Satu
lagi kesyirikan yang dapat terjadi yaitu dalam masalah tawasul
(mengambil perantara) dalam do’a kepada orang yang sudah mati dan
meminta syafa’at pada selain Allah padahal sepenuhnya syafa’at diminta
dari Allah.
Syaikh Muhammad At Tamimi melanjutkan kaedah kedua dalam kitab beliau Al Qowa’idul Arba’.
القَاعِدَةُ
الثَّانِيَةُ: أَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ: مَا دَعَوْنَاهُمْ وَتَوَجَّهْنَا
إِلَيْهِمْ إِلاَّ لِطَلَبِ الْقُرْبَةِ وَالشَّفَاعَةِ، فَدَلِيْلُ
الْقُرْبَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى ﴿وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ
أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ
كَفَّارٌ﴾[الزمر:3].
Mereka (orang-orang musyrik) mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka dan menghadapkan wajah kami kepada mereka (selain Allah) kecuali untuk mendekatkan diri pada Allah dan untuk memperoleh syafa’at mereka.”
Dalil yang menunjukkan bahwa argumen orang musyrik adalah dalam rangka mendekatkan diri pada Allah (qurbah) yaitu firman Allah Ta‘ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya“.
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang
mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar [39] : 3)
Sesungguhnya orang-orang musyrik yang Allah menyeru mereka dengan
sebutan musyrik dan menghukumi mereka dengan kekal dalam neraka, mereka
tidaklah melakukan perbuatan syirik dalam hal rububiyah, akan tetapi
yang mereka lakukan adalah berbuat syirik dalam perkara uluhiyah. Mereka
tidaklah mengatakan bahwa sesembahan mereka itu dapat mencipta dan
memberi rizki di samping Allah. Mereka juga tidak menganggap bahwa
sesembahan-sesembahan mereka dapat memberikan manfaat, mendatangkan
bahaya dan dapat mengatur alam semesta di samping Allah. Orang-orang
musyrik menyembah sesembahan tersebut hanya karena mereka anggap bahwa
sesembahan mereka tersebut dapat memberikan mereka syafa’at[1] kepada mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain Allah yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka
berkata: “Mereka itu hanyalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah“. (QS. Yunus [10] : 18 ). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala berfirman,
مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ
“Tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan”.
Mereka (orang-orang musyrik) mengetahui semua ini yaitu sesembahan
selain Allah tidaklah dapat memberikan manfaat dan mendatangkan bahaya
kepada mereka. Sebenarnya orang-orang musyrik hanya menjadikan
sesembahan mereka tersebut sebagai pemberi syafa’at bagi mereka di sisi
Allah, yaitu sebagai perantara antara mereka dengan Allah dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka (orang-orang musyrik) menyerahkan
hasil sembelihan kepada sesembahan mereka. Mereka juga melakukan nadzar
yang ditujukan kepada sesembahan-sesembahan tersebut. Namun, mereka
semua melakukan perbuatan seperti ini bukanlah karena mereka meyakini
bahwa sesembahan mereka tersebut adalah pencipta, pemberi rizki, atau
yang mendatangkan manfa’at atau menolak bahaya. Mereka melakukan hal ini
hanya sebagai perantara antara mereka dengan Allah, yaitu sebagai
pemberi syafa’at bagi mereka. Inilah aqidah orang-orang musyrik (yang
sebenarnya).
Sekiranya saat ini, engkau berbincang-bincang dengan para penyembah
kubur, mereka tentu akan mengatakan perkataan yang serupa dengan
orang-orang musyrik dahulu. Boleh jadi mereka mengatakan, “Sesungguhnya
kami mengetahui bahwa wali ini atau orang sholih ini tidak dapat menolak
bahaya dan mendatangkan manfaat. Akan tetapi, dia adalah orang sholih
dan kami hanya menginginkan agar dia dapat memberikan syafa’at pada
kami di sisi Allah.”
Namun ketahuilah bahwa syafa’at itu ada yang benar dan ada yang
bathil (salah). Syafa’at yang benar dan bisa diterima harus memiliki dua
syarat berikut.
- Orang yang akan memberi syafa’at telah mendapat izin dari Allah.
- Orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridhoi, yaitu orang yang bertauhid yang mendapatkan kesulitan (ahli maksiat).
Jika salah satu dari syarat di atas tidak ada, maka syafa’at tersebut termasuk syafa’at yang bathil (keliru). Allah Ta’ala mengatakan mengenai syarat syafa’at di atas,
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al Baqarah [2] : 255 ).
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah”.
