Edisi 20 Tahun XXIV
– Jumadil Awal 1436 H/ Maret 2015 M
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengembalian riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS Al Baqarah [2]: 278 – 279).
Sebagai apapun
kita, ada konsekuensi yang harus kita tunjukkan, apalagi pengakuan kita sebagai
mukmin yang pasti menuntut adanya pembuktian. Karena itu, Allah swt berfirman
dalam beberapa ayat dan surat dengan kaliman “Jika kamu beriman.” Maka apa yang
disebut sebelum kalimat itu menjadi sesuatu yang harus kita wujudkan, bila
tidak, maka pengakuan kita sebagai mukmin tidak diakui oleh Allah swt.
Setelah pada
tulisan lalu ada tiga yang harus kita buktikan, maka pada tulisan ini kita
sebutkan tiga lagi.
1. Komitmen Kepada Ketentuan Allah
Di dalam Islam, ada
sejumlah ketentuan Allah swt yang harus ditaati oleh orang yang beriman. Satu
diantaranya adalah yang berkaitan dengan masalah keluarga, khususnya terkait
dengan masalah perceraian yang semakin banyak terjadi. Ketika perceraian
betul-betul terjadi antara suami dengan isterinya, maka setelah jatuh talaq,
isteri memasuki masa iddah yakni masa menunggu untuk boleh menikah lagi dengan
lelaki lain. Seorang wanita harus menahan diri untuk menikah lagi dengan lelaki
lain, meski sudah ada yang mengajaknya untuk menikah setelah ia dicerai
suaminya. Begitu pula, lelaki yang tertarik pada seoarng janda harus bersabar
untuk menikah dengannya sampai masa iddahnya betul-betul berakhir.
Abu Daud dan Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan bahwa Asma bin Yazid berkata: “Saya dicerai pada masa
Rasulullah saw dan ketika itu belum ditetapkan iddah untuk para wanita yang
dicerai.”
Disamping itu,
sahabat Ismail bin Abdullah Al Ghifari menceraikan istrinya yang bernama
Qatilah. Ia tidak tahu bahwa isterinya sedang hamil, namun setelah tahu iapun
merujuknya kembali. Lalu sang isteri melahirkan, namun anaknya meninggal dunia.
Atas dua peristiwa
itu, Allah swt menurunkan firman-Nya: Wanita-wanita
yang ditalah hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al Baqarah [2]: 228).
Dari ayat di atas,
nampak sekali bajwa wanita yang dicerai suaminya baru boleh menikah dengan
lelaki lain sesudah tiga kali suci, yakni tida kali haid atau sekitar 100 hari.
Sesudah berakhirnya masa itu, tapi ternyata ia hamil dari hubungan dengan
suaminya sebelum dicerai, maka masa iddahnya sampai melahirkan. Dalam kaitan
ini, ia tidak boleh menyembunyikan kehamilannya karena ingin segera menikah
dengan lelaki lain.
Adapun mantan
suami, sebagai komitmen keimanan, iapun wajib menafkahi mantan isterinya
seperti biasa, kecuali nafkah batin (hubungan seksual), kecuali kalau keduanya
mau rujuk kembali. Allah swt berfirman: Tempatkanlah
mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. (QS At Thalaq [65]: 6-7).
Dalam konteks
keharusan menafkahi mantan isteri, seorang lelaki tidak boleh khawatir dengan
kondisi ekonominya, karena bila ia mau menunjukkan ketaqwaan dalam masalah ini,
insya Allah ada rizkinya, bahkan dari arah yang dia sendiri tidak menduga-duga,
tugas kita adalah berusaha dan setelah itu bertawakkal kepada Allah swt
sebagaimana firman-Nya: Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS At Thalaq [65]:
3).
2. Meninggalkan Riba
Secara harfiyah,
riba artinya kelebihan atau tambahan. Maksudnya adalah kelebihan harta dalam
suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya dalam utang piutang.
