Edisi 306 / Agustus Th. 2014
Ketika seseorang melakukan
kebaikan namun tidak diiringi dengan keikhlasan maka bisa dipastikan bahwa ia
akan senantiasa diliputi perasaan kecewa, lebih-lebih kala kebaikan yang
dilakukannya tidak diapresiasi orang lain. Ia bahkan akan mengalami penurunan
motivasi yang sangat drastis, hingga tidak ada lagi semangat sedikitpun untuk
melakukan kebaikan.
Sebaliknya, jika ada apresiasi
dari orang lain, semangat melakukan kebaikan akan kembali meningkat tajam
disertai gairah yang sangat luar biasa. Akan tetapi, motivasi yang demikian,
sebenarnya tidak mendatangkan apa-apa selain hanya menipu diri. Sebab, kita
beramal tidak lagi karena Allah swt tapi karena manusia.
Padahal, Allah Ta’ala,
memerintahkan kita beramal baik hanya karena-Nya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala
firmankan:
“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).
“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).
Mengenai bahasan ini, Syeikh
Musthafa Mashyur dalam buku Fiqh Dakwah Jilid I mengutip pendapat seorang
inspirator dari negeri piramida, Mesir, yakni Hasan Al-Banna.
Menurut Hasan Al-Banna, ikhlas
itu adalah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah
semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa mengharapkan
keuntungan popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan dan keterbelakangan.
Dengan keikhlasan ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal
kepentingan dan keberuntungan.
Dengan demikian, maka sudah
sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang aktivitas yang
dilakukannya selama ini, apakah sudah murni karena Allah atau ada pretensi,
interes atau kepentingan semu lainnya?
Sebab jika tidak, maka amat
disayangkan, amal baik yang dilakukan menjadi tidak bernilai apa-apa di hadapan
Allah Ta’ala. Sebagaimana yang tergambar dalam satu hadits Nabi Muhammad
Shallallahu Alayhi Wasallam.
“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari radhiyallahu anhu
berkata, “Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena
ingin dikatakan berani, fanatisme golongan dan riya’. Manakah yang bernilai
sabilillah?”. Rasulullah menjawab, “Barangsiapa yang berperang agar kalimat
Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah berperang di jalan Allah.”
(HR. Bukhari Muslim).
Dan, demikianlah sesungguhnya
inti dari hidup ini, yakni ikhlas karena mengharap ridha-Nya, bukan yang lain.
Sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Al-Quran;
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).
Tegas, Komitmen & Lemah Lembut
Apabila seorang Muslim memahami
ikhlas dengan baik dan mengamalkannya sepenuh hati, maka ia akan tampil sebagai
sosok yang tegas, komitmen dan lemah lembut. Hal inilah yang terjadi pada sosok
Abu Bakar radhiyallahu anhu.
Siapa tidak mengenal watak asli
Abu Bakar, beliau adalah sosok sahabat yang oemalu, mudah menangis kala
mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dan sangat lemah lembut. Tapi, kala ajaran Allah
hendak dipisahkan, yakni antara zakat dan sholat, ia berubah 180 derajat
menjadi pribadi Muslim yang sangat tegas. Bahkan Sayyidina Umar yang terkenal sangat
tegas pun seketika tidak bisa memilih apapun selain tunduk pada kebijakan
khalifah pertama umat Islam itu.
Komitmen Abu Bakar terhadap
kebenaran tidak tergoyahkan oleh apa pun juga. Entah itu senioritas, keilmuan
ataupun prestise lainnya yang masih diyakini sebagian bangsa Arab. Jika
ditanya, mengapa Abu Bakar demikian, tidak lain karena keikhlasannya dalam
menjalankan perintah Allah.
Ikhlas seperti itulah yang
diperlukan oleh setiap Muslim di negeri ini, khususnya para pemimpin dan
pemangku kebijakan. Jika hal itu mampu diwujudkan, maka secara bertahap, segala
permasalahan keumatan, kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan akan bisa diatasi
dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, mari senantiasa
perbaiki diri, terutama keikhlasan diri kita dalam menjalani hidup dan
kehidupan ini. Sebab, ikhlas inilah sebaik-baik jalan bagi setiap Muslim untuk
benar-benar bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki. Semoga Allah memberikan
kekuatan diri kita untuk terus ikhlas dalam amal sholeh, dakwah dan jihad fii
sabilillah.
*Diterbitkan oleh
Buletin Al Iman tanggal 22 Agustus 2014 (telagainsanberiman@gmail.com).
No comments:
Post a Comment