(QS. Al Anbiya’ [21] : 28 ). Orang-orang yang diberi syafa’at adalah
dari ahli maksiat di kalangan orang yang bertauhid. Adapun orang kafir
dan orang musyrik, tidak bermanfaat bagi mereka syafa’at dari orang yang
hendak memberi syafa’at. Allah Ta’ala berfirman,
مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ
“Orang-orang yang zholim tidak mempunyai teman setia seorangpun
dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima
syafa’atnya”. (QS. Al Mu’min [40] : 18 )[2].
Orang-orang yang mendengar kata syafa’at sebenarnya mereka tidak
mengetahui makna syafa’at yang sebenarnya. Mereka malah pergi mencarinya
kepada selain Allah tanpa izin dari-Nya. Bahkan orang-orang semacam ini
meminta syafa’at kepada orang-orang yang berbuat syirik kepada Allah,
padahal orang semacam ini tidaklah bermanfaat sama sekali syafa’at bagi
orang yang berbuat syirik. Mereka inilah yang tidak mengetahui hakekat
syafa’at yang sebenarnya padahal syafa’at ada yang diterima dan ada pula
yang ditolak.
****
وَدَلِيْلُ
الشَّفَاعَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا
لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا
عِنْدَ اللَّهِ﴾[يونس:18]، وَالشَّفَاعَةُ شَفَاعَتَانِ: شَفَاعَةٌُ
مَنْفِيَّةٌُ وَشَفَاعَةٌُ مُثْبَتَةٌُ: فَالشَّفَاعَةُ الْمَنْفِيَّةُ مَا
كَانَتْ تُطْلَبُ مِنْ غَيْرِ اللهِ فِيْمَا لا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إِلاَّ
اللهُ، وَالدَّلِيْلُ: قَوْلُهُ تَعَالَى ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا
بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمْ
الظَّالِمُونَ﴾[البقرة:254].
Dalil bahwa argumen mereka adalah untuk memperoleh syafa’at yaitu firman Allah ta‘ala (yang artinya), “Dan
mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan,
dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada Kami di
sisi Allah”.” (QS. Yunus [10] : 18)
(Ketahuilah) bahwa syafa’at itu ada dua macam yaitu
[1] syafa’at manfiyah (yang tertolak) dan [2] syafa’at mutsbatah (yang
ditetapkan).
Syafa’at manfiyah (yang tertolak) adalah syafa’at
yang diminta dari selain Allah, padahal tidak ada yang mampu memberikan
syafa’at kecuali dengan izin-Nya. Dalilnya hal ini adalah firman Allah
ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di
jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu
sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al Baqarah [2] : 254)
Syafa’at itu memiliki syarat-syarat sehingga tidak berlaku secara mutlak[3].
Syafa’at itu ada dua macam. Pertama adalah syafa’at yang dinafikan (ditiadakan) oleh Allah jalla wa ‘ala
yaitu syafa’at yang diminta tanpa izin Allah. Tidak ada seorang pun
yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan izin-Nya. Perhatikanlah
makhluk yang paling utama dan penutup para Nabi -yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-, jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
ingin memberi syafa’at kepada orang-orang yang mengalami kesulitan di
padang mahsyar pada hari kiamat, beliau tersungkur dan bersujud di
hadapan Allah, beliau memohon kepada-Nya dan menyanjung-Nya. Beliau
tidaklah berhenti bersujud sampai dikatakan padanya,
ارْفَعْ رَأْسَكَ قُلْ تُسْمَعْ اشْفَعْ تُشَفَّعْ
“Angkatlah kepalamu. Mintalah pasti engkau akan didengar. Berilah syafa’at pasti akan dikabulkan“.[4]
Perhatikanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri baru bisa memberi syafa’at setelah diizinkan oleh Allah.
****
].
وَالشَّفَاعَةُ الْمُثْبَتَةُ هِيَ: الَّتِي تُطْلَبُ مِنَ اللهِ،
وَالشَّافِعُ مُكْرَمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالْمَشْفُوْعُ لَهُ: مَنْ رَضِيَ
اللهُ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ بَعْدَ الإذْنِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿مَنْ ذَا
الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ﴾[البقرة:255].
Syafa’at mutsbatah (yang ditetapkan) adalah syafa’at yang diminta dari
Allah. Pemberi syafa’at adalah orang yang dimuliakan dengan
syafa’atnya. Sedangkan orang yang disyafa’ati adalah orang yang Allah
ridhoi perkataan dan amalannya, syafa’at tersebut diberikan setelah
mendapatan izin dari Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS Al Baqarah [2] : 255)
Syafa’at mutsbatah (yang ditetapkan) adalah syafa’at yang
diberikan kepada orang yang bertauhid. Syafa’at tidaklah bermanfaat bagi
orang-orang musyrik dan orang-orang yang bertaqarub (mendekatkan diri)
dan bernadzar kepada kubur. Perbuatan semacam ini adalah kesyirikan,
syafa’atnya tidak bermanfaat sama sekali.
