Drop Down Menu

Friday 21 August 2015

Jika Mukmin (Bagian Kedua)

Edisi 20 Tahun XXIV – Jumadil Awal 1436 H/ Maret 2015 M


Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengembalian riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS Al Baqarah [2]: 278 – 279).

Sebagai apapun kita, ada konsekuensi yang harus kita tunjukkan, apalagi pengakuan kita sebagai mukmin yang pasti menuntut adanya pembuktian. Karena itu, Allah swt berfirman dalam beberapa ayat dan surat dengan kaliman “Jika kamu beriman.” Maka apa yang disebut sebelum kalimat itu menjadi sesuatu yang harus kita wujudkan, bila tidak, maka pengakuan kita sebagai mukmin tidak diakui oleh Allah swt.

Setelah pada tulisan lalu ada tiga yang harus kita buktikan, maka pada tulisan ini kita sebutkan tiga lagi.

1. Komitmen Kepada Ketentuan Allah

Di dalam Islam, ada sejumlah ketentuan Allah swt yang harus ditaati oleh orang yang beriman. Satu diantaranya adalah yang berkaitan dengan masalah keluarga, khususnya terkait dengan masalah perceraian yang semakin banyak terjadi. Ketika perceraian betul-betul terjadi antara suami dengan isterinya, maka setelah jatuh talaq, isteri memasuki masa iddah yakni masa menunggu untuk boleh menikah lagi dengan lelaki lain. Seorang wanita harus menahan diri untuk menikah lagi dengan lelaki lain, meski sudah ada yang mengajaknya untuk menikah setelah ia dicerai suaminya. Begitu pula, lelaki yang tertarik pada seoarng janda harus bersabar untuk menikah dengannya sampai masa iddahnya betul-betul berakhir.

Abu Daud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Asma bin Yazid berkata: “Saya dicerai pada masa Rasulullah saw dan ketika itu belum ditetapkan iddah untuk para wanita yang dicerai.”

Disamping itu, sahabat Ismail bin Abdullah Al Ghifari menceraikan istrinya yang bernama Qatilah. Ia tidak tahu bahwa isterinya sedang hamil, namun setelah tahu iapun merujuknya kembali. Lalu sang isteri melahirkan, namun anaknya meninggal dunia.

Atas dua peristiwa itu, Allah swt menurunkan firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalah hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al Baqarah [2]: 228).

Dari ayat di atas, nampak sekali bajwa wanita yang dicerai suaminya baru boleh menikah dengan lelaki lain sesudah tiga kali suci, yakni tida kali haid atau sekitar 100 hari. Sesudah berakhirnya masa itu, tapi ternyata ia hamil dari hubungan dengan suaminya sebelum dicerai, maka masa iddahnya sampai melahirkan. Dalam kaitan ini, ia tidak boleh menyembunyikan kehamilannya karena ingin segera menikah dengan lelaki lain.

Adapun mantan suami, sebagai komitmen keimanan, iapun wajib menafkahi mantan isterinya seperti biasa, kecuali nafkah batin (hubungan seksual), kecuali kalau keduanya mau rujuk kembali. Allah swt berfirman: Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS At Thalaq [65]: 6-7).

Dalam konteks keharusan menafkahi mantan isteri, seorang lelaki tidak boleh khawatir dengan kondisi ekonominya, karena bila ia mau menunjukkan ketaqwaan dalam masalah ini, insya Allah ada rizkinya, bahkan dari arah yang dia sendiri tidak menduga-duga, tugas kita adalah berusaha dan setelah itu bertawakkal kepada Allah swt sebagaimana firman-Nya: Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS At Thalaq [65]: 3).

2. Meninggalkan Riba

Secara harfiyah, riba artinya kelebihan atau tambahan. Maksudnya adalah kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya dalam utang piutang. Misalnya si A pinjam uang kepada si B sebesar Rp. 1.000.000, lalu si B harus mengembalikan sebesar Rp. 1.300.000, maka kelebihan Rp. 300.000 itulah yang disebut dengan riba dengan segala bentuknya. 

Dalam Islam, riba merupakan sesuatu yang diharamkan Allah swt, karenanya orang yang berusaha mencari rizki dengan cara mencari riba termasuk mencari rizki secara bathil, meskipun legalitas hukumnya telah dibenarkan oleh manusia. Karena itu, bagi seorang muslim yang telah memahami dan menyadari kebathilan dalam riba, ia seharusnya tidak mengambil riba itu meskipun dalam kesepakatan dengan manusia ia masih berhak mengambilnya, bila ini dilakukan, maka ia termasuk orang yang dapat membuktikan keimanannya dan terhindar dari ancaman siksa yang pedih, Allah swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS Al Baqarah [2]: 278 – 279).

Ibnu Abbas ra menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Ibnu Mandah bahwa Bani Mughirah mempunyai utang dari sisa riba kepada Bani Amr bin Auf yang berasal dari Tsaquf. Setelah Futuh Makkah, segala bentuk riba sudah diharamkan. Namun kedua kelompok ini berselisih tentang pembayaran utang hasil riba itu. Lalu mereka mendatangi Attab bin Usaid yang ketika itu menjadi Gubernur Makkah. Orang-orang Bani Mughirah berkata: “Kami menjadi orang yang paling sengsara karena riba, sedangkan Rasulullah saw telah membatalkan riba dari orang-orang selain kami.”

Bani Amr pun menjawab: “Kami telah berdamai dengannya (muhammad) dan telah sepakat bahwa riba kami dari orang-orang (selain muslim) adalah hak kami.

Lalu hal itu dikabarkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah firman Allah swt di atas.

3. Percaya Mukjizat

Keimanan kita kepada Allah swt membuat kita juga harus percaya terhadap mukjizat yang diberikan kepada para Rasul-Nya. Mukjizat merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah swt yang ditunjukkan kepada manusia melalui Rasul-Nya. Karena hal itu bukan sesuatu yang dimiliki dan bukan keahlian seorang Nabi. Para Nabi mendapatkan tantangan dari umatnya. Mukjizat membuat diantara penentang Nabi berbalik menjadi beriman dan pengikutnya yang setia. Karena mereka melihat dan mengetahui adanya kekuasaan Allah swt.

Oleh karena itu, mengetahui adanya mukjizat yang diberikan Allah swt kepada para Nabi-Nya seharusnya membuat kita semakin kuat dan kokoh keimanan kita kepada-Nya, sehingga tidak ada keraguan sedikitpun terhadap para Nabi yang diutus oleh Allah swt. Diantara mukjizat yang diberikan Allah swt adalah kepada Nabi Isa as sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israel (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mikjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak: dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan dirumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (QS Ali Imran [3]: 49).

Meskipun mukjizat sudah demikian jelas, bagi orang yang memang tidak mau berfirman, hati dan pikirannya sudah tertutup, tetap saja mereka tidak beriman. Fir’aun sudah melihat langsung mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Musa as. Namrudz juga sudah melihat langsung mukjizat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim as hingga Abu Jahal dan Abu Lahab yang melihat mukjizat kepada Nabu Muhammad saw.

Dengan demikian, keimanan selalu dituntut pembuktian, bukan sekadar pernyataan.
Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953 Instagram: ahmadyani47
Pin BB: 275d0bb3/7cd9c56a
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua

*diambil dari Buletin Khairu Ummah

No comments:

Post a Comment