Drop Down Menu

Saturday, 27 June 2015

Shalat Tarawih 23 Raka’at dengan Ngebut

Selalu jadi perselisihan, manakah yang lebih afdhol 11 atau 23 raka’at. Kalau kami sendiri menilai bahwa kedua cara tersebut semuanya itu baik asal shalatnya dilakukan dengan benar. Yaitu harus ada thuma’ninah dan tidak ngebut secepat kilat bagai kencangnya bis patas atau bagai ayam matuk. Ada yang mengerjakan shalat 23 raka’at yang begitu cepat sampai bisa diselesaikan dalam waktu 10-15 menit. Wallahul musta’an.

Shalat Tarawih Disunnahkan Berjama’ah

Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim rahimahullah berkata,

“Hukum shalat tarawih adalah sunnah. Shalat tersebut dilakukan dengan berjama’ah lebih afdhol. Karena hal ini sudah ma’ruf di tengah-tengah sahabat dan para ulama sesudahnya telah menyepakatinya.” (Syarh Wazhoif Ramadhan, hal. 133).

Masalah Jumlah Raka’at

Kembali disebutkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Qosim,

“Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa sah-sah saja melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at seperti yang masyhur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh pula melaksanakan shalat tarawih sebanyak 36 raka’at sebagaimana pendapat Imam Malik. Boleh pula melaksanakan shalat tarawih dengan 11 raka’at atau 13 raka’at. Semua itu baik. Boleh saja mengerjakan shalat tarawih dengan banyak raka’at atau sedikit raka’at tergantung pada lama dan pendeknya berdiri.

‘Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika mengumpulkan jama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab, ia memerintahkan untuk mengerjakan 20 raka’at.

Para sahabat sendiri ketika mengerjakan shalat malam, ada di antara mereka yang mengerjakan dengan sedikit raka’at dan ada yang dengan banyak raka’at. Adapun membatasi dengan jumlah raka’at tertentu tidak ada dalam Islam sama sekali.” (Syarh Wazhoif Ramadhan, hal. 133-134).

Shalat Tarawih dengan Jumlah Raka’at yang Banyak Namun “Ngebut”

Lalu kembali Syaikh ‘Abdurrahman bin Qosim menyinggung orang-orang yang shalat tanpa thuma’ninah seperti yang kita perhatikan saat ini pada sebagian jama’ah yang melakukan tarawih dengan 23 raka’at (raka’at yang banyak). Beliau rahimahullah berkata,

“Banyak sekali imam yang ketika melaksanakan shalat tarawih tanpa memakai nalar. Mereka melakukannya tanpa ada thuma’ninah ketika ruku’ dan sujud. Padahal thuma’ninah termasuk rukun shalat. Dalam shalat kita pun dituntut untuk menghadirkan hati dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah yang dibaca. Tentu thuma’ninah dan khusyu’ tidak didapati ketika seseorang ngebut dalam shalatnya. Jika mau dinilai, sedikit raka’at namun disertai khusyu’ ketika ruku’ dan sujud itu lebih baik daripada banyak raka’at namun dilakukan dengan ngebut yang jelas dilarang dalam shalat.

Kalau mau dikata, mengerjakan shalat malam dengan 10 raka’at namun ada thuma’ninah lebih baik daripada 20 raka’at dengan tergesa-gesa. Karena ruh shalat adalah ketika hati itu benar-benar menghadap Allah.

Begitu pula membaca Al Qur’an dengan tartil lebih baik daripada dengan terburu-buru. Yang masih dibolehkan adalah dalam keadaan cepat namun tidak ada satu huruf pun yang luput dibaca. Yang tidak dibolehkan adalah jika sampai menghilangkan satu huruf bacaan karena terburu-buru dalam shalat. Namun jika dibaca dengan bacaan yang jelas dan para jama’ah pun dapat mengambil manfaat, maka itu lebih baik.

Allah pun mencela orang yang membaca Al Qur’an namun tidak memahaminya seperti disebutkan dalam ayat,

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ

Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui maksud Al Kitab, kecuali dongengan bohong belaka.” (QS. Al Baqarah: 78). Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang membaca namun tidak memahami. Padahal maksud diturunkannya Al Qur’an adalah untuk dipahami maknanya dan diamalkan, bukan hanya sekedar dibaca.” Lihat Syarh Wazhoif Ramadhan, hal. 136.

