Edisi 17 Tahun XXIV – Jumadil Awal 1436 H/ Februari 2015 M
Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar
dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An Nur [24]:
51).
Kita tentu tidak
mau bila sudah mengaku beriman, tapi tidak diakui sebagai mukmin, atau dianggap
tidak pantas sebagai mukmin. Di dalam Al Quran disebutkan dalam beberapa ayat
yang menyebutkan seseorang dikatakan tidak beriman dalam arti tidak sempurna
keimanannya. Karenanya menjadi penting kita kaji agar kita bisa memperbaiki
terus keimanan kita.
7. Memilih
Ketetapan Lain
Allah swt telah
menetapkan sesuatu. Bagi kita tidak boleh menghindar dari ketetapan itu dengan
berusaha mencari ketetapan lain yang sesuai dengan selera kita. Sahabat Qatadah
menceritakan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Thabrabi bahwa suatu
ketika Rasulullah saw meminang Zainab binti Jahsy untuk dinikahkan dengan Zaid
bin Haritsah, anak angkat Nabi. Zainab menolak, karena merasa tidak sebanding
dari dirinya. Lalu Allah swt menurunkan firman-Nya yang membuat Zainab akhirnya
mau menikah dengan Zaid. Firman tersebut adalah: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata (QS Al Ahzab [33]: 36).
Meskipun kasus
tersebut terkait dengan Zainab, namun pesannya berlaku umum untuk siapa saja.
Karenanya kalau kita mau diakui sebagai mukmin, apa yang sudah ditetapkan Allah
swt harus kita terima. Allah swt sudah menetapkan seseorang menjadi lelaki,
maka ia tidak boleh ingin menjadi perempuan. Ketika sudah ditetapkan mana
makanan yang halal dan haram, maka yang halal boleh dimakan dan yang haram
tidak boleh. Bila seseorang memakan yang haram, itu namanya mencari ketetapan
lain. Begitu pula dengan ketetapan tidak boleh seorang mukmin menikah dengan
non muslim, maka kalau ia menikah dengan non muslim, itu namanya mencari
ketetapan selain ketetapan Allah swt.
Kenyataan
menunjukkan betapa banyak manusia, termasuk orang yang sudah mengaku mukmin,
ketika sudah ada ketetapan hukum dari Allah swt, ia masih saja mencari hukum
lain, bahkan mencari legalitas hukum agar yang tidak halal seolah-olah menjadi
halal, padahal legalitas dari manusia tetap saja tidak bisa menghalalkan
sesuatu yang memang haram, Allah swt berfirman: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al
Baqarah [2]: 188).
Dengan demikian,
agar kita dimasukkan ke dalam kelompok mukmin sejati, maka setiap ketetapan
Allah swt dan Rasul-Nya harus kita terima dan kita laksanakan, meskipun terasa
berat, khususnya yang berkaitan dengan syariat. Dalam konteks inilah, kita
tidak boleh menghiraukan atau terpengaruh ucapan orang yang tidak paham hingga
menyebabkan kita tidak melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan, Allah swt
berfirman: Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. (QS Al Jatsiyah [45]: 18).
8. Tidak Menerima
Keputusan Hakim Yang Adil.
Kehidupan dunia ini
tidak pernah sepi dari kasus-kasus hukum, satu masalah sudah selesai muncul
lagi masalah lain. Karenanya silih berganti manusia berurusan dengan pengadilan
untuk mendapatkan kepastian hukum dari keputusan hakim. Tapi yang buruk adalah
banyak orang ke pengadilan dan minta keputusan hakim bukan karena mau mencari
keadilan, tapi sekadar mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukannya,
karena dia pikir hakim bisa berpihak pada dirinya atau dia berusaha menyogok
hakim untuk memenangkan perkaranya. Ini merupakan sesuatu yang sangat tercela.
Pada masa
Rasulullah saw, ada dua orang satu munafik dan yang satu Yahudi. Mereka meminta
kepada Rasulullah saw untuk menjadi hakim atas perselisihan yang terjadi.
