Drop Down Menu

Friday 9 January 2015

Membingkai Islam Seutuhnya

Edisi Oktober 2014

Resensi Buku
“Islam Idealitas, Islam Realitas”
Karya Prof. Dr. H. Mohammad Baharun
Penerbit: Gema Insani Press
(harga Rp. 44.400,-)
Jika diamalkan secara kaffah, maka Islam akan menjadi Rahmatan Lil ‘Alamin. Islam seutuhnya lebih dari sekedar sebuah agama (religion), tapi ia juga adalah sebuah peradaban (civilization) dan negara (nation). Dengan kata lain, tidak cukup berbicara Islam sebatas ibadah ritual dan keimanan individualistik. Pengamalan nilai-nilai Islam secara total hendaklah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, dalam berbagai aspek kehidupan, mencakup ilmu pengetahuan dan pendidikan, pembangunan karakter, dan pemberdayaan sosial.

Ketika hijrah ke Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah mempersatukan Muhajirin dan Anshar serta menyusun kesepakatan dengan Nasrani dan Yahudi Yatstrib. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam dan politik bukanlah dua hal yang menyelisih satu sama lain. Politik adalah alat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan bernegara untuk mencapai tujuan yang sudah dituntunkan dalam Al Qur’an. Langkah fundamental berikutnya adalah membangun Masjid Nabawi yang berfungsi tidak sekadar sebagai sarana ibadah. Di masjidlah Rasulullah saw menyambung silaturrahim, menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, mentransfer ilmu pengetahuan, mendidik umat perihal dunia dan akhirat.

Islam memandang penting peran ilmu pengetahuan dalam rangka mengangkat harkat, derajat, dan martabat umat, seperti yang dapat dicermati dari sejarah Perang Badar. Bukan tebusan materi yang diminta Rasulullah saw akan tetapi kesanggupan mengajarkan baca tulislah adalah harga yang harus dibayar tawanan untuk sebuah kebebasan. Membaca dan menulis adalah gerbang dalam memahami berbagai pengetahuan. Ayat pertama yang diturunkan Allah di Gua Hira mensyariatkannya. Iqra’ bismi Rabbikalladzi khalaq. Bacalah dengan menyebut Rabb-mu! Dan Allah akan meninggikan derajat tidak hanya orang-orang beriman saja, tapi juga orang yang berilmu pengetahuan. Islam selalu mendorong umatnya untuk berpikir, mencari ilmu, dan mentadaburi ayat-ayat Allah. 

Kesalehan sosial adalah salah satu cerminan terealisasikannya nilai-nilai ajaran Islam dalam masyarakat. Pada dasarnya, ibadah tidak sebatas hubungan vertikal hablum minAllah. Akan tetapi, esensi ibadah sudah semestinya terejawantahkan dalam manfaat-manfaat kebaikan hablum minannas. Puasa Ramadhan menumbuhkan kesetiakawanan sosial. Dengan rasa lapar yang ditahannya, mukmin yang berpuasa disorong untuk tak sekadar berempati tapi juga tergerak untuk meringankan beban kaum dhuafa. Ibadah zakat, infaq, dan sadaqah adalah potensi pemberdayaan umat. Harta yang dinafkahkan dapat digunakan untuk membantu umat Islam yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, menyelamatkan mereka dari kefakiran. Haji ke Baitullah memiliki hikmah ukhuwah Islamiah. Ummat Islam dari segala penjuru dunia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, warna kulit, dan status sosial berkumpul di padang Arafah, melebur bersama berihram kain putih. Bersilaturrahim, shalat berjamaah, merenungi diri dengan doa-doa dalam kebersamaan, serta saling tolong-menolong sesama jamaah menghadapi rintangan yang mungkin muncul selama perjalanan haji.

Al Qur’an hendaknya menjadi identitas utama dan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup seorang muslim. Ditilawahkan dengan lisan, dihafalkan dan ditadaburi, serta dijadikan pedoman hidup. Dan, ialah manusia paling mulia yang sepatutnya menjadi panutan, Rasulullah saw yang dalam pribadinya tercermin akhlak Al Qur’an. Di antara akhlak tersebut adalah menahan nafsu amarah, tabah menghadapi cobaan hidup, menumbuhkan rasa syukur, dan memurnikan ikhlas dalam amal perbuatan.

Nilai-nilai universal Islam juga hendaknya hadir dalam pembinaan keluarga dan pemuda serta penyelenggaraan kehidupan berbangsa bernegara. Pemuda adalah agen perubahan yang menentukan masa depan bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu, dia tidak hanya dituntut kuat fisiknya tapi juga dibekali dengan ilmu pengetahuan dan penanaman iman yang mengakar di dalam dada. Merekalah remaja-remaja yang tidak tergerus ancaman moral, tidak ikut terbawa arus kebebasan yang kebablasan. Berlandaskan Islam pula, rumah tangga semestinya dibina. Bukan diawali dengan pacaran yang justru mendekatkan diri pelakunya pada dosa zina, tapi dengan mengikuti syariah Rasulullah saw yang suci, menikahlah!

Ketika dewasa ini Barat menggembar-gemborkan demokrasi dan hak asasi manusia, justru sejak Al Qur’an diturunkan empat belas abad yang lalu, Islam telah paripurna mengatur semua hal tersebut. Islam memfasilitasi musyarawah dan menampung aspirasi dalam menyelesaikan masalah. Tidak seperti HAM yang tebang pilih penerapannya, Islam mengajarkan persamaan hak antar setiap manusia yang dilahirkan di muka bumi. Bukan perkara dari suku bangsa mana dia berasal dan apa warna kulitnya, tapi yang paling bertaqwalah ialah yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah swt.

Masih ada beberapa aspek lain yang dibahas dalam buku setebal 260 halaman ini. Sudah saatnya tidak ada pengkotak-kotakan antara Islam yang ideal dengan realita Islam yang tampak. Tugas setiap muslimlah membingkai Islam seutuhnya, Islam yang kaffah, tidak setengah-setengah.

Oleh Rahmat Mahendra.



*diambil dari Buletin Al-Iman (telagainsanberiman@gmail.com)

No comments:

Post a Comment