Bermasalahnya Shalat Tanpa Thuma’ninah

Kadar thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud menurut ulama Syafi’iyah adalah sudah mendapat sekali bacaan tasbih. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji karya Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, hal. 134.

Kalau di bawah kadar itu, berarti tidak ada thuma’ninah. Kalau tidak ada thuma’ninah berarti hilanglah rukun shalat dan membuat shalat tidak sah.

Mengenai perintah thuma’ninah disebutkan dalam hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang “ngebut” shalatnya untuk mengulangi shalatnya. Dalilnya sebagai berikut,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ « إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا »

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

Lihatlah orang tersebut disuruh mengulangi shalatnya karena shalatnya tidak memiliki thuma’ninah, artinya shalatnya sangat cepat atau “ngebut”. Jadinya orang yang shalat tarawih dengan ngebut tanpa ada thuma’ninah, berarti shalatnya tidak sah.

Semua Jumlah Raka’at Shalat Tarawih itu Baik

Namun sekali lagi mengenai jumlah raka’at shalat tarawih yang jelas tidak dibatasi. Juga boleh mengerjakannya dengan 23 raka’at asal ada thuma’ninah di dalam shalat. Lihat saja contoh yang saat ini dipraktekkan di tanah haram, yaitu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan 23 raka’at yang lama dan thuma’ninah. Bahkan Ibnu Taimiyah menegaskan semua jumlah raka’at shalat tarawih itu baik.

Ibnu Taimiyah dalam fatawanya menjelaskan, “Para ulama berselisih pendapat mengenai jumlah raka’at shalat tarawih (qiyam Ramadhan). Ada hadits shahih yang menyebutkan bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dengan 20 raka’at, ditambah witir 3 raka’at. Kebanyakan ulama menilai 23 raka’at inilah yang disunnahkan. Karena Ubay melakukan shalat tersebut di hadapan kaum Muhajirin dan Anshar, namun tidak ada yang mengingkarinya. Sebagian yang lainnya mengerjakan shalat tarawih dengan 39 raka’at karena dianggap bahwa inilah praktek penduduk Madinah di masa silam.

Ada pula sebagian ulama yang menyebutkan hadits ‘Aisyah yang shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah lebih dari 13 raka’at. Sehingga mereka bingung karena menganggap hadits inilah yang jadi patokan. Mereka sulit mengkompromikan dengan hadits yang shahih yang menyatakan bahwa Khulafaur Rasyidin dan para sahabat telah melakukan lebih dari 13 raka’at.

Yang benar, semua cara shalat tarawih tersebut benar. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hambal bahwasanya jumlah raka’at shalat tarawih tidak dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak membatasinya. Maka boleh saja melakukan shalat tarawih dengan jumlah raka’at yang sedikit atau banyak tergantung pada lama dan pendeknya berdiri.

Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukan shalat malam dalam satu raka’at membaca surat Al Baqarah, An Nisaa’, dan Ali Imran. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab Shahih dari hadits Hudzaifah. Maka lamanya berdiri seperti ini diganti oleh para sahabat dengan banyak raka’at. Karenanya Ubay bin Ka’ab tidak mengimami dengan lama berdiri namun dengan banyak raka’at. Banyak raka’at ini adalah kompensasi dari lamanya berdiri. Dahulu iya, shalat tarawih dilakukan dengan 11 atau 13 raka’at. Namun setelah itu orang-orang di Madinah menjadi tidak mampu melakukannya karena berdirinya yang lama, maka digantilah menjadi 39 raka’at dengan memperbanyak raka’at.” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 23: 112-113).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
  1. Syarh Samahatusy Syaikh Al ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Kitab Wazhoif Ramadhan (kitab ringkasan dari Lathoiful Ma’arif Ibnu Rajab dan tambahan dari ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim, terbitan Muassasah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, cetakan pertama, tahun 1432 H.
  2. Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah Al Harroni, terbitan Darul Wafa dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
  3. Al Fiqhu Al Manhaji, Dr. Musthofa Al Bugho, Dr. Musthofa Al Khinn, dan ‘Ali Asy Syarihay, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, tahun 1431 H.
Disusun di waktu Dhuha, 9 Ramadhan 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul.

*diambil dari Artikel Rumaysho.Com

No comments:

Post a Comment