Setelah diceritakan masalahnya, Nabi membenarkan yang satu yaitu Orang Yahudi
dan menyalahkan yang lain, yaitu orang Munafik. Orang munafik yang dianggap
salah kemudian tidak menerimanya, bahkan Rasul dianggap tidak adil, sehingga ia
mencari orang lain untuk menengahi masalahnya dengan maksud agar berpihak pada
dirinya, maka Allah swt kemudian menurunkan firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An Nisaa [4]: 65).
Karena itu, Allah
swt dan Rasul-Nya sebagai hakim yang menilai dan memutuskan perkara membuat
kita harus merujuknya. Bila kita punya masalah, lalu merujuk kepada Al Quran
dan Sunnah, dan ternyata kita termasuk orang yang salah, maka kitapun harus
menerimanya agar kita bisa memperbaiki diri dari kesalahan. Sikap tidak
menerima membuat kesalahan kita akan bertambah banyak karena kita masih harus
mencari dalih (bukan dalil) untuk membenarkannya meskipun harus berbohong dan
menyalahkan orang yang benar. Maka, tidak pantas orang yang mengaku beriman
bersikap dan berprilaku demikian yang membuatnya terancam tidak diakui sebagai
seorang mukmin.
Disamping itu,
penerimaan terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya atau hakim yang benar pada
masa sekarang , tidak hanya menerima begitu saja, tapi menerima dari hati yang
paling dalam sehingga tidak merasa keberatan untuk melaksanakan konsekuensinya.
Penegasan ini penting untuk dinyatakan karena banyak orang terpaksa menerima
keputusan hakim namun tidak ikhlas menjalankan konsekuensinya. Bahkan,
keputusan hakim yang sudah benar dan adil dianggapnya sebagai salah dan jauh
dari rasa keadilan hingga akhirnya menuduh hakim dengan tuduhan yang tidak
berdasar.
9. Tidak Mendengar
dan Taat
Keimanan selalu
menuntut ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Bahkan ketaatan ini bersifat
mutlak. Karenanya mukmin sejati selalu menunjukkan sikap mendengar dan taat
terhadap apa yang sudah ditentukan. Karena itu, ketika minuman keras diharamkan
oleh Allah swt, maka para sahabat Nabi yang masih menyimpan di rumahnya
langsung dibuang ke jalan di kota Madinah sehingga jalan-jalan itu menjadi
becek. Selain itu, ketika turun ayat yang mewajibkan wanita menutup auratnya,
maka wanita-wanita yang sedang berada di luar rumah langsung menarik kain
sedapatnya utnuk bisa menutupnya. Bahkan, ketika ada panggilan jihad dalam
bentuk perang, seorang sahabat yang bernama Handzalah yang sedang melewati
malam pengantin terbangun dan berangkat ke medan jihad hingga mati syahid dan
malaikatpun memandikannya, karena ia masih dalam keadaan junub setelah
berhubungan dengan isterinya.
Semua itu merupakan
pencerminan dari mendengar dan taat kepada Allah swt. Hal ini disebutkan dalam
firman Allah swt: Sesungguhnya jawaban
orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar dan kami
patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An Nur [24]: 51).
Pada masa Nabi,
orang-orang Yahudi dan Nasrani hanya mengaku sebagai orang beriman. Padahal
mereka tidak bisa menunjukkan keimanan itu dalam bentuk ketaatan, bahkan mereka
justeru menunjukkan sikap dan prilaku yang sangat bertentangan dengan prinsip
keimanan. Allah swt berfirman: Yaitu
orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka
berkata: “Kami mendengar” tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka
mengatakan pula): “Dengarlah” sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa.
Dan (mereka mengatakan): “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela
agama. Sekiranya mereka mengatakan: “Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah,
dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat,
akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman
kecuali iman yang sangat tipis. (QS An Nisa [4]: 46).
Dengan demikian,
jangan sampai pernyataan kita sebagai mukmin tidak diakui oleh Allah swt.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953 Instagram: ahmadyani47
Pin BB: 275d0bb3/7cd9c56a
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diambil dari buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment