Berselisih pendapat dalam masalah ijtihadiyah adalah suatu
hal yang wajar. Karena barangkali ada pemahaman dalil yang berbeda atau
beda dalam hal ijtihad. Namun seyogyanya perbedaan tersebut tidak
mengantarkan pada sikap saling bermusuhan dan saling menghujat. Setiap
muslim tetaplah bersikap bijak, mengedepankan akhlak mulia dan berkata
yang santun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata,
وَأَمَّا
الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ
وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ
يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ
أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ
يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ
“Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka jumlahnya tak
berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih pendapat
dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada
persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar
radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam
beberapa masalah, tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada para sahabatnya,
لَا يُصَلِّيَن أَحَدٌ الْعَصْرَ إلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Janganlah seorang pun shalat melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.”
Di antara mereka ada yang sudah mendapati waktu Ashar di jalan, namun
mereka berkata, “Janganlah shalat kecuali sudah mencapai Bani
Quraizhah.” Hingga akhirnya mereka pun luput (telat) melakukan shalat
‘Ashar. Sedangkan lainnya berkata, “Kita tidak boleh mengakhirkan shalat
‘Ashar.” Akhirnya mereka pun melaksanakan shalat ‘Ashar di jalan (pada
waktunya). Namun tidak ada seorang pun di antara dua kelompok yang
berbeda tersebut saling mencela. Hadits ini disebutkan dalam shahihain
dari hadits Ibnu ‘Umar.
Hal di atas berkaitan dengan masalah hukum (fikih). Oleh karenanya,
jika ada masalah selama bukan suatu yang krusial dalam hal ushul (pokok
agama), maka diserupakan seperti itu pula. (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173-174)
Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam
Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam
Syafi’i berkata padanya,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
Setelah membawakan perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, Imam Adz
Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan dan kepahaman Imam
Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.” (Idem, 10: 17).
Semoga sajian kali ini bermanfaat dan semakin menyatukan hati kita
yang berselisih dalam hal ijtihadiyah. Moga bisa saling menghargai dan
tetap menjaga persaudaraan.
Referensi:
- Siyar A’laamin Nubala’, Imam Adz Dzahabi, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-11, tahun 1422 H, jilid ke-10.
- Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan ke-4, tahun 1432 H, jilid ke-12.
—
Disusun @ Pesantren Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 9 Jumadats Tsaniyah 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
*diambil dari Artikel Rumaysho.com
No comments:
Post a Comment