Prolog
Mendoan, bukanlah suatu nama yang asing di telinga sebagian kalangan, terutama untuk ‘suku’ yang berbahasa ngapak. Yakni
penduduk daerah Barlingmascakeb (Kab. Banjarnegara, Kab. Purbalingga,
Kab. Banyumas, Kab. Cilacap dan Kab. Kebumen) di Jawa Tengah.
Tempe Mendoan adalah sejenis masakan tempe yang terbuat dari tempe yang tipis, dan digoreng dengan tepung sehingga rasanya gurih dan renyah.
Kata mendoan dianggap berasal dari bahasa Banyumasan, mendo
yang berarti setengah matang atau lembek. Mendoan berarti memasak
dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak
matang benar. Walaupun setelahnya ditiriskan, karena menggorengnya harus
terendam dalam minyak, maka minyaknya pun masih banyak terserap di
dalam mendoan. Ini barangkali salah satu rahasianya, mengapa gorengan
ini terasa begitu gurih.
Saya pribadi sejak kecil suka sekali dengan spesies gorengan yang
satu ini, apalagi jika ditemani cabe rawit dan ketupat atau lontong,
rasanya maknyuss!
Ujian Keimanan
Di awal bulan ini; Juni 2013, saya merasa kondisi kesehatan menurun. Badan lemes, pusing dan perut rasanya ndak enak.
Tapi karena jadwal mengisi pengajian sudah terlanjur tertata rapi sejak
lama, akhirnya kondisi itu agak saya abaikan. Pagi, sore, malam, lalu
paginya lagi, jadwal pengajian tetap dilakoni sesuai rencana. Ternyata
fisik kewalahan, badanpun ambruk, makanan yang sudah masuk selalu
memaksa untuk keluar lagi. Sehari semalam muntah dan muntah, sampai
tidak tahu lagi apa yang bisa dimuntahkan. Berbagai upaya penanganan
pertama dilakukan, namun tidak juga kunjung membaik. Terakhir
ujung-ujungnya terpaksa harus menginap di rumah sakit.
Setelah hasil cek laboratorium keluar, diketahuilah bahwa liver dan
empedu saya bermasalah. Itu terlihat dari kadar SGOT dan SGPT yang sudah
jauh melebihi batas normal. Idealnya 40-45an, ini sudah di atas 1000an.
Pengobatan segera dijalankan, suntik, pil, infus dan lain-lain. Satu
lagi yang diwanti-wantikan dokter adalah supaya menjauhi makanan
berlemak, termasuk gorengan dan santan, untuk beberapa waktu.
Bahkan salah satu jamaah pengajian yang besuk menceritakan
pengalamannya, bahwa ia pernah menderita penyakit serupa. Supaya sembuh
total, kata dokternya, harus puasa gorengan selama satu tahun! Ternyata
beliau berhasil melewati ujian melelahkan tersebut, dan setelahnya
dinyatakan bebas virus hepatitis.
Begitu mendengar kata gorengan, langsung benak saya tertuju ke makanan favorit sejak kecil; mendoan! Wah, bakal puasa mendoan lama nih! Berat juga ya
berdisiplin menjauhi pantangan? Setiap hari makan bersayur dan berlauk
serba godogan. Memang antara teori yang terucap dan praktek di dunia
nyata, tidak semulus yang dibayangkan.
Padahal sebenarnya, di saat bugar pun, banyak teori kesehatan
mengatakan bahwa makanan yang baik adalah yang segar dan fresh. Kalaupun
harus melalui proses, sebaiknya dengan cara dikukus atau dipanggang,
dan menghindari pengolahan dengan minyak.
Sebab dalam gorengan, terdapat kandungan lemak trans (trans fat)
yang tinggi. Di mana lemak ini berasal dari minyak yang dikandung oleh
makanan yang digoreng. Tanpa disadari, kadar kolesterol di dalam tubuh
kita pun dapat terganggu. Resiko terjangkit penyakit jantung koroner pun
meningkat pesat.
Ini baru berbicara tentang gorengan yang dibuat di rumah sendiri,
yang cenderung lebih memperhatikan etika menggoreng, terutama para ibu
rumah tangga yang peduli dengan kesehatan. Bagaimana dengan gorengan
yang biasa dijual di luar sana? Di pinggir-pinggir jalan? Tentu rapornya
lebih merah lagi.
Segudang Bahaya Gorengan Pinggir Jalan
Dengan harga yang murah, maka tidak heran jika gorengan banyak sekali
dikonsumsi berbagai kalangan. Sebuah kantin atau warung, jarang sekali
tidak menjual gorengan. Abang penjual gorengan pun begitu menjamur di
pinggir-pinggir jalan dan gang.
Namun, di balik citarasa gorengan yang lezat tersebut, ternyata
makanan ini menyimpan segudang bahaya untuk kesehatan Anda di waktu
mendatang. Sebab, seringkali gorengan tersebut mengumpulkan berbagai faktor negatif berikut, atau sebagiannya[1]:
1) Sering terkontaminasi bakteri yang berbahaya.
Hal ini disebabkan karena gorengan yang telah matang diletakkan di
tempat yang terbuka, sehingga mudah dihinggapi lalat, terpapar debu dan
udara kotor.
Terlebih lagi, makanan yang sudah lama terkena udara akan mengalami
oksidasi. Seperti besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka akan
mengalami karatan. Kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang
baik, bagaimana bila ditambah telah lama dibiarkan di udara terbuka.
Akibatnya, perut yang bertugas mengolah makanan ini memerlukan enzim
yang lebih banyak.[2]
2) Sayur-sayuran yang dipakai banyak yang sudah tidak segar.
Karena harga sayuran yang sudah tidak segar tersebut jauh lebih murah
dari harga sayuran segar. Padahal nilai gizinya sudah jauh berkurang
dibandingkan dengan sayuran yang masih segar.
3) Pemakaian minyak goreng curah yang berbahaya dan minyak jelantah.
Tidak semua minyak goreng curah berbahaya. Yang berbahaya adalah
yang berasal dari penjernihan secara kimia minyak jelantah sisa-sisa
restoran.
Penggunaan minyak jelantah saja sudah berbahaya; karena semakin
sering minyak goreng dipakai; maka akan terjadi perubahan sifat fisika
dan kimia pada minyak goreng. Yaitu terbentuknya gugusan benzena yang
bisa menyebabkan munculnya kanker.
Dalam minyak jelantah terdapat zat radikal bebas, seperti peroksida
dan epioksida yang mutagen dan karsinogen sehingga berisiko terhadap
kesehatan manusia. Seperti gangguan peroksida pada minyak bekas yang
menyebabkan pemanasan suhu tinggi yang mengganggu kesehatan yang
berhubungan metabolisme kolesterol.
Bagaimana bila minyak jelantah yang sudah bermasalah tadi,
dijernihkan lagi dengan bahan kimia berbahaya dan digunakan lagi sampai
berulang kali. Berapa kiranya banyak gugus benzena yang terbentuk dan
masuk ke dalam tubuh kita??
4) Penambahan plastik ke dalam minyak goreng panas.
Kalau yang ini, teman saya pernah melihat sendiri seorang penjual
gorengan melakukannya. Apa tujuannya dan tahukah si penjual kalau hal
itu sangat berbahaya bagi kesehatan? Ternyata hal itu dilakukan agar
gorengan lebih renyah dan tetap renyah setelah beberapa jam digoreng.
Plastik mengandung bahan kimia yang sangat berbahaya yaitu Bisphenol A
(BPA). Bahan ini mampu merangsang pertumbuhan sel kanker atau
memperbesar risiko keguguran kandungan.
5) Efek kertas bekas pembungkus gorengan.
Selain karena kertas bekas tidak terjamin kebersihannya, ternyata
kertas sebagai pembungkus gorengan pun dapat menyebabkan keracunan. Hal
ini disebabkan karena tinta tulisan di kertas mengandung bahan kimia
yang berbahaya bagi kesehatan yaitu timbal.
Timbal dalam tinta bila terkena panas dari gorengan akan larut ke
dalam gorengan yang akan kita konsumsi. Apabila timbal yang masuk ke
dalam tubuh kita terakumulasi ke dalam jaringan tubuh yaitu pada gigi,
tulang dan otak, pada akhirnya akan menimbulkan efek pada ginjal, hati,
darah, syaraf, alat reproduksi dan endokrin dari sistem kekebalan.
6) Bahaya kantong plastik kresek hitam pembungkus gorengan.
Kantong plastik kresek hitam adalah hasil dari daur ulang
plastik-plastik bekas. Selain karena tidak higenis (sebab kita tidak
pernah tahu sebelumnya, plastik-plastik bekas itu digunakan untuk
membungkus apa), kantong plastik kresek hitam bila digunakan untuk
mewadahi langsung makanan akan melepaskan bahan-bahan berbahaya ke dalam
makanan, yang akhirnya dapat menimbulkan kanker dan kegagalan ginjal.
Demikian sedikit paparan rapor merah gorengan pinggir jalan. Masihkah Anda tertarik untuk mengkonsumsinya?
Ragam Ujian
Selama ini jika berbicara tentang “nafsu”, konotasinya di benak
banyak orang, adalah yang kaitannya dengan zina (baca: nafsu kemaluan).
