam muntah dan muntah, sampai tidak tahu lagi apa yang bisa dimuntahkan. Berbagai upaya penanganan pertama dilakukan, namun tidak juga kunjung membaik. Terakhir ujung-ujungnya terpaksa harus menginap di rumah sakit.

Setelah hasil cek laboratorium keluar, diketahuilah bahwa liver dan empedu saya bermasalah. Itu terlihat dari kadar SGOT dan SGPT yang sudah jauh melebihi batas normal. Idealnya 40-45an, ini sudah di atas 1000an.

Pengobatan segera dijalankan, suntik, pil, infus dan lain-lain. Satu lagi yang diwanti-wantikan dokter adalah supaya menjauhi makanan berlemak, termasuk gorengan dan santan, untuk beberapa waktu.

Bahkan salah satu jamaah pengajian yang besuk menceritakan pengalamannya, bahwa ia pernah menderita penyakit serupa. Supaya sembuh total, kata dokternya, harus puasa gorengan selama satu tahun! Ternyata beliau berhasil melewati ujian melelahkan tersebut, dan setelahnya dinyatakan bebas virus hepatitis.

Begitu mendengar kata gorengan, langsung benak saya tertuju ke makanan favorit sejak kecil; mendoan! Wah, bakal puasa mendoan lama nih! Berat juga ya berdisiplin menjauhi pantangan? Setiap hari makan bersayur dan berlauk serba godogan. Memang antara teori yang terucap dan praktek di dunia nyata, tidak semulus yang dibayangkan.

Padahal sebenarnya, di saat bugar pun, banyak teori kesehatan mengatakan bahwa makanan yang baik adalah yang segar dan fresh. Kalaupun harus melalui proses, sebaiknya dengan cara dikukus atau dipanggang, dan menghindari pengolahan dengan minyak.

Sebab dalam gorengan, terdapat kandungan lemak trans (trans fat) yang tinggi. Di mana lemak ini berasal dari minyak yang dikandung oleh makanan yang digoreng. Tanpa disadari, kadar kolesterol di dalam tubuh kita pun dapat terganggu. Resiko terjangkit penyakit jantung koroner pun meningkat pesat.

Ini baru berbicara tentang gorengan yang dibuat di rumah sendiri, yang cenderung lebih memperhatikan etika menggoreng, terutama para ibu rumah tangga yang peduli dengan kesehatan. Bagaimana dengan gorengan yang biasa dijual di luar sana? Di pinggir-pinggir jalan? Tentu rapornya lebih merah lagi.

Segudang Bahaya Gorengan Pinggir Jalan

Dengan harga yang murah, maka tidak heran jika gorengan banyak sekali dikonsumsi berbagai kalangan. Sebuah kantin atau warung, jarang sekali tidak menjual gorengan. Abang penjual gorengan pun begitu menjamur di pinggir-pinggir jalan dan gang.

Namun, di balik citarasa gorengan yang lezat tersebut, ternyata makanan ini menyimpan segudang bahaya untuk kesehatan Anda di waktu mendatang. Sebab, seringkali gorengan tersebut mengumpulkan berbagai faktor negatif berikut, atau sebagiannya[1]:

1) Sering terkontaminasi bakteri yang berbahaya.

Hal ini disebabkan karena gorengan yang telah matang diletakkan di tempat yang terbuka, sehingga mudah dihinggapi lalat, terpapar debu dan udara kotor.

Terlebih lagi, makanan yang sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Seperti besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka akan mengalami karatan. Kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, bagaimana bila ditambah telah lama dibiarkan di udara terbuka. Akibatnya, perut yang bertugas mengolah makanan ini memerlukan enzim yang lebih banyak.[2]

2) Sayur-sayuran yang dipakai banyak yang sudah tidak segar.

Karena harga sayuran yang sudah tidak segar tersebut jauh lebih murah dari harga sayuran segar. Padahal nilai gizinya sudah jauh berkurang dibandingkan dengan sayuran yang masih segar.

3) Pemakaian minyak goreng curah yang berbahaya dan minyak jelantah.

Tidak semua minyak goreng curah berbahaya. Yang  berbahaya adalah yang berasal dari penjernihan secara kimia minyak jelantah sisa-sisa restoran.

Penggunaan minyak jelantah saja sudah berbahaya; karena semakin sering minyak goreng dipakai; maka akan terjadi perubahan sifat fisika dan kimia pada minyak goreng. Yaitu terbentuknya gugusan benzena yang bisa menyebabkan munculnya kanker.

Dalam minyak jelantah terdapat zat radikal bebas, seperti peroksida dan epioksida yang mutagen dan karsinogen sehingga berisiko terhadap kesehatan manusia. Seperti gangguan peroksida pada minyak bekas yang menyebabkan pemanasan suhu tinggi yang mengganggu kesehatan yang berhubungan metabolisme kolesterol.

Bagaimana bila minyak jelantah yang sudah bermasalah tadi, dijernihkan lagi dengan bahan kimia berbahaya dan digunakan lagi sampai berulang kali. Berapa kiranya banyak gugus benzena yang terbentuk dan masuk ke dalam tubuh kita??

4) Penambahan plastik ke dalam minyak goreng panas.

Kalau yang ini, teman saya pernah melihat sendiri seorang penjual gorengan melakukannya. Apa tujuannya dan tahukah si penjual kalau hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan? Ternyata hal itu dilakukan agar gorengan lebih renyah dan tetap renyah setelah beberapa jam digoreng.

Plastik mengandung bahan kimia yang sangat berbahaya yaitu Bisphenol A (BPA). Bahan ini mampu merangsang pertumbuhan sel kanker atau memperbesar risiko keguguran kandungan.

5) Efek kertas bekas pembungkus gorengan.

