Edisi Oktober 2014
Resensi Buku“Islam Idealitas, Islam Realitas”Karya Prof. Dr. H. Mohammad BaharunPenerbit: Gema Insani Press(harga Rp. 44.400,-)
Jika diamalkan secara kaffah,
maka Islam akan menjadi Rahmatan Lil
‘Alamin. Islam seutuhnya lebih dari sekedar sebuah agama (religion), tapi
ia juga adalah sebuah peradaban (civilization) dan negara (nation). Dengan kata
lain, tidak cukup berbicara Islam sebatas ibadah ritual dan keimanan
individualistik. Pengamalan nilai-nilai Islam secara total hendaklah tercermin
dalam berbagai aspek kehidupan, dalam berbagai aspek kehidupan, mencakup ilmu
pengetahuan dan pendidikan, pembangunan karakter, dan pemberdayaan sosial.
Ketika hijrah ke Madinah, langkah
pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah mempersatukan Muhajirin dan
Anshar serta menyusun kesepakatan dengan Nasrani dan Yahudi Yatstrib. Piagam
Madinah menunjukkan bahwa Islam dan politik bukanlah dua hal yang menyelisih
satu sama lain. Politik adalah alat penyelenggaraan kegiatan-kegiatan bernegara
untuk mencapai tujuan yang sudah dituntunkan dalam Al Qur’an. Langkah fundamental
berikutnya adalah membangun Masjid Nabawi yang berfungsi tidak sekadar sebagai
sarana ibadah. Di masjidlah Rasulullah saw menyambung silaturrahim,
menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, mentransfer ilmu pengetahuan, mendidik
umat perihal dunia dan akhirat.
Islam memandang penting peran
ilmu pengetahuan dalam rangka mengangkat harkat, derajat, dan martabat umat,
seperti yang dapat dicermati dari sejarah Perang Badar. Bukan tebusan materi
yang diminta Rasulullah saw akan tetapi kesanggupan mengajarkan baca tulislah
adalah harga yang harus dibayar tawanan untuk sebuah kebebasan. Membaca dan
menulis adalah gerbang dalam memahami berbagai pengetahuan. Ayat pertama yang
diturunkan Allah di Gua Hira mensyariatkannya. Iqra’ bismi Rabbikalladzi khalaq. Bacalah dengan menyebut Rabb-mu!
Dan Allah akan meninggikan derajat tidak hanya orang-orang beriman saja, tapi
juga orang yang berilmu pengetahuan. Islam selalu mendorong umatnya untuk
berpikir, mencari ilmu, dan mentadaburi ayat-ayat Allah.
Kesalehan sosial adalah salah
satu cerminan terealisasikannya nilai-nilai ajaran Islam dalam masyarakat. Pada
dasarnya, ibadah tidak sebatas hubungan vertikal hablum minAllah. Akan tetapi, esensi ibadah sudah semestinya
terejawantahkan dalam manfaat-manfaat kebaikan hablum minannas. Puasa Ramadhan menumbuhkan kesetiakawanan sosial.
Dengan rasa lapar yang ditahannya, mukmin yang berpuasa disorong untuk tak
sekadar berempati tapi juga tergerak untuk meringankan beban kaum dhuafa.
Ibadah zakat, infaq, dan sadaqah adalah potensi pemberdayaan umat. Harta yang
dinafkahkan dapat digunakan untuk membantu umat Islam yang masih hidup di bawah
garis kemiskinan, menyelamatkan mereka dari kefakiran. Haji ke Baitullah
memiliki hikmah ukhuwah Islamiah. Ummat Islam dari segala penjuru dunia yang
terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, warna kulit, dan status sosial
berkumpul di padang Arafah, melebur bersama berihram kain putih.
Bersilaturrahim, shalat berjamaah, merenungi diri dengan doa-doa dalam
kebersamaan, serta saling tolong-menolong sesama jamaah menghadapi rintangan
yang mungkin muncul selama perjalanan haji.
Al Qur’an hendaknya menjadi
identitas utama dan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup seorang muslim.
Ditilawahkan dengan lisan, dihafalkan dan ditadaburi, serta dijadikan pedoman
hidup. Dan, ialah manusia paling mulia yang sepatutnya menjadi panutan,
Rasulullah saw yang dalam pribadinya tercermin akhlak Al Qur’an. Di antara
akhlak tersebut adalah menahan nafsu amarah, tabah menghadapi cobaan hidup,
menumbuhkan rasa syukur, dan memurnikan ikhlas dalam amal perbuatan.
Nilai-nilai universal Islam juga
hendaknya hadir dalam pembinaan keluarga dan pemuda serta penyelenggaraan
kehidupan berbangsa bernegara. Pemuda adalah agen perubahan yang menentukan
masa depan bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu, dia tidak hanya dituntut
kuat fisiknya tapi juga dibekali dengan ilmu pengetahuan dan penanaman iman
yang mengakar di dalam dada. Merekalah remaja-remaja yang tidak tergerus
ancaman moral, tidak ikut terbawa arus kebebasan yang kebablasan. Berlandaskan
Islam pula, rumah tangga semestinya dibina. Bukan diawali dengan pacaran yang
justru mendekatkan diri pelakunya pada dosa zina, tapi dengan mengikuti syariah
Rasulullah saw yang suci, menikahlah!
Ketika dewasa ini Barat
menggembar-gemborkan demokrasi dan hak asasi manusia, justru sejak Al Qur’an
diturunkan empat belas abad yang lalu, Islam telah paripurna mengatur semua hal
tersebut. Islam memfasilitasi musyarawah dan menampung aspirasi dalam
menyelesaikan masalah. Tidak seperti HAM yang tebang pilih penerapannya, Islam
mengajarkan persamaan hak antar setiap manusia yang dilahirkan di muka bumi.
Bukan perkara dari suku bangsa mana dia berasal dan apa warna kulitnya, tapi
yang paling bertaqwalah ialah yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah swt.
Masih ada beberapa aspek lain
yang dibahas dalam buku setebal 260 halaman ini. Sudah saatnya tidak ada
pengkotak-kotakan antara Islam yang ideal dengan realita Islam yang tampak.
Tugas setiap muslimlah membingkai Islam seutuhnya, Islam yang kaffah, tidak
setengah-setengah.
Oleh Rahmat Mahendra.
*diambil dari Buletin Al-Iman (telagainsanberiman@gmail.com)
No comments:
Post a Comment