Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST
Inilah beberapa faedah yang kami peroleh dari penjelasan Sabar yang disampaikan oleh para ulama. Semoga bermanfaat.
Sabar dalam ketaatan kepada Allah
Yaitu seseorang bersabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Dan perlu diketahui bahwa ketaatan itu adalah berat dan menyulitkan bagi jiwa seseorang. Terkadang pula melakukan ketaatan itu berat bagi badan, merasa malas dan lelah (capek). Juga dalam melakukan ketaatan akan terasa berat bagi harta seperti dalam masalah zakat dan haji. Intinya, namanya ketaatan itu terdapat rasa berat dalam jiwa dan badan sehingga butuh adanya kesabaran dan dipaksakan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا
وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.” (QS. Ali Imron [3] : 200).
Shobiru (kesabaran) adalah menahan diri dari maksiat, sedangkan shoobiruu adalah menahan diri dalam melakukan ketaatan. Robithu adalah banyak melakukan kebaikan dan mengikutkannya lagi dengan kebaikan, sedangkan takwa mencakup semua hal tadi.” Dan beliau mengatakan pula bahwa dalam melakukan ketaatan itu butuh kesabaran yang terus menerus dijaga karena :
- Ketaatan itu akan membebani seseorang dan mewajibkan sesuatu pada jiwanya,
- Ketaatan itu terasa berat bagi jiwa, karena ketaatan itu hampir sama dengan meninggalkan maksiat yaitu terasa berat bagi jiwa yang selalu memerintahkan pada keburukan.
Sabar terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah
Ingatlah bahwa jiwa seseorang biasa memerintahkan dan mengajak kepada
kejelekan, maka hendaklah seseorang menahan diri dari
perbuatan-perbuatan haram seperti berdusta, menipu dalam muamalah, makan
harta dengan cara bathil dengan riba dan semacamnya, berzina, minum
minuman keras, mencuri dan berbagai macam bentuk maksiat lainnya.
Seseorang harus menahan diri dari hal-hal semacam ini sampai dia tidak
lagi mengerjakannya dan ini tentu saja membutuhkan pemaksaan diri dan
menahan diri dari hawa nafsu.
Sabar terhadap takdir Allah yang dirasa pahit
Ingatlah bahwa takdir Allah itu ada 2 macam, ada yang menyenangkan dan
ada yang terasa pahit. Untuk takdir Allah yang menyenangkan, maka
seseorang hendaknya bersyukur. Dan syukur termasuk dalam melakukan
ketaatan sehingga butuh juga pada kesabaran dan hal ini termasuk dalam
sabar bentuk pertama di atas. Sedangkan takdir Allah yang dirasa pahit
misalnya seseorang mendapat musibah pada badannya atau kehilangan harta
atau kehilangan salah seorang kerabat, maka ini semua butuh pada
kesabaran dan pemaksaan diri. Dalam menghadapi hal semacam ini,
hendaklah seseorang sabar dengan menahan dirinya jangan sampai
menampakkan kegelisahan pada lisannya, hatinya, atau anggota badan.
Keadaan Manusia dalam Menghadapi Musibah
Perlu diperhatikan bahwa seseorang dalam menghadapi musibah ada empat keadaan.
Keadaan pertama adalah
murka (marah) yaitu seseorang menampakkan rasa marah baik pada lisan,
hati atau anggota badannya. Seseorang yang murka pada Allah dalam
hatinya yaitu dia merasa benci (murka) pada Allah dan dia merasa bahwa
Allah telah menzholiminya dengan ditimpakan suatu musibah.
Kita
berlindung pada Allah dari perbuatan semacam ini- Adapun seseorang
merasa murka lisannya seperti dia mencaci maki waktu (masa) sehingga
menyakiti Allah.
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela
waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ
أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku
disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah
(pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR.
Muslim no. 6000)
Dan inilah yang dilakukan oleh orang-orang Syiah ketika bulan
Muharram tepatnya pada hari Asyuro dalam rangka meratapi kematian
Husein. Mereka tidak bersabar, malah memukul-mukul bahkan mengeluarkan
darah dari badan-badan mereka. Ini bukanlah sabar, namun perbuatan
semacam ini berarti murka terhadap musibah.
Keadaan kedua adalah sabar dengan menahan diri terhadap musibah yang dihadapi. Keadaan kedua ini adalah dia merasa benci dengan musibah dan tidak pula menyukai kejadian seperti itu terjadi tetapi dia menahan diri dengan tidak menggerutu dengan lisannya sehingga membuat Allah murka padanya, dia juga tidak marah sehingga memukul-mukul angota badannya, dia juga tidak menggerutu dalam hatinya. Orang seperti ini tetap bersabar akan tetapi benci terhadap musibah tersebut.
Keadaan ketiga adalah ridho. Yaitu seseorang merasa lapang hatinya dengan musibah yang menimpa, dia betul-betul ridho dan seakan-akan dia tidak mendapatkan musibah. Hukum sabar adalah wajib dan ridho adalah mustahab (dianjurkan).
Keadaan keempat adalah bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpa. Keadaan seperi inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى
بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi
tatimmush sholihat] Segala puji hanya milik Allah yang dengan segala
nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau
mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
‘[Alhamdulillah
ala kulli hal] Segala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan’.” (HR.
Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Dari Abu Huroiroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا
يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ
وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ
اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah rasa capek, rasa sakit (yang
terus menerus), kekhawatian, rasa sedih, bahaya, kesusahan menimpa
seorang muslim sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan menghapus
dosa-dosanya dengan musibah tersebut.” (HR. Bukhari no. 5641)
Bersabar bukanlah di akhir, namun bersabar adalah di awal musibah
Perlu diketahui, bahwa sabar yang menjadikan seseorang mendapatkan ganjaran pahala adalah sabar ketika di awal musibah dan inilah sabar yang benar. Adapun sabar sesudahnya adalah cuma sekedar hiburan. Perhatikanlah hadits berikut.
Dari Anas bin Malik beliau berkata,
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ
وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ
بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ –
صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم –
فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ «
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
”Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di
sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu
berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan
musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada
wanita itu bahwa orang tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang
menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari, no. 1283)
Musibah merupakan tanda kecintaan Allah pada seseorang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ
الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا
ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ
السَّخَطُ
“Sesungguhnya balasan terbesar adalah dari ujian terberat.
Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan
kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa
murka, maka baginya murka Allah.” (HR. Tirmidzi, beliau katakan hadits
ini hasan ghorib)
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya Namun akhirnya lebih manis daripada madu
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya Muhammad Abduh Tuasikal, ST
*diambil dari artikel www.rumaysho.com
No comments:
Post a Comment