Oleh: Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
1. Hukum Memandikan
Hukum memandikan jenazah adalah wajib,
berdasar perintah Nabi saw dalam hadist di antaranya sabda Nabi saw tentang
orang yang sedang berihram yang mati karena terlempar dari ontanya, “Mandikanlah
ia dengan air dan daun bidara!” (Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III:
135 no: 1265, Muslim II: 865 no:1206, ‘Aunul Ma’bud IX: 63 no:3222, Tirmidzi
II:214 no:958, dan Nasa’i V:195).
Sabda Nabi
saw tentang pelaksanaan memandikan
puterinya, Zainab r.a. “Cucilah (mandikanlah dia) tiga kali atau lima kali, atau tujuh
kali!” (Muttafaqin 'alaih: Fathul Bari III: 132 no: 1259 dan Muslim
II:647 no:39 dan 939).
2. Cara Memandikan Janazah
Dari Ummi ’Athiyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda kepada sekelompok wanita
yang memandikan puterinya, “Mulailah
dari anggota badan sebelah kanan dan anggota badan yang biasa berwudhu’ darinya.” (Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III: 130 no:1255, dan Muslim
II:648 no:43 dan 939).
Dari Ummi ’Athiyah r.a.
berkata, Rasulullah datang menghampiri kami yang tengah memandikan puterinya (Zainab), kemudian Rasulullah
bersabda, “Mandikanlah tiga, atau lima, atau lebih dari itu, bila kalian
berpendapat demikian, dengan air dan daun bidara, dan jadikanlah pencucian
yang terakhir dengan dicampur kapur barus atau sedikit dari kapur barus.
Apabila sudah selesai, beritahukanlah kepadaku.” Setelah kami selesai,
kami beritahukan kepadanya. Lalu Rasulullah melemparkan kainnya kepada kami.
Kemudian bersabda, “Jadikanlah ini sebagai kain pembungkusnya (yang
menyentuh tubuhnya).” (Muttafaqin ‘alaih : Fathul Bari III: 125 no:1253,
Muslim II:646 no: 939, ‘Aunul Ma’bud VIII: 416 no:3146, Tirmidzi II:229
no:995, Ibnu Majah I:468 no:1458 dan Nasa’i IV:28).
Dari Ummu ‘Athiyah r.a.
berkata, “Lalu kami mewarnai rambutnya dengan warna kuning menjadi tiga
bagian: yaitu dua di sebelah kanan dan kiri dan satu di ubun-ubunnya.”
(Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III: 133-134 no:1262-1263, Muslim II:646
no:939, Nasa’i IV:30).
Dari Ummu ‘Athiyah r.a.
berkata, kemudian kami warnai rambutnya dengan warna kuning pada tiga bagian
dan kami melepaskannya ke belakangnya.” (Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III:
133-134 no:1262-1263, Muslim II:646 no:939, Nasa’i IV:30).
3.Yang Berhak Memandikan Mayat
Yang lebih berhak memandikan mayat ialah yang lebih mengerti tentang sunnah
Nabi saw terutama, bila ada dari kalangan sanak kerabat si mayat, karena yang mengambil alih pemandian
jenazah Nabi saw adalah dari kalangan keluarganya.
Dari Ali r.a.
berkata, ”Aku telah memandikan jenazah
Rasulullah saw lalu aku perhatikan sesuatu yang biasanya ada pada mayat namun aku tak dapat sesuatu. Rasulullah saw sangat baik ketika hidupnya juga saat matinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah
no:1198, Ahkamul Janaiz hal:50 dan Ibnu Majah I:471 no:1467).
Yang memandikan mayat laki-laki wajib dari golongan laki-laki juga, dan mayat perempuan harus perempuan juga, kecuali suami isteri, maka isteri boleh memandikan suaminya dan sebaliknya.
Dari Aisyah r.a. bertutur, “Seandainya aku menghadapi sebuah urusan, maka aku tidak akan berpaling kecuali kepada isteri-isteri beliau.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah
no:1196, Ahkamul Janaiz hal:49, ‘Aunul Ma’bud VIII:413 no:3125 dan Ibnu Majah
I:470 no:1464).
Dari Aisyah r.a. berkata, (Suatu hari) Rasulullah saw datang kepadaku seusai mengantar jenazah ke kuburan Baqi’. Ketika itu aku menderita sakit kepala dan kukatakan kepadanya sambil mengeluh, “Kepalaku pusing.“ Maka Rasulullah berkata, “Bahkan
akupun demikian pula, kepalaku pusing. Apa rugimu bila engkau mendahului aku meninggal dunia, lalu aku mandikan engkau, mengkafanimu, lalu aku shalatkan dan aku kuburkan engkau?” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1197, Ahkamul
Janaiz hal: 50 dan Ibnu Majah I: 470 no: 1465).
4. Tidak Disyari’atkan Memandikan Jenazah Yang Gugur Sebagai Syahid Di Medan Perang
Dari Jabir r.a. bahwa Nabi saw bersabda, “Kuburlah mereka dengan
darah-darah mereka – yaitu pada perang Uhud.” Dan beliau tidak memandikan mereka." (Shahih: Shahih Nasa’i no: 1893, Ahkamul Janaiz hal: 54-55, Fathul Bari III: 212
no: 1346, ‘Aunul Ma’bud VIII: 412 no: 3122, Nasa’i IV: 62 dan Tirmidzi II: 250
no: 1041).
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul
'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz,
atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah,
terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 336 - 339.
|
No comments:
Post a Comment