Edisi Nomor 2 Volume 9 Tahun Ke- 9
Alhamdulillah, segala puji hanya
milik Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah untuk Nabi Muhammad
dan pengikutnya sampai hari kiamat. Amin.
Para pembaca yang budiman, di
kehidupan yang fana ini betapa banyak hal-hal yang melalaikan kita, berletih
dan berpeluh dalam menggapai dunia, seolah-olah hidup di dunia tak ada
ujungnya. Sedangkan kehidupan akhirat tak pernah terbayang atau hanya sekadar
wawasan saja padahal kematian pasti datang kepada siapa saja. Waktu berlalu
bagaikan kedipan mata. Masa kecil dan remaja bertahun-tahun yang lalu hanyalah
bagai hari kemarin, dan tanpa terasa kita telah berada di hari ini. Begitu pula
yang akan terjadi dengan esok hari. Sampai kemudian kematian tiba-tiba datang
menjemput kita. Allah swt berfirman:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran [3]: 185).
Perbanyaklah Mengingat Penghancur Kenikmatan
Rasulullah saw bersabda:
“Perbanyaklah kalian mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. At-Tirmidzi No. 2307, an-Nasa’i No. 1824, dan Ibnu Majah No. 4258. Dishalihkan oleh al-Albani dalam Takhrij al-Misykah: 1607).
Kita masih saha terperdaya oleh
kelezatan dunia yang fana. Saat kematian membawa kita ke kubur, adakah
kenikmatan dunia yang masih terasa? Semuanya musnah tak berbekas.
Mana rumah yang megah, pakaian
yang indah, wajah yang rupawan, tubuh yang bagus, istri yang jelita, kekasih
yang dicintai, anak yang dibanggakan, jabatan yang tinggi, dan kedudukan yang
terhormat?
Kita terbenam dalam tanah. Di
atas, bawah, kanan dan kiri kita hanyalah tanah. Tiada kawan kecuali kegelapan
yang sangat pekat, kesempitan dan serangga yang menggerogoti daging kita. Kita
benar-benar mengharapkan kumpulan amal shalih yang mendampingi dan membantu
kita, namun sayangnya harapan dan penyesalah tidak lagi berguna.
Allah swt berfirman:
“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 99-100).
Ucapan Orang Shalih Tentang Mengingat Kematian
Ibnu Syaudzab ra berkata,
“Tatkala Abu Hurairah ra berada di ambang kematian, tiba-tiba beliau menangis.
Orang-orang bertanya, ‘Apa yang membuat Anda menangis?’ Beliau menjawab,
‘Jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan, dan banyaknya rintangan yang
menghalang, sedangkan saya tidak tahu akan dimasukkan ke neraka ataukah ke
surga.’” (Lihat Shifatush Shafwah 1/694
oleh Ibnul Jauzi.)
Umar bin Dzaral-Kufi ra berkata,
“Wahai pelaku kezhaliman! Sesungguhnya kamu sedang berada dalam masa
penangguhan yang kamu minta itu maka manfaatkanlah sebelum akhir masa itu tiba
dan bersegeralah sebelum ia berlalu. Batas akhir penangguhan adalah ketika kamu
menemui ajal. Saat sang maut datang, ketika itu tidak berguna lagi penyesalan.”
(HR. Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah
5/115-116)
Keadaan Wafatnya Orang Mukmin
Terdapat sebuah hadits yang
sangat panjang yang menceritakan akhir kehidupan anak manusia, yaitu hadits
dari Barra’ bin Azib ra, maka simaklah sebagian darinya. Rasulullah saw
bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba mukmin apabila hendak putus hubungannya dari
dunia dan menghadap akhirat, turunlah kepadanya beberapa malaikat dari langit
yang putih berseri wajah mereka, seolah-olah wajah mereka itu laksana matahari.
Bersama mereka ada kain kafan dari kain kafan surga dan balsam dari balsam
surga, sehingga mereka duduk darinya sejauh pandangan. Kemudian datanglah
Malaikat Maut hingga duduk di sisi kepalanya, lalu berkata, “Wahai jiwa yang
baik, keluarlah engkau menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah swt.”
Lalu keluarlah ruh orang mukmin tersebut, mengalir seperti mengalirnya
tetesan air dari mulut ghirbah (yaitu wadah tempat air dari kulit). Lalu
Malaikat Maut mengambil ruh tersebut. Bila ia (Malaikat Maut) telah
mengambilnya maka mereka (para malaikat yang menyertainya) tidaklah
membiarkannya di tangannya sekejap mata pun sehingga mereka mengambilnya dan meletakannya
di kain kafan dan balsam tersebut. Maka demikianlah firman-Nya Ta’ala, “Para
malaikat utusan Kami mewafatkannya dan mereka tidak melalaikan kewajiban
mereka.” (QS al-An’am [6]: 61). Dan keluarlah darinya seperti seharum-harumnya
wewangian minyak kesturi yang dijumpai di atas punggung bumi.
