Dalam banyak hadits
Rasulullah saw menegaskan sisi kemanusiaan beliau dan bahwa beliau sama seperti
manusia lainnya. Beliau bisa marah seperti yang lain. Beliau juga ridha
sebagaimana halnya mereka. Abu Hurairah ra meriwayatkan, “Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah,
Muhammad adalah manusia biasa. Ia bisa marah seperti yang lainnya marah. Aku
sudah membuat janji pada-Mu yang tidak akan kuingkari. Siapa saja mukmin yang
kusakiti, kucela, atau kucambuk, jadikanlah hal itu sebagai penebus dosa
baginya dan sebagai bentuk taqarrub yang mendekatkannya kepada-Mu di hari
kiamat.”
Kehidupan Rasul saw
tidaklah selalu lapang dan dihiasi dengan mawar. Terdapat berbagai kondisi yang
di dalamnya beliau marah seperti manusia pada umumnya. Hanya saja, marah beliau
tetap di jalan Allah dan karena membela agama-Nya. Beliau marah demi agama dan
demi kebenaran. Beliau marah sebagai bentuk rahmat bagi semesta alam. Beliau
marah ketika ada larangan yang dilanggar, dan seterusnya. Yang membedakan
dengan yang lain, marah Rasul saw tidak membuat beliau keluar dari kebenaran.
Marah beliau tetap disertai sikap sabar, santun dan tabah.
Di antara contoh
harah beliau yang sebenarnya mencerminkan kasih sayang beliau kepada umat
adalah saat mendengar keberadaan imam yang memanjangkan salat, tidak seperti
tuntunan beliau. Ibn Mas’ud ra berkata, “Seseorang bercerita, ‘Ya Rasulullah
saya mundur dari salat subuh berjamaah lantaran Fulan yang menjadi imam
memanjangkan shalatnya.” Mendengar hal itu Rasul saw marah. Aku tidak pernah
melihat beliau semarah itu pada saat tersebut. Kemudia beliau berkata, ‘Wahai
manusia, di antara kalian ada yang membuat orang lari. Siapa yang menjadi imam
hendaknya meringankan. Sebab, di belakangnya terdapat orang yang papa, tua dan
memiliki hajat.’”.
Beliau juga marah
demi agama. Hal itu seperti yang diriwayatkan oleh jabir ibn Abdillah bahwa Umar
ibn al-Kattab mendatangi Nabi saw dengan membawa sebuah buku yang ia dapat dari
ahlul kitab. Umar membacakannya di hadapan Nabi saw. Seketika beliau marah
seraya berkata, “Apakah engkau masih
bimbang wahai Ibnul Khattab?! Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya. Aku
telah datang kepada kalian dengan membawa syariat yang putih dan bersih. Jangan
sampai kalian tanyakan sesuatu kepada meeka dimana ketika mereka mengabarkan
yang benar, kalian dustakan atau yang batil tapi justru kalian benarkan. Demi
Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Musa hidup pasti ia akan
mengikutiku.”
Kondisi lain yang
menjelaskan marah Rasul saw adalah ketika ada sahabat yang memberikan pembelaan
agar hukum Allah tidak ditegakkan. Hal ini diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa kabilah
Quraisy sangat risau dengan posisi wanita mereka yang mencuri di masa Nabi saw,
tepatnya di perang al-Fatah. Mereka bertanya, “Adakah orang yang bisa bicara dengan Nabi saw?” Menurut mereka
yang berani untuk membicarakan hal itu kepada Rasul saw, hanya Usamah ibn Zaid,
orang yang sangat dicintai beliau. Maka, Usamah membawa wanita yang dimaksud
kepada Rasulullah saw. Usamah berbicara tentangnya. Seketika wajah Rasulullah
saw berubah. Beliau bersabda, “Apakah
engkau akan memberikan pembelaan terkait dengan salah satu hukum hudud yang
telah Allah tetapkan?” “Mintakan ampunan untukku wahai Rasulullah!” ujar
Usamah. Selanjutnya Rasulullah saw bangkit berdiri. Beliau berkhutbah diawali
dengan pujian untuk Allah yang memang layak untuk Dia sandang. Kemudian beliau
bersabda, “Amma ba’du, yang membuat
binasa orang-orang sebelum kalian adalah bahwa ketika yang mencuri di antara
mereka berasal dari keluarga mulia (ningrat), mereka membiarkannya. Namun jika
yang mencuri dari kalangan lemah, mereka memberikan hukuman kepadanya. Demi Zat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri,
tentu telah kupotong tangannya.” Kemudian beliau menyuruh untuk memotong
tangan wanita tersebut.
Dari sini tampak
dengan jelas apa yang dikatakan oleh Anas ra, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah memberikan hukuman untuk
kepentingan dirinya. Beliau hanya memberikan hukuman saat ada larangan Allah
yang dilanggar. Apabila larangan atau kehormatan Allah dilanggar, beliau akan
sangat marah. Kalau dua urusan diperlihatkan kepada beliau, tentu beliau akan
memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak mengandung murka
Allah. Namun jika di dalamnya terdapat murka Allah, beliau orang yang paling
jauh darinya.”
Itulah tiga kondisi
yang ada. Masih banyak lagi kondisi lain yang menerangkan bahwa Rasul saw tidak
marah untuk dirinya. Namun beliau marah untuk Allah, untuk kebenaran, dan untuk
agama, dan karena cinta beliau kepada umat. Inilah yang dijelaskan oleh Ali ibn
Abi Thalib. Ua berkata, “Rasulullah saw
tidak pernah marah karena dunia. Apabila beliau marah karena sebuah kebenaran,
tidak ada yang tahu”. Ketika marah itu datang beliau dapat menguasainya.
Akhlak tersebut (Engkau berada di atas akhlak yang agung (QS al Qalam: 4)
beliau miliki karena beliau paham. Beliau bersabda, “Tidak ada tegukan yang pahalanya di sisi Allah lebih besar daripada
tegukan amarah yang ditahan oleh seseorang karena mencari ridha Allah.”
Oleh: Dr. Aidh Al Qarni
Penerjemah: Ust
Fauzi Bahreisy
Edisi 325/ Maret 2015/ Jumadil Ula 1436 H
*diambil dari Artikel Buletin Al Iman
(www.alimancenter.com)
No comments:
Post a Comment