Drop Down Menu

Friday, 26 June 2015

Bukan Mukmin (Bagian Ketiga)



Edisi 17 Tahun XXIV – Jumadil Awal 1436 H/ Februari 2015 M




Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An Nur [24]: 51).

Kita tentu tidak mau bila sudah mengaku beriman, tapi tidak diakui sebagai mukmin, atau dianggap tidak pantas sebagai mukmin. Di dalam Al Quran disebutkan dalam beberapa ayat yang menyebutkan seseorang dikatakan tidak beriman dalam arti tidak sempurna keimanannya. Karenanya menjadi penting kita kaji agar kita bisa memperbaiki terus keimanan kita.

7. Memilih Ketetapan Lain
Allah swt telah menetapkan sesuatu. Bagi kita tidak boleh menghindar dari ketetapan itu dengan berusaha mencari ketetapan lain yang sesuai dengan selera kita. Sahabat Qatadah menceritakan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Thabrabi bahwa suatu ketika Rasulullah saw meminang Zainab binti Jahsy untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, anak angkat Nabi. Zainab menolak, karena merasa tidak sebanding dari dirinya. Lalu Allah swt menurunkan firman-Nya yang membuat Zainab akhirnya mau menikah dengan Zaid. Firman tersebut adalah: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (QS Al Ahzab [33]: 36).

Meskipun kasus tersebut terkait dengan Zainab, namun pesannya berlaku umum untuk siapa saja. Karenanya kalau kita mau diakui sebagai mukmin, apa yang sudah ditetapkan Allah swt harus kita terima. Allah swt sudah menetapkan seseorang menjadi lelaki, maka ia tidak boleh ingin menjadi perempuan. Ketika sudah ditetapkan mana makanan yang halal dan haram, maka yang halal boleh dimakan dan yang haram tidak boleh. Bila seseorang memakan yang haram, itu namanya mencari ketetapan lain. Begitu pula dengan ketetapan tidak boleh seorang mukmin menikah dengan non muslim, maka kalau ia menikah dengan non muslim, itu namanya mencari ketetapan selain ketetapan Allah swt.

Kenyataan menunjukkan betapa banyak manusia, termasuk orang yang sudah mengaku mukmin, ketika sudah ada ketetapan hukum dari Allah swt, ia masih saja mencari hukum lain, bahkan mencari legalitas hukum agar yang tidak halal seolah-olah menjadi halal, padahal legalitas dari manusia tetap saja tidak bisa menghalalkan sesuatu yang memang haram, Allah swt berfirman: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al Baqarah [2]: 188).

Dengan demikian, agar kita dimasukkan ke dalam kelompok mukmin sejati, maka setiap ketetapan Allah swt dan Rasul-Nya harus kita terima dan kita laksanakan, meskipun terasa berat, khususnya yang berkaitan dengan syariat. Dalam konteks inilah, kita tidak boleh menghiraukan atau terpengaruh ucapan orang yang tidak paham hingga menyebabkan kita tidak melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan, Allah swt berfirman: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS Al Jatsiyah [45]: 18).

8. Tidak Menerima Keputusan Hakim Yang Adil.
Kehidupan dunia ini tidak pernah sepi dari kasus-kasus hukum, satu masalah sudah selesai muncul lagi masalah lain. Karenanya silih berganti manusia berurusan dengan pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum dari keputusan hakim. Tapi yang buruk adalah banyak orang ke pengadilan dan minta keputusan hakim bukan karena mau mencari keadilan, tapi sekadar mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukannya, karena dia pikir hakim bisa berpihak pada dirinya atau dia berusaha menyogok hakim untuk memenangkan perkaranya. Ini merupakan sesuatu yang sangat tercela.

Pada masa Rasulullah saw, ada dua orang satu munafik dan yang satu Yahudi. Mereka meminta kepada Rasulullah saw untuk menjadi hakim atas perselisihan yang terjadi. Setelah diceritakan masalahnya, Nabi membenarkan yang satu yaitu Orang Yahudi dan menyalahkan yang lain, yaitu orang Munafik. Orang munafik yang dianggap salah kemudian tidak menerimanya, bahkan Rasul dianggap tidak adil, sehingga ia mencari orang lain untuk menengahi masalahnya dengan maksud agar berpihak pada dirinya, maka Allah swt kemudian menurunkan firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An Nisaa [4]: 65).

Karena itu, Allah swt dan Rasul-Nya sebagai hakim yang menilai dan memutuskan perkara membuat kita harus merujuknya. Bila kita punya masalah, lalu merujuk kepada Al Quran dan Sunnah, dan ternyata kita termasuk orang yang salah, maka kitapun harus menerimanya agar kita bisa memperbaiki diri dari kesalahan. Sikap tidak menerima membuat kesalahan kita akan bertambah banyak karena kita masih harus mencari dalih (bukan dalil) untuk membenarkannya meskipun harus berbohong dan menyalahkan orang yang benar. Maka, tidak pantas orang yang mengaku beriman bersikap dan berprilaku demikian yang membuatnya terancam tidak diakui sebagai seorang mukmin.

Disamping itu, penerimaan terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya atau hakim yang benar pada masa sekarang , tidak hanya menerima begitu saja, tapi menerima dari hati yang paling dalam sehingga tidak merasa keberatan untuk melaksanakan konsekuensinya. Penegasan ini penting untuk dinyatakan karena banyak orang terpaksa menerima keputusan hakim namun tidak ikhlas menjalankan konsekuensinya. Bahkan, keputusan hakim yang sudah benar dan adil dianggapnya sebagai salah dan jauh dari rasa keadilan hingga akhirnya menuduh hakim dengan tuduhan yang tidak berdasar.

9. Tidak Mendengar dan Taat
Keimanan selalu menuntut ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Bahkan ketaatan ini bersifat mutlak. Karenanya mukmin sejati selalu menunjukkan sikap mendengar dan taat terhadap apa yang sudah ditentukan. Karena itu, ketika minuman keras diharamkan oleh Allah swt, maka para sahabat Nabi yang masih menyimpan di rumahnya langsung dibuang ke jalan di kota Madinah sehingga jalan-jalan itu menjadi becek. Selain itu, ketika turun ayat yang mewajibkan wanita menutup auratnya, maka wanita-wanita yang sedang berada di luar rumah langsung menarik kain sedapatnya utnuk bisa menutupnya. Bahkan, ketika ada panggilan jihad dalam bentuk perang, seorang sahabat yang bernama Handzalah yang sedang melewati malam pengantin terbangun dan berangkat ke medan jihad hingga mati syahid dan malaikatpun memandikannya, karena ia masih dalam keadaan junub setelah berhubungan dengan isterinya.

Semua itu merupakan pencerminan dari mendengar dan taat kepada Allah swt. Hal ini disebutkan dalam firman Allah swt: Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An Nur [24]: 51).

Pada masa Nabi, orang-orang Yahudi dan Nasrani hanya mengaku sebagai orang beriman. Padahal mereka tidak bisa menunjukkan keimanan itu dalam bentuk ketaatan, bahkan mereka justeru menunjukkan sikap dan prilaku yang sangat bertentangan dengan prinsip keimanan. Allah swt berfirman: Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: “Kami mendengar” tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): “Dengarlah” sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: “Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (QS An Nisa [4]: 46).

Dengan demikian, jangan sampai pernyataan kita sebagai mukmin tidak diakui oleh Allah swt.
Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953 Instagram: ahmadyani47
Pin BB: 275d0bb3/7cd9c56a
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diambil dari buletin Khairu Ummah


No comments:

Post a Comment