Setiap nikmat yang Allah beri patut disyukuri, meskipun nikmat
tersebut remeh. Syukur nikmat adalah dengan terus mendekatkan diri pada
Allah dengan nikmat tersebut, juga menjauhi setiap maksiat. Jika malah
dengan nikmat semakin membuat jauh dari Allah, itu bukanlah jadi nikmat
melainkan musibah.
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[1]
إِنَّ اللهَ لَيُمَتِّعُ بِالنِّعْمَةِ مَا شَاءَ فَإِذَا لَمْ يُشْكَرْ عَلَيْهَا قَلَبَهَا عَذَابًا
“Sesungguhnya Allah memberikan nikmat pada siapa saja yang Dia
kehendaki. Jika seseorang tidak bersyukur, nikmat tersebut malah berubah
menjadi siksa.”[2]
Hakekat syukur nikmat adalah menjauhi maksiat.
Makhlad bin Al Husain mengatakan,
الشُكْرُ تَرْكُ المعَاصِي
“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”[3]
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun
syukur: (1) mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), (2)
membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan (3)
menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhai Allah
(dengan anggota badan).
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ
“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”[4]
Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba Allah yang pandai bersyukur atas berbagai nikmat.
[1] Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 82 dan ‘Iddatush Shobirin, hal. 159.
[2]’Iddatush Shobirin, hal. 148.
[3] ‘Iddatush Shobirin, hal. 159.
[4] Majmu’ Al Fatawa, 11: 135.
—
Disusun selepas Zhuhur, 3 Rajab 1435 H di Pesantren Darush Sholihin
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
*diambil dari Artikel Rumaysho.Com
No comments:
Post a Comment