KESIMPULAN :
Sesungguhnya syafa’at manfiyah (yang ditolak) adalah syafa’at yang diminta tanpa izin Allah atau yang diminta oleh orang musyrik. Sedangkan syafa’at mutsbatah (yang ditetapkan) adalah syafa’at yang diminta setelah izin Allah dan akan diberikan pada ahli tauhid.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
*diambil dari Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom
—
Telah hadir buku terbaru: Buku Mengenal Bid’ah Lebih Dekat (harga: Rp.13.000,-), karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Kirimkan format pemesanan via sms ke no 0852 0017 1222 atau via PIN BB 2AF1727A: Buku Bid’ah#Nama#Alamat#no HP. Nanti akan diberitahu biaya dan rekening untuk transfer.
[1] Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan, “Syafa’at secara bahasa diambil dari kata (الشَفْعُ) yang merupakan lawan kata dari (الوِتْرُ). Sedangkan (الوِتْرُ) adalah ganjil atau tunggal. Kata (الشَفْعُ) berarti lebih dari satu yaitu dua, empat, atau enam. Dan (الشَفْعُ) dikenal dengan istilah bilangan ‘genap’.
Secara istilah, syafa’at adalah menjadi perantara (penghubung) dalam menyelesaikan hajat yaitu perantara antara orang yang memiliki hajat dan yang bisa menyelesaikan hajat.” (At Ta’liqot Al Mukhtashoroh ‘alal Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 95, Darul ‘Ashomah)
Agar lebih memahami syafa’at dapat kami contohkan sebagai berikut:
Si A memiliki hajat untuk membangun rumah. Dia tidak memiliki dana yang cukup. Oleh karena itu, agar bisa mencukupi kebutuhannya dia ingin meminjam uang pada si B yang terkenal kaya di daerahnya. Namun, si A ini tidak begitu akrab dengan si B sehingga dia meminta si C untuk jadi perantara. Akhirnya, si C mengantarkan si A pada si B sehingga keperluan si A terpenuhi.
Si C yang berlaku sebagai perantara di sini disebut dengan syafi’ yaitu pemberi syafa’at. [pent]
[2] Yang dimaksud dengan orang zholim di sini adalah orang kafir berdasarkan hadits mutawatir mengenai adanya syafa’at bagi pelaku dosa besar.
Secara istilah, syafa’at adalah menjadi perantara (penghubung) dalam menyelesaikan hajat yaitu perantara antara orang yang memiliki hajat dan yang bisa menyelesaikan hajat.” (At Ta’liqot Al Mukhtashoroh ‘alal Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 95, Darul ‘Ashomah)
Agar lebih memahami syafa’at dapat kami contohkan sebagai berikut:
Si A memiliki hajat untuk membangun rumah. Dia tidak memiliki dana yang cukup. Oleh karena itu, agar bisa mencukupi kebutuhannya dia ingin meminjam uang pada si B yang terkenal kaya di daerahnya. Namun, si A ini tidak begitu akrab dengan si B sehingga dia meminta si C untuk jadi perantara. Akhirnya, si C mengantarkan si A pada si B sehingga keperluan si A terpenuhi.
Si C yang berlaku sebagai perantara di sini disebut dengan syafi’ yaitu pemberi syafa’at. [pent]
[2] Yang dimaksud dengan orang zholim di sini adalah orang kafir berdasarkan hadits mutawatir mengenai adanya syafa’at bagi pelaku dosa besar.
Al Hafizh Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab 1/205 mengatakan, “Orang
zholim dalam ayat ini adalah orang-orang kafir. Yang menguatkan hal ini
adalah konteks ayat sebelumnya yang membicarakan tentang orang kafir.”
Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Orang yang menzholimi dirinya dengan berbuat syirik kepada Allah tidak akan mendapatkan manfaat (pertolongan) dari kerabat dekatnya dan juga mendapatkan syafa’at dari syafi’ (orang yang memberi syafa’at).” [pent]
[3] Maksudnya tidak semua syafa’at bisa diterima. [pent]
Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Orang yang menzholimi dirinya dengan berbuat syirik kepada Allah tidak akan mendapatkan manfaat (pertolongan) dari kerabat dekatnya dan juga mendapatkan syafa’at dari syafi’ (orang yang memberi syafa’at).” [pent]
[3] Maksudnya tidak semua syafa’at bisa diterima. [pent]
[4]
Hadits ini adalah potongan dari hadits yang cukup panjang yang
diriwayatkan oleh Bukhari no. 7510 dalam At Tauhid, Bab ‘Perkataan Allah
pada hari kiamat kepada para Nabi dan selainnya’. Juga diriwayatkan
oleh Muslim no. 193 dalam Al Iman, Bab ‘Kedudukan penduduk surga yang
paling rendah’ dari Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
No comments:
Post a Comment