Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.
Di penghujung tahun 2006, ketika penulis naik taksi menuju Masjid
Nabawi, sopir taksi yang kebetulan bekerja sebagai satpam di perumahan
dokter rumah sakit Su’udi Almani bercerita, “Tadi malam sekitar jam
sepuluh, setelah para dokter pulang kerja, sambil menuju ke rumah mereka
masing-masing, di jalan mereka saling berbincang-bincang. Di antara
perbincangan itu, obrolan antara dua dokter, dokter A berkata kepada
dokter B, “Wahai fulan tolong besok segera beritahukan kepada saya hasil
tes laboratorium pasien C, saya ingin segera mengetahui jenis penyakit
yang ia derita”. Dokter B menjawab, “InsyaAllah dengan senang hati”.
Kemudian mereka masuk ke rumah masing-masing.
Lima menit kemudian si satpam tersebut terkejutkan dengan deringan
telpon di posnya yang ternyata berasal dari istri dokter A, sambil
teriak dan menangis histeris dia mengabarkan bahwa suaminya begitu masuk
pintu rumah tiab-tiba ia terjatuh dan langsung menghembuskan nafas
terakhirnya!
Padahal beberapa menit yang lalu dia masih berbincang-bincang tentang
pasien dia yang sakit, ternyata justru dia yang mendahului pasiennya
menghadap Allah ta’ala.
Subhanallah, benarlah apa yang difirmankan Allah ta’ala,
“وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ” (لقمان: 34).
Artinya: “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS. Luqman: 34.
Yang jadi pertanyaan: sudah siapkah kita jika tiba-tiba nyawa kita
dicabut? Sudahkah bekal yang kita persiapkan cukup untuk menghadap Allah
ta’ala? Apakah ada di antara kita yang ingin seperti apa yang diceritakan oleh Allah ta’ala,
“وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا
نَعْمَلْ صَالِحاً غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم
مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا
فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِن نَّصِيرٍ” (فاطر: 37).
Artinya: “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, “Ya Rabbi,
keluarkanlah kami. Niscaya kami akan mengerjakan amalan shalih berlainan
dengan apa yang telah kami kerjakan”. Bukankah Kami telah memanjangkan
umurmu dalam masa yang cukup bagi orang yang mau berpikir?! Maka
rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim
seorang penolongpun.” (QS: Faathir 37).
Memang benar tidak ada di antara kita yang selamat dari dosa..
Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ“
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat“. HR Tirmidzi dan al-Hakim, al-Hakim berkata, “isnadnya shahih”. Al-Albani menghasankan hadits ini.
Kami kira tidak ada di antara kita yang merasa bahwa dia bukan
keturunan nabi Adam. Karena masing-masing dari kita adalah anak
keturunan nabi Adam mestinya kitapun juga merasa bahwa dosa-dosa kita
banyak, diakui ataupun tidak diakui. Kalau tidak percaya, mari kita
amati kehidupan kita sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai kembali
merebahkan badan di kasur. Niscaya dalam satu hari saja dosa-dosa yang
kita lakukan tidak akan terhitung jumlahnya. Ini baru satu hari dan
baru dosa-dosa yang ketahuan, bagaimana jika satu tahun? Bagaimana jika
dikumpulkan selama 23 tahun?
Junjungan besar kita Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam telah menggambarkan dampak buruk dari dosa dalam sabdanya,
“إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً
نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ
وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى
تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ {كَلَّا بَلْ
رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}”.
“Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan
di hatinya satu bintik hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu dan
beristighfar niscaya bintik hitam itu akan dihapus. Tapi jika dia
kembali berbuat dosa dan terus menerus berbuat; bintik-bintik hitam itu
akan terus bertambah hingga menghitamkan semua hatinya, itulah penutup
yang difirmankan oleh Allah (yang artinya): “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu telah menutup hati mereka“.
HR Tirmidzi, dia berkata: “Hasan shahih”, dan al-Hakim, dia berkata,
“Shahih menurut syarat Muslim”, serta dihasankan oleh Syeikh Al Albani.
Maka tidaklah mengherankan jika seringkali kita merasakan bahwa hati
ini mengeras; membaca ayat-ayat Al Qur’an hati ini tidak tergetar,
mendengar nasehat-nasehat para ulama kalbu ini tidak luluh. Padahal
Allah telah mensifati orang yang beriman dalam frman-Nya,
)إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ
اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ( (الأنفال:2)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka“. Al Anfal: 2.
Orang-orang yang merasa dosanya telah menggunung dan dia merasa
bersalah, lebih baik daripada orang-orang yang dosanya sudah menumpuk
tetapi tidak merasa atau bahkan merasa suci dan alim!
Ketahuilah bahwa semua amalan kita dicatat di sisi-Nya, Allah ta’ala berfirman,
)مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ( (ق: 18)
Artinya: “Tiada suatu ucapan yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat yang selalu hadir“. QS. Qaf: 18.
Bukan hanya dicatat saja, tapi juga akan diberi ganjaran yang setimpal. Dan jika Allah ta’ala telah menyiksa, maka sungguh adzab-Nya sangatlah pedih,
)إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ( (البروج:12)
Artinya: “Sesungguhnya adzab Rabbmu benar-benar keras.”. QS. Al Buruj: 12.
Dan dalam surat al-Fajr ayat 25:
( فَيَوْمَئِذٍ لا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ)
Artinya: “Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksaan-Nya.”
Oleh karena itu pada suatu hari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pernah bersabda:
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ رَأَيْتُمْ مَا
رَأَيْتُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا ». قَالُوا وَمَا
رَأَيْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « رَأَيْتُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ ».
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), seandainya
kalian wahai para sahabatku, melihat apa yang yang aku lihat, niscaya
kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”, mereka bertanya,”Apa
yang engkau lihat wahai Rasulullah?”, Beliau menjawab, ” Aku melihat
surga dan neraka.” HR. Bukhari dan Muslim.
Sebenarnya bagaimanakah kondisi neraka hingga para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam menangis sesenggukan tatkala mengingatnya?
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Nabi shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan keadaan adzab yang paling ringan di neraka:
« إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ
نَعْلاَنِ وَشِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ يَغْلِى مِنْهُمَا دِمَاغُهُ كَمَا
يَغْلِى الْمِرْجَلُ مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدُّ مِنْهُ عَذَابًا
وَإِنَّهُ لأَهْوَنُهُمْ عَذَابًا ».
Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah
seseorang yang mengenakan sepasang sandal dari api, yang dengan sebabnya
otaknya mendidih, sebagaimana mendidihnya air di dalam bejana. Dia
mengira bahwa tidak ada satupun penghuni neraka yang lebih keras
adzabnya darinya. Padahal ia adalah orang yang yang paling ringan
adzabnya.” HR. Buhari dan Muslim.
Mengapa dia sampai mengira semacam itu? Karena api di neraka bukanlah seperti api di dunia.
« نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِى يُوقِدُ ابْنُ آدَمَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ حَرِّ جَهَنَّمَ »
“Api kalian -yang dinyalakan bani Adam (di dunia)- hanyalah satu bagian dari tujuh puluh bagian neraka Jahannam.” HR Bukhari dan Muslim.
Seberapa dalamkah neraka? Kita akan dapatkan jawabannya dalam kisah di bawah ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال كُنَّا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ سَمِعَ وَجْبَةً فَقَالَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « تَدْرُونَ مَا هَذَا ». قَالَ قُلْنَا
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « هَذَا حَجَرٌ رُمِىَ بِهِ فِى
النَّارِ مُنْذُ سَبْعِينَ خَرِيفًا فَهُوَ يَهْوِى فِى النَّارِ الآنَ
حَتَّى انْتَهَى إِلَى قَعْرِهَا ».
Abu Hurairah berkata, “Suatu hari kami duduk-duduk bersama Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
tiba-tiba terdengarlah suara benda jatuh, serta merta Nabi
shallallahu’alaihiwasallam bersabda, ” Tahukah kalian suara apa itu?”
Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” maka beliau bersabda,
“Benda itu adalah batu yang Allah lemparkan ke dalam neraka Jahanam
sejak 70 tahun yang lalu sekarang baru sampai ke dasarnya“. HR. Muslim.
Apa makanan dan minuman penghuni neraka? Allah ta’ala berfirman,
)لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إلا مِنْ ضَرِيعٍ لا يُسْمِنُ وَلا يُغْنِي مِنْ جُوعٍ( (الغاشية: 6-7).
Artinya: “Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar“. QS. Al-Ghasyiyah: 7-6.
إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ * طَعَامُ الأثِيمِ * كَالْمُهْلِ يَغْلِي فِي الْبُطُونِ * كَغَلْيِ الْحَمِيم
Artinya: “Sesungguhnya pohon Zaqqum itu makanan orang yang banyak
dosa ia bagaikan kotoran minyak yang mendidih di dalam perut seperti
mendidihnya air yang sangat panas“. QS. Ad-Dukhan 43-46.
)وَسُقُوا مَاءً حَمِيماً فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ( (محمد:15)
Artinya: “Mereka diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong motong ususnya“. QS. Muhammad: 15.
) لَابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا (23) لَا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا (24) إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا (
Artinya: “Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka
tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapatkan)
minuman selain air yang mendidih dan nanah“. QS. An-Naba: 23-25.
Apakah tatkala usus mereka terputus-putus mereka langsung mati? Ya,
tapi akan dihidupkan kembali, padahal satu hari di neraka sama dengan
seribu tahun di dunia. Allah Ta’ala berfirman:
)وَإِنَّ يَوْماً عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ( (الحج:47)
Artinya: “Sesungguhnya satu hari disisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” Al Hajj: 47.
Seandainya kita di dalam neraka setengah sehari hari saja, berarti kita akan mendekam di dalamnya selama 500 tahun / 5 abad. Na`udzu billah min dzalik...
Inilah siksaan yang Allah ta’ala sediakan bagi hamba-hamba-Nya
yang bergelimang dosa. Tapi ingat! Jangan sampai kita berputus asa
karena banyaknya dosa, sebab setan akan masuk dari pintu keputusasaan
seorang hamba seraya berkata, “Dosa kamu sudah terlampau banyak, tidak
akan mungkin Allah ta’ala mengampunimu”, hingga akhirnya ia terus menerus berbuat dosa.
Tidak demikian! Allah ta’ala telah berfirman:
) قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا
عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ( (الزمر:53)
Artinya: “Katakanlah,”Hai hamba-hambaku yang melampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Az-Zumar 53)
Allah ta’ala juga telah menegaskan dalam surat Al Hijr: 49-50,
)نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ( (الحجر: 49-50)
Artinya: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Bahwa sesungguhnya Akulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih“. QS. Al-Hijr: 49-50.
Tatkala membaca ayat di atas, barangkali akan timbul pertanyaan di
benak sebagian kita; Bagaimana Allah yang Maha penyayang tapi juga
adzab-Nya sangat pedih? Inilah inti dari pembahasan kita kali ini.
Meskipun siksaan Allah ta’ala di hari Akhir amatlah keras,
tapi dengan kasih sayang-Nya, Dia memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi para hamba yang bergelimang dosa untuk mensucikan
dirinya dari kotoran dosa-dosa di dunia ini, sehingga tatkala dia
menghadap ke hadirat Allah ta’ala kelak, dia akan menghadap dalam
keadaan suci bersih dari noda-noda dosa, sama sekali tidak disiksa di
api neraka, bahkan dia akan masuk ke surga dengan penuh kedamaian.
Lalu apa saja hal-hal yang bisa mensucikan dosa-dosa kita di di dunia ini?
Ulama tersohor yang dikenal kepiawaiannya dalam memberikan
resep-resep manjur pengobatan penyakit-penyakit hati; Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, telah menjawab pertanyaan ini dalam penjelasannya, “Telah
tersedia bagi orang-orang yang bergelimang dosa tiga telaga untuk
mensucikan diri mereka di dunia. Seandainya mereka tidak bersuci di
dalamnya niscaya mereka akan disucikan di lembah neraka jahanam. Tiga
telaga itu adalah telaga taubat nasuha, telaga amal shaleh dan telaga musibah“[1].
Berikut ini penjabaran masing-masing dari telaga tersebut di atas:
1. Telaga Taubat Nasuha
Benarkah taubat nasuha akan menghapuskan dosa-dosa? apa dalilnya?
) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً
صَالِحاً فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً ( (الفرقان: 70(
Artinya: “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan
amalan shaleh, maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan
kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS:Al Furqan:70).
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى
اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ( (التحريم:8)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan
menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”(QS. At Tahrim: 8)
Benar, Allah ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertaubat dengan taubat yang nasuha
(semurni-murninya/sebenar-benarnya), bukan taubat sambel! Bukan model
taubat seorang perokok yang apabila mendapat giliran meronda dan bertemu
temannya yang masih merokok lantas menawarinya rokok, dia kembali
merokok.
Perlu diketahui bahwa taubat nasuha memiliki empat syarat[2]:
- Meninggalkan maksiat.
- Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
- Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
- Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya.
Mari kita membaca penjelasan berikut satu persatu.
Meninggalkan maksiat .
Maksiat itu bisa berwujud mengerjakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah ta’ala atau bisa berwujud meninggalkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah ta’ala.
Mengerjakan yang haram seperti melihat perempuan yang bukan mahramnya,
maka tidak bisa dinamakan taubat kalau matanya tetap melotot pada acara dangdutan
di TV misalnya. Meninggalkan yang wajib contohnya: meninggalkan shalat
berjamaah di masjid (bagi kaum pria), kalau benar-benar seseorang ingin
bertaubat, maka jika dia mendengar adzan shubuh, dia harus
berusaha bangkit dari springbednya yang empuk, kemudian menyentuh air
yang dingin (berwudhu), lalu berjalan ke masjid walaupun mengantuk.
Bukannya malah menarik selimut tebalnya kembali!
Menyesali kemaksiatan yang telah diperbuat.
Setiap dia mengingat dosa yang telah dia perbuat, maka dia akan selalu menyesalinya dan merasa sedih sehingga dia beristighfar
dan meneteskan air mata. Bukan malah sebaliknya, merasa bangga dengan
kemaksiatannya yang silam, bahkan bercerita kepada kawan-kawannya bahwa
dia pernah menonton film yang tidak layak di tonton bersama
teman-temannya yang dulu Wal’iyaadzu billaah…
Bertekad bulat dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
Orang yang tangannya telah berlumuran dengan noda-noda dosa,
sehingga kemaksiatan telah menjadi tradisi hidupnya, dia akan merasa
berat dalam berusaha untuk meninggalkan maksiat, akan tetapi jika dia
bersungguh-sungguh ingin bertaubat dan memohon pertolongan dari Allah ta’ala, pasti Allah ta’ala akan menolongnya, dan semuanya akan terasa ringan insya Allah.
Mengembalikan hak bani Adam.
Contohnya mencuri, jika dia pernah mencuri, maka dia wajib
mengembalikan barang curian tersebut kepada pemiliknya. Jika dia tidak
menemukannya, maka dia harus berusaha mencarinya sampai bertemu
dengannya. Jika sudah meninggal, dia temui anaknya, cucunya, buyutnya
dan seterusnya dari kerabat atau keturunannya. Jika tidak berhasil juga,
maka dia bersedekah dengan mengatasnamakan pemiliknya. Kemudian
seandainya pada suatu hari dia bertemu dengan pemiliknya maka dia harus
memberitahukan kepadanya dan memberikan pilihan, antara merelakan
sedekah yang pernah dikeluarkan atas namanya atau menginginkan barang
tersebut kembali. Jika dia menginginkan yang kedua, maka dia wajib
memenuhi permintaannya.
Mungkin langkah-langkah ini terasa berat, tapi kalau kita renungkan kembali sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di bawah ini niscaya itu akan terasa ringan.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ». قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ
دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ « إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى
يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ
شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا
وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ
فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ
مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
bersabda: “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut / jatuh pailit
itu?”, para sahabat menjawab, “Orang yang pailit di antara kami adalah
orang yang tidak punya uang dan barang perniagaan…”. Maka Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun berkata, “Orang
yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia telah
memaki orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang
lain, memukul orang lain. Maka diambillah pahala amalan-amalannya dan
diberikan kepada ini dan kepada itu (orang lain yang dia dzalimi
tersebut -pen), apabila amal kebaikannya sudah habis, sedangkan
tanggungan dosanya belum juga tuntas, maka dosa-dosa mereka akan
dicampakkan kepadanya, lalu ia dimasukkan ke dalam neraka“. HR. Muslim
Itulah pentingnya taubat. Kita yang banyak dosa ini seharusnya selalu bertaubat. Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
« يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ ».
“Wahai para manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah! (Karena) sesungguhnya aku bertaubat dalam satu hari sebanyak seratus kali.” HR. Muslim.
Ya, begitulah Nabi shallallahu’alaihiwasallam, padahal Allah ta’ala sudah mengampuni dosa-dosa beliau yang lalu dan yang akan datang menjamin beliau masuk surga. Lalu bagaimana dengan kita…?
2. Telaga Amal Shalih.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa telaga ini termasuk yang menggugurkan dosa, firman Allah ta’ala,
)إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ( (هود: 114)
Artinya: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS: Huud 114)
Tentunya kita tahu bahwa amal shalih itu banyak sekali ragam dan
tingkatannya. Berhubung umur kita di dunia terbatas, maka kita harus
mengetahui amalan apakah yang paling utama? Sehingga kalaupun kita
termasuk orang-orang yang mati muda, amalan yang paling utama itu sudah
berada di genggaman tangan kita.
Dalam Musnad Ahmad:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَوْصِنِي. قَالَ: “إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَأَتْبِعْهَا حَسَنَةً
تَمْحُهَا “. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَمِنَ الْحَسَنَاتِ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ؟ قَالَ: “هِيَ أَفْضَلُ الْحَسَنَاتِ “
Suatu hari Abu Dzar berkata kepada Nabi shallallahu’alaihiwasallam, “Nasehatilah aku!”, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Seandainya engkau berbuat keburukan (dosa), iringilah dengan kebaikan niscaya dia akan menghapus dosa tersebut“. Abu Dzar kembali bertanya, “Apakah La ilaha illallah termasuk amalan kebaikan?”, Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Dia adalah amalan kebaikan yang paling utama“. HR Ahmad (V/169) dan dishahihkan oleh Al Albani.
Jika kita menelaah hadits tersebut di atas, akan kita dapati secara gamblang bahwa amal shalih yang paling utama adalah tauhid (menegakkan kalimat laa ilaaha illallah). Bahkan inilah inti dakwah seluruh rasul sejak dari nabi Nuh ‘alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu’alaihiwasallam. Allah ta’ala menjelaskan,
) وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ( (النحل: 36)
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah
taghut itu.” (QS: An Nahl 36)
Begitu agungnya kedudukan tauhid di sisi Allah ta’ala, hingga orang yang tauhidnya benar, murni, dan sempurna akan masuk surga tanpa di dihisab amalannya dan tanpa diadzab.
Rasullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Pada suatu
hari aku diperlihatkan umat pengikut nabi-nabi sebelumku, maka aku
melihat bersama salah seorang dari mereka pengikutnya berjumlah tidak
sampai sepuluh, ada pula nabi yang pengikutnya satu atau dua. Bahkan ada
nabi yang sama sekali tidak mempunyai pengikut. Tiba-tiba, aku
diperlihatkan kepada orang yang banyak sekali, hingga aku mengira
merekalah pengikutku, ternyata mereka adalah pengikut Musa. Lantas
dikatakan kepadaku, “Tetapi lihatlah ke ufuk sebelah sana!” ternyata di
sana ada umat yang banyak sekali. “Lihatlah pula ke ufuk sebelah sini!”
ternyata di sana ada manusia yang banyak sekali. “Mereka adalah umatmu,
di antara mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab amalannya dan tanpa diazab di neraka“. Lantas setelah bercerita seperti itu, Nabi shallallahu’alaihiwasallam
bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Maka para sahabat berdiskusi dan
mencoba menerka siapakah mereka yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa
adzab. Sebagian mereka berkata, “Barangkali mereka adalah para sahabat
Nabi shallallahu’alaihiwasallam“, sebagian yang lain berkata,
“Barangkali mereka adalah yang lahir dalam keadaan Islam dan tidak
pernah berbuat kesyirikan”, dan mereka menyebutkan
kemungkinan - kemungkinan yang lain. Kemudian Nabi shallallahu ’alaihiwasallam keluar dari rumahnya dan bertanya, “Apa yang sedang kalian perbincangkan?”, lantas mereka memberitahukannya kepada Nabi shallallahu ’alaihiwasallam. Maka Nabi shallallahu ’alaihiwasallam bersabda, “Mereka
adalah orang-orang yang tidak berobat dengan cara kayy (pengobatan
dengan besi panas), tidak meminta kepada orang lain untuk meruqyahnya
dan tidak pula bertathayyur serta selalu bertawakal kepada rabbnya“.
Mendengar sabda beliau ini, salah seorang sahabat yang bernama Ukasyah
berdiri seraya berkata, “Doakanlah aku agar termasuk dari mereka, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Kamu termasuk dari mereka“. Lantas berdiri sahabat lain dan berkata, “Wahai Nabi! Doakan aku juga agar termasuk dari mereka!”, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Engkau telah kedahuluan Ukasyah” HR Bukhari dan Muslim.
Syeikh Muhammad at-Tamimi dalam Kitab Tauhid mengambil
kesimpulan dari hadits tersebut di atas bahwa: “Orang yang
merealisasikan tauhid (dengan sempurna) akan masuk surga tanpa hisab”[3].
Meskipun kedudukan tauhid begitu tingginya, hanya saja masih banyak
orang yang tidak tahu tentangnya atau pura-pura tidak tahu dan merasa
pobi untuk bicara tentang tauhid. Di antara mereka ada yang berkata,
“Awas! Dalam berdakwah jangan sampai menyinggung-nyinggung masalah
tauhid! Nanti umat akan berpecah belah!”. Lalu, apakah Islam membawa
suatu ajaran yang memecah belah umat?! Apakah mungkin Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
tatkala berkonsentrasi selama 13 tahun di Mekah mengajarkan tauhid,
berarti beliau telah menghabiskan waktunya selama itu untuk memecah
belah umat?!.Atau memang tauhid memecah belah (baca: memilah-milah)
antara orang mukmin dengan orang musyrik?!.
Sebagian lagi ada yang berkata, “Umat Islam di zaman sekarang sudah
paham masalah tauhid, sekarang sudah saatnya kita berkonsentrasi dalam
dunia politik untuk mencapai impian kita; mendirikan Negara Islam!”.
Mungkin kita boleh bertanya kepada orang yang berkata demikian,
”Tolong hitung -dalam pulau Jawa saja- berapa kuburan yang masih
dipenuhi dengan sesajen? Berapa orang Islam yang masih meminta berkah
dari para “kyai”? Berapa dukun, para(tidak)normal, orang (tidak) pintar
dan konco-konconya yang masih bebas buka praktek dan pasang iklan di
koran-koran?”. Kami yakin dia tidak akan sanggup menghitung
“penyakit-penyakit” itu di tengah masyarakat yang dia anggap sudah paham
masalah tauhid.
