Salah satu caranya, coba renungkan dan simak perkataan ulama berikut ini.
Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba
disebut berbuat ikhlas?” “Jika keadaanya mirip dengan anak yang
menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada
yang memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.
Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah,
“Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah
mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila
pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.
Coba pula lihat perkataan Ibnu ‘Atho’ dalam hikam-nya. Beliau
berkata, “Ketahuilah bahwa manusia biasa memujimu karena itulah yang
mereka lihat secara lahir darimu. Seharusnya engkau menjadikan dirimu
itu cambuk dari pujian tersebut. Karena ingatlah orang yang paling bodoh
adalah yang dirinya itu yakin akan pujian manusia padahal ia yakin akan
kekurangan dirinya.”
Lihatlah bagaimana Ibnu Mas’ud, sahabat yang mulia, namun masih
menganggap dirinya itu penuh ‘aib. Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Jika
kalian mengetahui ‘aibku, tentu tidak ada dua orang dari kalian yang
akan mengikutiku”.
Beberapa kiat agar tidak merasa di atas angina ketika dipuji oleh
orang lain, bisa kami ringkaskan dari perkataan ulama di atas sebagai
berikut.
- Harus yakin nikmat itu dari Allah, bukan dari usaha manusia
- Banyak lihat kekurangan diri daripada kelebihan
- Tidak terlalu memperhatikan pujian atau celaan
- Ada pujian atau tidak, keadaannya sama saja
- Tidak mengharap pujian berikutnya, yang harap selalu pahala
- Amalkan doa Abu Bakr Ash-Shiddiq
Ketika dipuji, Abu Bakr berdo’a,
اللَّهُمَّ
أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ
يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii
minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa
ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.
[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku
sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang
memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka
sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku,
dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka] (Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, 4: 228, no.4876. Lihat Jaami’
Al-Ahadits, Jalaluddin As-Suyuthi, 25: 145, Asy Syamilah)
Sebagaimana disebutkan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Al-Auza’i
mengatakan bahwa ketika seseorang dipuji oleh orang lain di hadapan
wajahnya, maka hendaklah ia mengucapkan do’a di atas.
Disebutkan pula oleh sebagian salaf bahwa jika seseorang dipuji di
hadapannya, maka hendaklah ia bertaubat darinya dengan mengucapkan do’a
yang serupa. Hal ini disebutkan pula oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab
Al-Iman.
Disebutkan pula dalam Adab Al-Mufrod karya Imam Al Bukhari mengenai
hadits di atas ketika beliau sebutkan dalam Bab “Apa yang disebutkan
oleh seseorang ketika ia disanjung.”
Begitu pula disebutkan dalam kitab Hilyah Al-Awliya’ karya Abu Na’im
Al-Asbahaniy bahwa ketika seseorang dipuji di hadapannya, hendaklah ia
mengingkari, marah dan tidak menyukainya, ditambah membaca do’a di atas.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayid bin Husain Al ‘Afani, terbitan Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H, hlm. 315-317.
—
Diselesaikan di Bandara El-Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 14 Syawal 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
*diambil dari Artikel Rumaysho.Com
No comments:
Post a Comment