Selain karena kertas bekas tidak terjamin kebersihannya, ternyata kertas sebagai pembungkus gorengan pun dapat menyebabkan keracunan. Hal ini disebabkan karena tinta tulisan di kertas  mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan yaitu timbal.

Timbal dalam tinta bila terkena panas dari gorengan akan larut ke dalam gorengan yang akan kita konsumsi. Apabila timbal yang masuk ke dalam tubuh kita terakumulasi ke dalam jaringan tubuh yaitu pada gigi, tulang dan otak, pada akhirnya akan menimbulkan efek pada ginjal, hati, darah, syaraf, alat reproduksi dan endokrin dari sistem kekebalan.

6) Bahaya kantong plastik kresek hitam pembungkus gorengan.

Kantong plastik kresek hitam adalah hasil dari daur ulang plastik-plastik bekas. Selain karena tidak higenis (sebab kita tidak pernah tahu sebelumnya, plastik-plastik bekas itu digunakan untuk membungkus apa), kantong plastik kresek hitam bila digunakan untuk mewadahi langsung makanan akan melepaskan bahan-bahan berbahaya ke dalam makanan, yang akhirnya dapat menimbulkan kanker dan kegagalan ginjal.

Demikian sedikit paparan rapor merah gorengan pinggir jalan. Masihkah Anda tertarik untuk mengkonsumsinya?

Ragam Ujian

Selama ini jika berbicara tentang “nafsu”, konotasinya di benak banyak orang, adalah yang kaitannya dengan zina (baca: nafsu kemaluan). Padahal pengertian nafsu itu lebih luas dari prasangka tersebut. Ada nafsu kekuasaan, nafsu kekayaan, nafsu perut (makanan) dan lain-lain. Bahkan jenis nafsu terakhir ini, kerap mengantarkan muslim kepada kemurtadan. Karena desakan dapur, iman pun bisa dijual dengan sekardus mie.

Di antara potret nafsu perut lainnya, adalah dorongan selera untuk melahap beberapa jenis makanan atau minuman enak, padahal dia tahu akan berdampak buruk bagi kesehatannya. Apalagi bila berdasarkan penuturan pakar kesehatan, jelas-jelas bahwa mengkonsumsi makanan tersebut akan memperparah penyakit yang dideritanya. Seperti pantangan makanan yang banyak mengandung glukosa bagi penderita diabetes mellitus (kencing manis). Pantangan makanan yang banyak mengandung lemak untuk penderita penyakit asam urat, hepatitis, kelebihan kolesterol dan yang semisal.

Berkenaan dengan resiko dari apa dan seberapa yang kita masukkan ke perut kita, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ”

“Tidaklah seorang anak manusia memenuhi sebuah kantung yang lebih buruk dibanding perutnya. Cukup baginya beberapa suap untuk menegakkan tubuhnya. Jika tidak ada pilihan lain, maka hendaklah sepertiga dari perutnya untuk makanan, sepertiga lain untuk minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya”. HR. Tirmidzy dan beliau menilai hadits ini hasan sahih.

Ujian ini memang terasa berat, apalagi bila pantangan tersebut berkenaan dengan makanan kesukaan penderita. Seperti kasus saya dengan mendoan. Rasanya begitu berat, namun begitulah ujian nafsu.

Terkadang saya menghibur diri dengan ungkapan yang sering bapak saya; Allahyarham Ust. Zaeni Muhajjat sampaikan di berbagai kesempatan. Kata beliau, “Perbedaan antara makanan enak dengan yang tidak enak hanya sepuluh senti, tidak lebih! Lezat tidaknya makanan itu hanya terasa di mulut dan berakhir di kerongkongan (jarak + 10 cm). Setelah itu, keluarnya sama saja! Sate dengan tempe setelah diproses di perut, pembuangan limbahnya tidak beda”. Jadi mengapa hanya untuk kenikmatan sepuluh senti, kita musti mengorbankan kesehatan puluhan tahun??

Toh sekarang saya juga sudah mulai merasakan dampak positif dari perubahan gaya dan pola makan tersebut. Dengan mengkonsumsi lebih banyak sayur-mayur dan buah-buahan, serta mengurangi olahan yang menggunakan minyak, ternyata tubuh terasa lebih segar dan nyaman. Semoga ke depannya bisa ‘istiqomah’ demikian.

Epilog

Tulisan ini bukan untuk menyimpulkan bahwa hukum memakan mendoan adalah haram. Sama sekali bukan. Apalagi jika kesehatan tubuh sedang prima, lalu konsumsinya tidak terlalu sering, tidak berlebihan, dan makanan tersebut diolah dengan cara yang sehat.

Tujuan saya di sini adalah bercerita tentang sekelumit hikmah yang bisa dipetik dari sakit yang memaksa saya untuk bedrest minimal sebulan ini. “Ujian di balik mendoan”, begitu saya mengistilahkannya. Bahwa ternyata kadangkala ujian menghadapi nafsu perut bisa lebih berat dibanding ujian nafsu lainnya.

Sebenarnya masih ada hikmah-hikmah lain di balik cobaan yang sedang saya hadapi saat ini. Semoga di lain kesempatan bisa dituangkan dalam tulisan, untuk berbagi pengalaman dengan para pembaca yang budiman. Entah kapan. Karena mohon maaf, saat ini di antara rekomendasi dokter untuk pemulihan, tidak boleh ngoyo dan terlalu berat dalam memeras otak.

Semoga goresan yang sederhana ini bermanfaat!

Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 17 Sya’ban 1434 / 26 Juni 2013

[2] The Miracle of Enzyme, karya Prof. Hiromi Shinya, MD (hal. 124-125).


*diambil dari www.tunasilmu.com

No comments:

Post a Comment