Lalu benarkah Negara Islam bisa didirikan lewat jalur politik? Kalau
memang bisa, mengapa sampai detik ini tidak ada satu negarapun yang
berhasil menegakkan syari’at Islam lewat jalur politik? Kalau begitu,
pasti ada kesalahan. Lalu di manakah letak kesalahannya? Kalau bukan
jalannya yang salah ya tauhidnya yang salah? Seorang muslim tentu
tidak akan menjawab bahwa tauhidnya lah yang salah.
Oleh karena itu mulailah dengan mengibarkan “bendera” tauhid sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam mencontohkannya. Mungkin ada perkataan, “Aah…itu khan
dulu? Sekarang zamannya sudah berbeda mas!”. Kita jawab, ”Yang benar,
apakah Islam yang harus mengikuti zaman ataukah zaman yang harus
mengikuti Islam? Kalau boleh diibaratkan, Islam ibarat kepala, dan zaman
ibarat pecinya, kalau kita beli peci ternyata kekecilan untuk ukuran
kepala kita, kira-kira apa solusinya? Apakah kepala kita yang diperkecil
ataukah pecinya yang diperbesar? Atau mana yang diperbesar dan mana
diperkecil? Atau barangkali ada solusi lain?”.
Amalan agung kedua adalah shalat, tiang agama yang apabila tidak didirikan maka akan runtuhlah sebuah bangunan.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,
العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
“Perjanjian antara kita dan orang munafik adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya berarti dia telah kafir”. HR Ahmad, Tirmidzi dan dia berkata: hasan shahih, al-Hakim dan dia berkata: shahih dan kami tidak mengetahui adanya ‘illah di dalamnya. Al-Albani menshahihkan hadits ini.
Shalat lima waktu akan membersihkan dosa-dosa jika dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, yaitu dengan memenuhi rukun, wajib dan sunnah-sunnahnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا
بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ
ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا
قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللهُ بِهِ
الْخَطَايَا
Dari Abu Hurairah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Bagaimanakah
menurut kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang di
antara kalian, kemudian dalam sehari dia mandi di sungai itu lima kali.
Apakah akan tersisa di tubuhnya daki kotoran?” Para sahabat menjawab, “Tidak”. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Itulah permisalan shalat lima waktu yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa.” HR Bukhari dan Muslim.
Maka marilah kita berusaha untuk mendirikan shalat lima waktu tepat
pada waktunya dengan berjamaah di masjid. Kita lihat suri tauladan dari
generasi awal umat ini salaf ash-shalih yang berusaha untuk selalu mendirikan shalat dalam kondisi apapun.
Ada salah seorang sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
supaya dia bisa pergi ke masjid, dia harus dipapah oleh dua orang
sahabat lainnya. Bagaimana dengan sebagian kita? Karena sakit gigi saja
atau sakit perut atau bahkan mungkin hanya karena panu, dia tidak pergi
ke masjid. Yang lebih memilukan lagi, ada yang tidak shalat berjamaah di
masjid karena kesiangan gara-gara menonton film. Astaghfirullah…
Ada seorang tabi`in yang bernama Said bin Musayyib rahimahullah. Ketika adzan dikumandangkan, dia selalu sudah berada di dalam masjid. Dan hal ini beliau lakukan selama 40 tahun. Subhanallah…
Di antara amal shalih yang utama adalah Puasa, apalagi puasa
Ramadhan. Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan
keutamaannya, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan
mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang terdahulu akan
diampuni “. HR Bukhari dan Muslim.
Masih banyak amalan-amalan shalih lainnya, yang kalau kita sebutkan semuanya makalah singkat ini tidak akan cukup.
