Drop Down Menu

Wednesday, 27 August 2014

Hukum Memandikan Jenazah


Oleh: Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



1. Hukum Memandikan

Hukum memandikan jenazah adalah wajib, berdasar perintah Nabi saw dalam hadist di antaranya sabda Nabi saw tentang orang yang sedang berihram yang mati karena terlempar dari ontanya, “Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara!” (Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III: 135 no: 1265, Muslim II: 865 no:1206, ‘Aunul Ma’bud IX: 63 no:3222, Tirmidzi II:214 no:958, dan Nasa’i V:195).

Sabda Nabi saw tentang pelaksanaan memandikan puterinya, Zainab r.a. “Cucilah (mandikanlah dia) tiga kali atau lima kali, atau tujuh kali!” (Muttafaqin 'alaih: Fathul Bari III: 132 no: 1259 dan Muslim II:647 no:39 dan 939).



2. Cara Memandikan Janazah

Dari Ummi ’Athiyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda kepada sekelompok wanita yang memandikan puterinya, “Mulailah dari anggota badan sebelah kanan dan anggota badan yang biasa berwudhu’ darinya.” (Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III: 130 no:1255, dan Muslim II:648 no:43 dan 939).

Dari Ummi ’Athiyah r.a. berkata, Rasulullah datang menghampiri kami yang tengah memandikan puterinya (Zainab), kemudian Rasulullah bersabda, “Mandikanlah tiga, atau lima, atau lebih dari itu, bila kalian berpendapat demikian, dengan air dan daun bidara, dan jadikanlah pencucian yang terakhir dengan dicampur kapur barus atau sedikit dari kapur barus. Apabila sudah selesai, beritahukanlah kepadaku.” Setelah kami selesai, kami beritahukan kepadanya. Lalu Rasulullah melemparkan kainnya kepada kami. Kemudian bersabda, “Jadikanlah ini sebagai kain pembungkusnya (yang menyentuh tubuhnya).” (Muttafaqin ‘alaih : Fathul Bari III: 125 no:1253, Muslim II:646 no: 939, ‘Aunul Ma’bud VIII: 416 no:3146, Tirmidzi II:229 no:995, Ibnu Majah I:468 no:1458 dan Nasa’i IV:28).

Dari Ummu ‘Athiyah r.a. berkata, “Lalu kami mewarnai rambutnya dengan warna kuning menjadi tiga bagian: yaitu dua di sebelah kanan dan kiri dan satu di ubun-ubunnya.” (Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III: 133-134 no:1262-1263, Muslim II:646 no:939, Nasa’i IV:30).

Dari Ummu ‘Athiyah r.a. berkata, kemudian kami warnai rambutnya dengan warna kuning pada tiga bagian dan kami melepaskannya ke belakangnya.” (Muttafaqin ‘alaih: Fathul Bari III: 133-134 no:1262-1263, Muslim II:646 no:939, Nasa’i IV:30). 

 

3.Yang Berhak Memandikan Mayat

Yang lebih berhak memandikan mayat ialah yang lebih mengerti tentang sunnah Nabi saw terutama, bila ada dari kalangan sanak kerabat si mayat, karena yang mengambil alih pemandian jenazah Nabi saw adalah dari kalangan keluarganya.

Dari Ali  r.a. berkata, ”Aku telah memandikan jenazah Rasulullah saw lalu aku perhatikan sesuatu yang biasanya ada pada mayat namun aku tak dapat sesuatu. Rasulullah saw sangat baik ketika hidupnya juga saat matinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1198, Ahkamul Janaiz hal:50 dan Ibnu Majah I:471 no:1467).

Yang memandikan mayat laki-laki wajib dari golongan laki-laki juga, dan mayat perempuan harus perempuan juga, kecuali suami isteri, maka isteri boleh memandikan suaminya dan sebaliknya.

Dari Aisyah r.a. bertutur, “Seandainya aku menghadapi sebuah urusan, maka aku tidak akan berpaling kecuali kepada isteri-isteri beliau.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1196, Ahkamul Janaiz hal:49, ‘Aunul Ma’bud VIII:413 no:3125 dan Ibnu Majah I:470 no:1464).

Dari Aisyah r.a. berkata, (Suatu hari) Rasulullah saw datang kepadaku seusai mengantar jenazah ke kuburan Baqi’. Ketika itu aku menderita sakit kepala dan kukatakan kepadanya sambil mengeluh, “Kepalaku pusing.“ Maka Rasulullah berkata, “Bahkan akupun demikian pula, kepalaku pusing. Apa rugimu bila engkau mendahului aku meninggal dunia, lalu aku mandikan engkau, mengkafanimu, lalu aku shalatkan dan aku kuburkan engkau?” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1197, Ahkamul Janaiz hal: 50 dan Ibnu Majah I: 470 no: 1465).

4. Tidak Disyari’atkan Memandikan Jenazah Yang Gugur Sebagai Syahid Di Medan Perang

Dari Jabir r.a. bahwa Nabi saw bersabda, “Kuburlah mereka dengan darah-darah mereka – yaitu pada perang Uhud.” Dan beliau tidak memandikan mereka." (Shahih: Shahih Nasa’i no: 1893, Ahkamul Janaiz hal: 54-55, Fathul Bari III: 212 no: 1346, ‘Aunul Ma’bud VIII: 412 no: 3122, Nasa’i IV: 62 dan Tirmidzi II: 250 no: 1041).

Sumber:

Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 336 - 339.

No comments:

Post a Comment