Drop Down Menu

Friday, 14 August 2015

Marahnya Rasulullah saw

2dee5982cbdc2b7b7b3c545e34831370_LDalam banyak hadits Rasulullah saw menegaskan sisi kemanusiaan beliau dan bahwa beliau sama seperti manusia lainnya. Beliau bisa marah seperti yang lain. Beliau juga ridha sebagaimana halnya mereka. Abu Hurairah ra meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah, Muhammad adalah manusia biasa. Ia bisa marah seperti yang lainnya marah. Aku sudah membuat janji pada-Mu yang tidak akan kuingkari. Siapa saja mukmin yang kusakiti, kucela, atau kucambuk, jadikanlah hal itu sebagai penebus dosa baginya dan sebagai bentuk taqarrub yang mendekatkannya kepada-Mu di hari kiamat.”

Kehidupan Rasul saw tidaklah selalu lapang dan dihiasi dengan mawar. Terdapat berbagai kondisi yang di dalamnya beliau marah seperti manusia pada umumnya. Hanya saja, marah beliau tetap di jalan Allah dan karena membela agama-Nya. Beliau marah demi agama dan demi kebenaran. Beliau marah sebagai bentuk rahmat bagi semesta alam. Beliau marah ketika ada larangan yang dilanggar, dan seterusnya. Yang membedakan dengan yang lain, marah Rasul saw tidak membuat beliau keluar dari kebenaran. Marah beliau tetap disertai sikap sabar, santun dan tabah.

Di antara contoh harah beliau yang sebenarnya mencerminkan kasih sayang beliau kepada umat adalah saat mendengar keberadaan imam yang memanjangkan salat, tidak seperti tuntunan beliau. Ibn Mas’ud ra berkata, “Seseorang bercerita, ‘Ya Rasulullah saya mundur dari salat subuh berjamaah lantaran Fulan yang menjadi imam memanjangkan shalatnya.” Mendengar hal itu Rasul saw marah. Aku tidak pernah melihat beliau semarah itu pada saat tersebut. Kemudia beliau berkata, ‘Wahai manusia, di antara kalian ada yang membuat orang lari. Siapa yang menjadi imam hendaknya meringankan. Sebab, di belakangnya terdapat orang yang papa, tua dan memiliki hajat.’”.

Beliau juga marah demi agama. Hal itu seperti yang diriwayatkan oleh jabir ibn Abdillah bahwa Umar ibn al-Kattab mendatangi Nabi saw dengan membawa sebuah buku yang ia dapat dari ahlul kitab. Umar membacakannya di hadapan Nabi saw. Seketika beliau marah seraya berkata, “Apakah engkau masih bimbang wahai Ibnul Khattab?! Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya. Aku telah datang kepada kalian dengan membawa syariat yang putih dan bersih. Jangan sampai kalian tanyakan sesuatu kepada meeka dimana ketika mereka mengabarkan yang benar, kalian dustakan atau yang batil tapi justru kalian benarkan. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Musa hidup pasti ia akan mengikutiku.”

Kondisi lain yang menjelaskan marah Rasul saw adalah ketika ada sahabat yang memberikan pembelaan agar hukum Allah tidak ditegakkan. Hal ini diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa kabilah Quraisy sangat risau dengan posisi wanita mereka yang mencuri di masa Nabi saw, tepatnya di perang al-Fatah. Mereka bertanya, “Adakah orang yang bisa bicara dengan Nabi saw?” Menurut mereka yang berani untuk membicarakan hal itu kepada Rasul saw, hanya Usamah ibn Zaid, orang yang sangat dicintai beliau. Maka, Usamah membawa wanita yang dimaksud kepada Rasulullah saw. Usamah berbicara tentangnya. Seketika wajah Rasulullah saw berubah. Beliau bersabda, “Apakah engkau akan memberikan pembelaan terkait dengan salah satu hukum hudud yang telah Allah tetapkan?” “Mintakan ampunan untukku wahai Rasulullah!” ujar Usamah. Selanjutnya Rasulullah saw bangkit berdiri. Beliau berkhutbah diawali dengan pujian untuk Allah yang memang layak untuk Dia sandang. Kemudian beliau bersabda, “Amma ba’du, yang membuat binasa orang-orang sebelum kalian adalah bahwa ketika yang mencuri di antara mereka berasal dari keluarga mulia (ningrat), mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri dari kalangan lemah, mereka memberikan hukuman kepadanya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, tentu telah kupotong tangannya.” Kemudian beliau menyuruh untuk memotong tangan wanita tersebut.

Dari sini tampak dengan jelas apa yang dikatakan oleh Anas ra, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah memberikan hukuman untuk kepentingan dirinya. Beliau hanya memberikan hukuman saat ada larangan Allah yang dilanggar. Apabila larangan atau kehormatan Allah dilanggar, beliau akan sangat marah. Kalau dua urusan diperlihatkan kepada beliau, tentu beliau akan memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak mengandung murka Allah. Namun jika di dalamnya terdapat murka Allah, beliau orang yang paling jauh darinya.”

Itulah tiga kondisi yang ada. Masih banyak lagi kondisi lain yang menerangkan bahwa Rasul saw tidak marah untuk dirinya. Namun beliau marah untuk Allah, untuk kebenaran, dan untuk agama, dan karena cinta beliau kepada umat. Inilah yang dijelaskan oleh Ali ibn Abi Thalib. Ua berkata, “Rasulullah saw tidak pernah marah karena dunia. Apabila beliau marah karena sebuah kebenaran, tidak ada yang tahu”. Ketika marah itu datang beliau dapat menguasainya. Akhlak tersebut (Engkau berada di atas akhlak yang agung (QS al Qalam: 4) beliau miliki karena beliau paham. Beliau bersabda, “Tidak ada tegukan yang pahalanya di sisi Allah lebih besar daripada tegukan amarah yang ditahan oleh seseorang karena mencari ridha Allah.”



Oleh: Dr. Aidh Al Qarni

Penerjemah: Ust Fauzi Bahreisy

Edisi 325/ Maret 2015/ Jumadil Ula 1436 H
*diambil dari Artikel Buletin Al Iman (www.alimancenter.com)

No comments:

Post a Comment