Lalu mereka pun naik membawanya. Tidaklah mereka melewati sekelompok
malaikat melainkan mereka bertanya, “Ruh siapakah yang baik ini?” Lalu mereka
menjawab, “Dia adalah Fulan bin Fulan” – dengan sebaik-baik nama yang mereka
menamakannya di dunia -. Sehingga sampailah mereka dengannya ke langit dunia.
Mereka minta dibukakan (pintu langit) untuknya, lalu dibukakan untuk mereka.
Maka para malaikat yang dekat dari tiap-tiap langit mengantarkannya ke langit
yang berikutnya sehingga sampailah ke langit yang ke tujuh.
Maka Allah swt berfirman, “Catatlah catatan hamba-Ku di dalam
‘Illiyyin!”
“Apakah engkau tahu apakah ‘Illiyyin itu? Yaitu kitab yang ditulis,
yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan kepada Allah.” (QS
al-Muthaffifin [83]: 19-21). Maka dicatatlah catatannya itu di dalam ‘Illiyyin.
Kemudian dikatakan, “Kembalikan ia ke bumi, karena sesungguhnya Aku pernah
menjanjikan mereka, bahwasanya Aku ciptakan mereka dari tanah, kepadanya Aku
kembalikan mereka dan darinya pulalah Aku akan bangkitkan mereka pada kali yang
lain.” ...
Keadaan Wafatnya Orang Kafir
Masih potongan hadits di atas,
Rasulullah saw melanjutkan sabdanya:
Sesungguhnya hamba yang kagir (di dalam satu riwayat: yang berbuat
dosa), apabila terputus dari dunia dan menghadap kepada akhirat, turunlah
kepadanya beberapa malaikat dari langit yang keras lagi bengis. Wajah mereka
hitam kelam, bersama mereka ada semacam karung goni dari neraka. Lalu mereka
pun duduk sejauh pandangan darinya, kemudian datanglah Malaikat Maut hingga
duduk di sisi kepalanya. Lalu berkata, “Wahai jiwa yang busuk, keluarlah engkau
menuju kepada kemurkaan dan kemarahan dari Allah.”
Lalu ruh tersebut tercerai-berai di dalam jasadnya, lalu malaikat
tersebut mencabutnya seperti dicabutnya besi pembakar daging yang banyak
cabangnya dari buu yang basah, maka terputuslah urat dan nadi bersamanya. Lalu
Malikat Maut mengambilnya, ketika ia telah mengambilnya maka para malaikat yang
bersamanya tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun sehingga mereka
meletakannya di semacam karung goni tersebut. Keluarlah dari ruh tersebut
seperti sebusuk-busuk bau bangkai yang terdapat di muka bumi. Lalu mereka pun
naik membawa ruh tersebut. Tidaklah mereka melewati sekelompok dari malaikat
melainkan mereka bertanya, “Ruh siapakah yang busuk ini?” Mereka menjawab, “Ini
adalah Fulan bin fulan” – dengan sejelek-jeleknya nama yang mereka menamakannya
di dunia -. Hingga sampailah mereka ke langit dunia, lalu mereka minta
dibukakan (pintu langit), tetapi tidak dibukakan untuknya.
Kemudian Rasulullah saw membaca firman Allah swt, “Sekali-kali tidak
akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga
sehingga unta masuk ke lubang jarum.” (QS Al-A’raf [7]: 40). Maka Allah swt
berfirman, “Catatlah catatan hamba-Ku di dalam Sijjin di bumi yang paling
bawah.” Kemudian dikatakan, “Kembalikan hamba-Ku ke bumi karena sesungguhnya
Aku telah menjanjikan mereka bahwasanya dari tanah Aku ciptakan mereka,
kepadanya Aku kembalikan mereka dan darinya pulalah Aku akan bangkitkan mereka
pada kali yang lain.” Lalu ruh itu dilempar dari langit sekali lempar hingga
jatuh kepada jasadnya.
Kemudian beliau saw membaca firman Allah, “Dan barang siapa yang
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari
langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
(QS Al-Hajj [22]: 31). Maka dikembalikan ruhnya ke dalam jasadnya... (HR
Abu Dawud; 4753, Ahmad 4/287-288, 295-296,
dan dishahihkan oleh asy-Syaikh
al-Albani dalam kitab Ahkamul Jana’iz hlm. 202).
-Abu Haitzam-
*diterbitkan oleh Buletin Al Furqon
No comments:
Post a Comment