Misalnya si A pinjam uang kepada si B sebesar Rp. 1.000.000, lalu si B harus
mengembalikan sebesar Rp. 1.300.000, maka kelebihan Rp. 300.000 itulah yang
disebut dengan riba dengan segala bentuknya.
Dalam Islam, riba
merupakan sesuatu yang diharamkan Allah swt, karenanya orang yang berusaha
mencari rizki dengan cara mencari riba termasuk mencari rizki secara bathil,
meskipun legalitas hukumnya telah dibenarkan oleh manusia. Karena itu, bagi
seorang muslim yang telah memahami dan menyadari kebathilan dalam riba, ia
seharusnya tidak mengambil riba itu meskipun dalam kesepakatan dengan manusia
ia masih berhak mengambilnya, bila ini dilakukan, maka ia termasuk orang yang
dapat membuktikan keimanannya dan terhindar dari ancaman siksa yang pedih,
Allah swt berfirman: Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS Al Baqarah [2]:
278 – 279).
Ibnu Abbas ra
menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Ibnu Mandah bahwa Bani
Mughirah mempunyai utang dari sisa riba kepada Bani Amr bin Auf yang berasal
dari Tsaquf. Setelah Futuh Makkah, segala bentuk riba sudah diharamkan. Namun
kedua kelompok ini berselisih tentang pembayaran utang hasil riba itu. Lalu
mereka mendatangi Attab bin Usaid yang ketika itu menjadi Gubernur Makkah.
Orang-orang Bani Mughirah berkata: “Kami menjadi orang yang paling sengsara
karena riba, sedangkan Rasulullah saw telah membatalkan riba dari orang-orang
selain kami.”
Bani Amr pun
menjawab: “Kami telah berdamai dengannya (muhammad) dan telah sepakat bahwa
riba kami dari orang-orang (selain muslim) adalah hak kami.
Lalu hal itu
dikabarkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah firman Allah swt di atas.
3. Percaya Mukjizat
Keimanan kita
kepada Allah swt membuat kita juga harus percaya terhadap mukjizat yang
diberikan kepada para Rasul-Nya. Mukjizat merupakan salah satu tanda kekuasaan
Allah swt yang ditunjukkan kepada manusia melalui Rasul-Nya. Karena hal itu
bukan sesuatu yang dimiliki dan bukan keahlian seorang Nabi. Para Nabi
mendapatkan tantangan dari umatnya. Mukjizat membuat diantara penentang Nabi
berbalik menjadi beriman dan pengikutnya yang setia. Karena mereka melihat dan
mengetahui adanya kekuasaan Allah swt.
Oleh karena itu,
mengetahui adanya mukjizat yang diberikan Allah swt kepada para Nabi-Nya
seharusnya membuat kita semakin kuat dan kokoh keimanan kita kepada-Nya,
sehingga tidak ada keraguan sedikitpun terhadap para Nabi yang diutus oleh
Allah swt. Diantara mukjizat yang diberikan Allah swt adalah kepada Nabi Isa as
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Dan
(sebagai) Rasul kepada Bani Israel (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya
aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mikjizat) dari Tuhanmu,
yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku
meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku
menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit
sopak: dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan dirumahmu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika
kamu sungguh-sungguh beriman.” (QS Ali Imran [3]: 49).
Meskipun mukjizat
sudah demikian jelas, bagi orang yang memang tidak mau berfirman, hati dan
pikirannya sudah tertutup, tetap saja mereka tidak beriman. Fir’aun sudah
melihat langsung mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Musa as. Namrudz juga
sudah melihat langsung mukjizat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim as hingga
Abu Jahal dan Abu Lahab yang melihat mukjizat kepada Nabu Muhammad saw.
Dengan demikian,
keimanan selalu dituntut pembuktian, bukan sekadar pernyataan.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953 Instagram: ahmadyani47
Pin BB: 275d0bb3/7cd9c56a
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook:
Ust Ahmad Yani Dua
*diambil dari Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment