Apakah kita boleh mengerjakan shalat tahajud lagi padahal sudah mengerjakan shalat tarawih yang ditutup dengan witir?
Jawabannya dibolehkan.
Ketahuilah bahwa shalat tahajud merupakan bagian dari shalat malam
yang di mana shalat tahajud dikerjakan setelah bangun tidur. Demikian
pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Al-Muhaddzab. Oleh karenanya
tidaklah bertentangan antara niat shalat malam dan shalat tahajud. Siapa
yang mengerjakan shalat malam setelah bangun tidur, ia disebut sebagai
orang yang bertahajud dan shalatnya dianggap pula sebagai shalat malam.
Kalau seseorang sudah mengerjakan shalat tarawih dan ditutup witir,
maka ia boleh menambah shalat tahajud lagi di malam harinya dengan
beberapa tinjauan sebagai berikut:
1- Perintah mengerjakan shalat malam bersama imam hingga imam selesai
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya siapa saja yang shalat bersama imam hingga imam itu
selesai, maka ia dicatat telah mengerjakan shalat semalam suntuk
(semalam penuh).” (HR. Tirmidzi no. 806. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Dalam riwayat lain dalam Musnad Imam Ahmad, disebutkan dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ بَقِيَّةُ لَيْلَتِهِ
“Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam hingga imam selesai, maka ia dihitung mendapatkan pahala shalat di sisa malamnya.” (HR. Ahmad 5: 163. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Kalau seseorang keluar dari shalat tarawih karena ingin menambah
shalat tahajud dan witirnya di malam hari, maka ia tidak mendapatkan
pahala shalat semalam suntuk. Walaupun dari sisi kesahan tetaplah sah.
2- Masih boleh menambah shalat malam setelah tarawih karena jumlah raka’at shalat malam tidak ada batasannya.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,
فَلاَ
خِلاَفَ بَيْنَ المسْلِمِيْنَ أَنَّ صَلاَةَ اللَّيْلِ لَيْسَ فِيْهَا
حَدٌّ مَحْدُوْدٌ وَأَنَّهَا نَافِلَةٌ وَفِعْلٌ خَيْرٌ وَعَمَلٌ بِرٌّ
فَمَنْ شَاءَ اِسْتَقَلَّ وَمَنْ شَاءَ اِسْتَكْثَرَ
“Tidak ada khilaf di antara kaum muslimin bahwa shalat malam tidak
ada batasan raka’atnya. Shalat malam adalah shalat nafilah (shalat
sunnah) dan termasuk amalan kebaikan. Seseorang boleh mengerjakan dengan
jumlah raka’at yang sedikit atau pun banyak.”(At-Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 21: 69-70, Wizaroh Umum Al Awqof, 1387 dan Al-Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 2: 98, Dar Al-Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1421 H)
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa shalat malam tidak dibatasi jumlah raka’atnya, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at salam, dua raka’at salam. Jika
salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka
kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi
dengan witir.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu
‘Umar). Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam
itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
3- Kita memang diperintah menutup shalat malam dengan shalat witir sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751).
Pengertian menutup shalat malam dengan shalat witir, hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Sehingga setelah shalat witir masih boleh menambah lagi shalat sunnah. Alasannya adalah praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sesudah shalat witir masih menambah lagi dengan dua raka’at yang lain.
‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ
يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ
يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ
يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ
وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan
shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at
kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika
ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau
membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan
shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim
no. 738)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Dua raka’at setelah
witir itu tanda bahwa masih bolehnya dua raka’at setelah witir dan jika
seseorang telah mengerjakan shalat witir bukan berarti tidak boleh lagi
mengerjakan shalat sunnah sesudahnya. Adapun hadits di atas “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah shalat witir“,
yang dimaksud menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam
hanyalah sunnah (bukan wajib). Artinya, dua raka’at sesudah witir masih
boleh dikerjakan.” (Zaad Al-Ma’ad, 1: 322-323). Lihat penjelasan: Dua Raka’at Sesudah Shalat Witir.
Yang jelas bagi yang sudah melaksanakan tarawih lalu menutupnya
dengan witir tidak lagi melakukan witir yang kedua setelah melakukan
shalat tahajud di malam hari. Dari Thalq bin ‘Ali, ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kesimpulan, boleh melaksanakan shalat tahajud walaupun sudah
mengerjakan shalat tarawih dan ditutup dengan witir. Namun di malam hari
ketika melakukan shalat tahajud tidak lagi ditutup dengan witir. Jumlah
raka’at shalat tahajud yang dilakukan bebas, tidak dibatasi jumlah
raka’atnya.
Baca artikel lain di web ini: Setelah Shalat Witir, Bolehkah Shalat Sunnah Lagi?
Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
—
Disusun di kota Ambon, 2 Ramadhan 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
*diambil dari Artikel Rumaysho.Com
No comments:
Post a Comment