3. Telaga Musibah
Dalam suratAl Baqarah ayat 214:
)َأم حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ
وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ
الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ
اللَّهِ قَرِيبٌ( (البقرة:214)
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu, mereka ditimpa melapetaka dan kesengsaraan serta
digoncangkan (dengan berbagai macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya,”Kapankah datang-nya pertolongan
Allah?” Ingatlah, sesung-guhnya pertolongan Allah itu amat dekat”
Akan tetapi musibah, cobaan dan malapetaka itu akan membawa keberuntungan jika kita bersabar.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ
الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ وَلَا
أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ
بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah ada kelelahan, rasa sakit, kesedihan, kekhawatiran,
gangguan dan kesusahan yang sangat yang diderita seorang muslim, bahkan
sampai duri yang menancap di tubuhnya; melainkan Allah akan
menjadikannya sebagai penggugur sebagian dosa-dosanya.” HR.Bukhari dan Muslim.
Wah, enak sekali kalau begitu, lebih baik kita mohon agar kita
sering ditimpa musibah saja ya? Begitukah? Tentu saja tidak! Mengapa?
Karena kita tidak tahu apakah kita mampu bersabar ataukah tidak? Oleh
karena itu kita harus selalu berdoa kepada Allah ta’ala agar senantiasa diberi keselamatan dan kesehatan, dan jika ditimpa musibah, kita diberikan kekuatan untuk bersabar.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
« عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ
خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ
سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ».
“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya
adalah baik, kalau dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur, sehingga
kesenangan itu menjadi baik baginya. Kalau ditimpa kesusahan dia
bersabar, sehingga kesusahan itu menjadi baik baginya.” HR. Muslim
Bolehkah menangis tatkala tertimpa musibah?
عن أنس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
دخل على إبراهيم وهو يجود بنفسه فجعلت عينا رسول الله تذرفان. فقال عبد
الرحمن بن عوف: وأنت يا رسول الله؟ فقال: يا ابن عوف إنها رحمة، ثم أتبعها
بأخرى. فقال: إن العين تدمع والقلب يحزن ولا نقول إلا ما يرضي ربنا وإنا
لفراقك يا إبراهيم لمحزونون) رواه البخاري.
Anas bercerita, “Suatu hari Nabi shallallahu’alaihiwasallam masuk (ke rumah) menemui anaknya Ibrahim yang sedang berada dalam sakaratul maut. Maka meneteslah air mata Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam.
Abdurrahman bin Auf (yang berada di situ saat itu) berkata, “Engkau
juga menangis wahai Rasulullah?”. “Wahai Abdurrahman ini adalah kasih
sayang” jawab beliau sambil kembali meneteskan air matanya. Kemudian
Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Sesungguhnya mata
meneteskan air mata dan hati merasakan kesedihan, akan tetapi kita tidak
berkata kecuali yang diridhai oleh Allah. Sesungguhnya kami merasa
sedih dengan perpisahan ini wahai Ibrahim.” HR Bukhari.
Oleh karena itu, selagi kita masih di dunia, marilah kita
berlomba-lomba untuk mensucikan dosa-dosa kita di tiga telaga ini
sebelum datang hari yang pada saat itu tidak ada kesempatan lagi untuk
beramal, yang ada hanyalah penyesalan yang tiada gunanya.
Allah ta’ala menceritakan penyesalan penghuni neraka dalam firmanNya:
) وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا
أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحاً غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ
نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ
النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ( (فاطر37)
Artinya: “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, “Ya Rabbi,
keluarkanlah kami. Niscaya kami akan mengerjakan amalan shalih berlainan
dengan apa yang telah kami kerjakan”. Bukankah Kami telah memanjangkan
umurmu dalam masa yang cukup bagi orang yang mau berpikir?! Maka
rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim
seorang penolongpun.” (QS: Faathir 37)
Wallahua’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
[2] Riyadh ash-Shalihin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38, lihat pula: Risalah al-Mustarsyidin karya al-Harits al-Muhasibi (hal: 113).
[3] Kitab at-Tauhid (hal. 20).
@Selesai diedit ulang pada hari Sabtu tanggal 7 Ramadhan 1427 di Kedungwuluh Purbalingga Jawa Tengah.
*diambil dari artikel www.tunasilmu.com
No comments:
Post a Comment