Padahal pengertian nafsu itu lebih luas dari prasangka tersebut. Ada
nafsu kekuasaan, nafsu kekayaan, nafsu perut (makanan) dan lain-lain.
Bahkan jenis nafsu terakhir ini, kerap mengantarkan muslim kepada
kemurtadan. Karena desakan dapur, iman pun bisa dijual dengan sekardus
mie.
Di antara potret nafsu perut lainnya, adalah dorongan selera untuk
melahap beberapa jenis makanan atau minuman enak, padahal dia tahu akan
berdampak buruk bagi kesehatannya. Apalagi bila berdasarkan penuturan
pakar kesehatan, jelas-jelas bahwa mengkonsumsi makanan tersebut akan
memperparah penyakit yang dideritanya. Seperti pantangan makanan yang
banyak mengandung glukosa bagi penderita diabetes mellitus (kencing
manis). Pantangan makanan yang banyak mengandung lemak untuk penderita
penyakit asam urat, hepatitis, kelebihan kolesterol dan yang semisal.
Berkenaan dengan resiko dari apa dan seberapa yang kita masukkan ke perut kita, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“مَا
مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ
أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ
لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ”
“Tidaklah seorang anak manusia memenuhi sebuah kantung yang lebih
buruk dibanding perutnya. Cukup baginya beberapa suap untuk menegakkan
tubuhnya. Jika tidak ada pilihan lain, maka hendaklah sepertiga dari
perutnya untuk makanan, sepertiga lain untuk minuman dan sepertiga lagi
untuk nafasnya”. HR. Tirmidzy dan beliau menilai hadits ini hasan sahih.
Ujian ini memang terasa berat, apalagi bila pantangan tersebut
berkenaan dengan makanan kesukaan penderita. Seperti kasus saya dengan
mendoan. Rasanya begitu berat, namun begitulah ujian nafsu.
Terkadang saya menghibur diri dengan ungkapan yang sering bapak saya; Allahyarham
Ust. Zaeni Muhajjat sampaikan di berbagai kesempatan. Kata beliau,
“Perbedaan antara makanan enak dengan yang tidak enak hanya sepuluh
senti, tidak lebih! Lezat tidaknya makanan itu hanya terasa di mulut dan
berakhir di kerongkongan (jarak +
10 cm). Setelah itu, keluarnya sama saja! Sate dengan tempe setelah
diproses di perut, pembuangan limbahnya tidak beda”. Jadi mengapa hanya
untuk kenikmatan sepuluh senti, kita musti mengorbankan kesehatan
puluhan tahun??
Toh sekarang saya juga sudah mulai merasakan dampak positif
dari perubahan gaya dan pola makan tersebut. Dengan mengkonsumsi lebih
banyak sayur-mayur dan buah-buahan, serta mengurangi olahan yang
menggunakan minyak, ternyata tubuh terasa lebih segar dan nyaman. Semoga
ke depannya bisa ‘istiqomah’ demikian.
Epilog
Tulisan ini bukan untuk menyimpulkan bahwa hukum memakan mendoan
adalah haram. Sama sekali bukan. Apalagi jika kesehatan tubuh sedang
prima, lalu konsumsinya tidak terlalu sering, tidak berlebihan, dan
makanan tersebut diolah dengan cara yang sehat.
Tujuan saya di sini adalah bercerita tentang sekelumit hikmah yang bisa dipetik dari sakit yang memaksa saya untuk bedrest minimal
sebulan ini. “Ujian di balik mendoan”, begitu saya mengistilahkannya.
Bahwa ternyata kadangkala ujian menghadapi nafsu perut bisa lebih berat
dibanding ujian nafsu lainnya.
Sebenarnya masih ada hikmah-hikmah lain di balik cobaan yang sedang
saya hadapi saat ini. Semoga di lain kesempatan bisa dituangkan dalam
tulisan, untuk berbagi pengalaman dengan para pembaca yang budiman.
Entah kapan. Karena mohon maaf, saat ini di antara rekomendasi dokter
untuk pemulihan, tidak boleh ngoyo dan terlalu berat dalam memeras otak.
Semoga goresan yang sederhana ini bermanfaat!
Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 17 Sya’ban 1434 / 26 Juni 2013
[1] http://adityadeath.blogspot.com/2013/02/bahaya-gorengan.html dan http://forpiko.com/berita-129-bahaya-tersembunyi-pada-gorengan-pinggir-jalan.html#.Ucrec5zanIV dengan beberapa tambahan dan perubahan.
[2] The Miracle of Enzyme, karya Prof. Hiromi Shinya, MD (hal. 124-125).
*diambil dari www.tunasilmu.com
*diambil dari www.tunasilmu.com
No comments:
Post a Comment