Edisi 302 / Juni Th. 2014
Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, “Aku berkata kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai pejabat!’ Mendengar hal itu, beliau menepuk pundaknya seraya berkata, “Wahai Abu Dzar engkau adalah orang yang lemah. Sementara jabatan tersebut adalah amanah. Pada hari kiamat ia bisa mendatangkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.” (HR. Muslim)
Hadits di atas memberikan sebuah
gambaran bahwa jabatan, apalagi kepemimpinan, merupakan urusan yang berat. Ia
tidak bisa dipikul oleh orang yang lemah. Hanya “orang yang kuat” yang bisa
memikulnya. Oleh karena itu, ketika Abu Dzar ra yang dikenal zuhud, sederhana,
baik, salih, dan taat memintanya, Rasulullah saw terpaksa harus berterus terang
meskipun sebetulnya berat. Beliau berkata kepadanya “Engkau adalah orang yang
lemah.”
Demikianlah Rasulullah saw
memberikan sebuah pelajaran penting. Bahwa tidak sembarang orang bisa memegang
sebuah jabatan kepemimpinan. Jabatan kepemimpinan bukan sebuah anugerah apalagi
kehormatan dan kemuliaan yang layak untuk diperebutkan. Namun ia adalah sebuah
amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Nabi saw bersabda dalam hadits
yang lain,
Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang mengurus kondisi masyarakat adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas mereka yang dipimpinnnya. (HR. Muslim)
Karena kepemimpinan merupakan
sebuah amanah yang berat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah
swt, maka yang bisa mengembannya bukan hanya orang yang jujur dan sederhana,
serta bukan hanya yang baik semata. Namun yang bisa mengembannya adalah orang
kuat dan orang yang amanah. Karakter dan sifat itulah yang digambarkan oleh
Allah lewat lisan putri Nabi Syuaib as yang memberikan rekomendasi kepada orang
tuanya saat mengangkat Musa as sebagai pegawai dan orang kepercayaan.
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai bapakku ambillah ia seorang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan amanah.” (QS al-Qashash: 26).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir
disebutkan bahwa kekuatan Nabi Musa as tampak dari kecekatannya dalam mengambil
air dari sumur. Sementara sifat amanahnya tampak pada akhlak dan adab Nabi Musa
as saat berhadapan dengan wanita di mana ia bisa menjaga mata dan menundukkan
pandangan.
Jadi hanya orang yang kuat dan
amanah yang layak untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan demikian, orang yang
lemah meskipun amanah tidak layak menjadi pemimpin. Demikian pula dengan orang
yang kuat namun tidak amanah, ia juga tidak layak menjadi pemimpin. Apalagi,
jika sifat lemah dan tidak amanah bergabung di dalam diri seseorang. Kalaupun
ternyata tidak ada yang memenuhi kualifikasi tersebut secara sempurna, maka
paling tidak yang mendekati atau yang paling sedikit kekurangannnya.
Kesadaran itulah yang ditanamkan
oleh Rasul saw lewat hadits di atas. Bahwa jabatan dan kepemimpinan merupakan
amanah. Tanggung jawab yang berada di pundak seorang pemimpin sangat besar. Ia
harus memperhatikan kemaslahatan rakyatnya dan memberikan perlindungan kepada
mereka. Kesadaran semacam inilah yang tertanam dalam pribadi Umar ibn al-Khattab
ra saat menjadi khalifah dan amirul mukminin sehingga ia berkata, “Andaikan
seekor bahgal di Irak terjerembab di daerah Irak, niscaya Umar akan dimintai
pertanggungjawaban kelak: mengapa engkau tidak meratakan jalannya wahai
Umar?!”.
Rasul saw mengingatkan bahwa
siapa yang tidak bisa mengemban amanah tersebut dengan baik, serta tidak
menjalankan kewajibannya secara benar, maka jabatan kepemimpinannya akan
mendatangkan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat. Ia akan mendapatkan hisab
yang berat. Rasul saw juga bersabda,
Ketika seorang imam (pemimpin) meninggal dunia dalam kondisi mengkhianati rakyatnya, maka ia tidak akan mencium bau sorga. Padahal bau sorga sudah tercium dari jarak perjalanan lima ratus tahun (HR Al Bukhari).
Ketika seorang hamba yang diminta oleh Allah untuk menjadi pemimpin meninggal dunia dalam kondisi menipu dan mengkhianati rakyatnya, maka Allah mengharamkan sorga untuknya. (HR. Muslim)
Imam Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Hadits
di atas adalah ancaman bagi setiap orang yang diberi kepercayaan mengurus
urusan kaum muslim, baik urusan agama maupuan dunia, namun kemudian ia
berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap kepercayaan yang diberikan
padanya dan tidak berlaku baik, entah dengan tidak menjelaskan persoalan agama
kepada mereka, tidak menjaga syariat Allah dari unsur yang bisa merusak,
mengubah maknanya, mengubah hukum-Nya, menelantarkan hak mereka, tidak
memberikan perlindungan kepada mereka, tidak berjuang mengusir musuh, serta
tidak berlaku adil, maka berarti ia telah mengkhianati mereka. Dan seperti yang
ditegaskan oleh Nabi saw bahwa hal itu merupakan dosa besar yang menjauhkan
pelakunya dari sorga.” (Syarah an-Nawani ala Muslim).
Itulah balasan di hari akhir bagi
pemimpin yang tidak amanah, yang tidak menunaikan tugas dengan baik. Namun
sebaliknya, pemimpin yang amanah, yang adil, yang dapat menjalankan tugas
dengan baik, ia akan mendapatkan apresiasi dan kedudukan mulia.
Diantaranya:
Tiga golongan yang dia mereka tidak tertolak; pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka, dan orang yang dizalimi. (HR. At-Tirmidzi).
Satu hari yang dilalui oleh pemimpin yang adil lebih baik daripada ibadah 60 tahun. (HR Ath-Thabrani).
Orang yang paling dicintai Allah dan paling dekat dengan-Nya di hari kiamat adalah pemimpin yang adil (HR. At-Tirmidzi)
Tujuh golongan yang mendapat naungan Allah di hari tiada naungan kecuali naungan-Nya; pemimpin adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah... (HR At-Tirmidzi)
Dalam konteks saat ini, Indonesia
sebagai sebuah negara berkembang dihadapkan pada berbagai persoalan rumit dan
krusial. Dalam sektor ekonomi, terdapat sejumlah perusahaan asing yang dengan
leluasa mengeruk aset dan kekayaan negeri ini dalam jumlah luar biasa. Dalam bidang
hukum, peradilan yang mestinya menjadi sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan
keadilan masih cenderung tebang pilih karena sejumlah kepentingan yang
bercampur di dalamnya. Dalam bidang sosial, konflik antar kampung, antar
golongan, antar pelajar, dan antar suku masih sangat sering terjadi, terkadang
hanya oleh hal yang kecil dan sepele saja. Dalam bidang politik, money politic
selalu menghiasi aktivitas pemilu tanpa ada tindakan perbaikan yang bersifat
nyata. Dalam bidang budaya, seni dan tradisi asing yang permisif dan merusak
moral bangsa berkembang secara masif baik lewat media cetak maupun audio visual
tanpa kemampuan untuk mengontrolnya.
Dengan berbagai kondisi di atas,
adanya kepemimpinan yang berani, kuat, dan amanah menjadi sebuah keniscayaan
yang harus segera dihadirkan dan diupayakan secara bersama-sama agar negeri ini
menjadi baldatun thoyibatun wa Rabbun Ghafur
(negeri yang aman sentosa dan mendapat ampunan Tuhan).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
- Kepemimpinan tidak boleh diberikan dan diserahkan kepada orang yang tidak layak untuk mengembannya.
- Kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Karena itu yang dibutuhkan bukan hanya sosok yang sederhana saja. Akan tetapi, yang dibutuhkan adalah orang yang kuat, berani, tegas dan dapat dipercaya.
- Pemimpin yang tidak menunaikan tugas dengan amanah akan mendapat kehinaan dan penyesalan. Sebaliknya pemimpin yang amanah dan adil akan mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
*diambil dari Buletin Al-Iman (telagainsanberiman@gmail.com)
No comments:
Post a Comment