Edisi 14 Tahun XXIV – Rabi’ul Akhir 1436 H/ Januari 2015 M
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS Al Jatsiyah [45]: 18).
Keimanan kepada Allah swt dan
Rasul-Nya merupakan faktor yang sangat penting. Karena itu, iman harus selalu
kita sempurnakan, jangan sampai pengakuan kita sebagai mukmin tapi tidak
diakui. Ulama beberapa hadits, Rasulullah saw sampai menyebutkan kalimat “Seseorang diantara kamu”. Maksudnya
adalah tidak sempurna iman salah seorang dari kita, karena penafikan
(peniadaan) disini untuk menafikan (meniadakan) kesempurnaan, bukan menafikan
keimanan.
Kecintaan Rasulullah saw kepada
kita membuat beliau memberi peringatan dan nasihat agar jangan sampai keimanan
kita tidak mencapai kesempurnaan. Karenanya, menjadi penting bagi kita untuk
membahasnya secara singkat.
1. Tidak Lebih Mencintai Nabi.
Ketika kita beriman kepada Allah
swt, maka kita harus mencintai-Nya. Begitu pula dengan keimanan kepada Rasul,
maka kitapun harus mencintai beliau. Bahkan kecintaan kepada Rasul menduduki
urutan kedua setelah kecintaan kepada Allah swt. Bila tidak, akan ada keputusan
Allah swt terhadap kita yang tidak menyenangkan dalam kehidupan di dunia maupun
di akhirat, hal ini disebutkan dalam firman Allah swt: Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai,
adalah lebih kamu cintai dari pada Allah, Rasul-Nya dan (dari) berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (QS At Taubah [9]: 24).
Tidak sempurnanya keimanan kita
bila tidak mencintai Rasul disebutkan dalam hadits beliau dari Anas bin Malik
r.a. ia berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak
beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai daripada
dirinya sendiri, anak serta orang tuanya serta manusia seluruhnya (HR. Bukhari
dan Muslim).
Dalam konteks kehidupan sekarang,
mencintai Nabi tidak bisa ditunjukkan secara fisik karena beliau sudah wafat,
tapi masih banyak yang bisa kita lakukan antara lain: meneladani sifat-sifat
kehidupannya, melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-larangannya,
bershalawat kepadanya, mencintai orang yang dicintainya hingga melanjutkan misi
perjuangannya menyebarkan dan menegakkan ajaran Islam. Karena itu, cinta kepada
Nabi Muhammad saw bukan sekadar dinyatakan, tanpa ada pembuktian. Lebih buruk
adalah bila kita mengaku cinta kepada Nabi Muhammad saw, tapi sikap dan
perilaku kita justeru bertentangan dengan apa yang beliau inginkan, hanya karena
kita sudah terbiasa melakukannya dan merasa sulit untuk meninggalkannya.
2. Tidak Mencintai Saudaranya.
Hubungan antar sesama muslim
adalah saudara, apalagi bila dia memang saudara dari sisi hubungan darah atau
kekeluargaan. Sebagai orang yang bersaudara, tentu rasa cinta yang terwujud
dalam sikap dan prilaku harus kita tunjukkan ketimbang kebencian dan
permusuhan. Bahkan rasa cinta itu idealnya sama seperti kita cintai pada diri
sendiri. Sahabat Anas ra mengatakan bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga
ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari
& Muslim dari Anas).
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
rasakan kecintaan sesama mukmin semakin jauh dari yang seharusnya, apalagi
dengan pola hidup individual yang semakin berkembang. Untuk mewujudkan kembali,
paling tidak ada beberapa hal yang harus kita bangun. Pertama, tolong menolong
dalam kebaikan dan taqwa, bukan dalam dosa dan permusuhan, Allah swt berfirman:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan
dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
(QS Al Miadah [5]: 2).
Bahkan Rasulullah saw juga
menyebut tolong menolong dalam arti yang luas, beliau bersabda: Tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim yang
dizhalimi. Nabi ditanya: “Bagaimana aku menolong yang berbuat dzalim?”. Beliau
menjawab: “Engkau mencegah (menghentikan) dari kezhaliman, karena sesungguhnya
itulah menolongnya (HR. Bukhari, Ahmad dan Tirmidzi).
Kedua, saling memberi
nasihat. Ini merupakan faktor yang harus dipenuhi bagi tercapainya hubungan
yang baik sesama muslim. Dengan taushiyah seorang muslim yang hendak melakukan
kesalahan akan meninggalkannya sehingga tidak jadi melakukan kesalahan itu, dan
bila seseorang telah terlanjur melakukan kesalahan, maka kesalahan yang
dilakukannya tidak sampai mendarah daging atau tidak sampai menjadi kebiasaan,
karena telah diberikan nasihat oleh saudaranya sesama muslim. Oleh karena itu,
orang baik membutuhkan nasihat agar ia bisa mempertahankan kebaikan atau bertambah
baik, sedangkan orang yang tidak baik membutuhkan nasihat agar ia menjadi baik.
Karena itu, saling bertaushiyah akan mencegah manusia dari kerugian dalam
kehidupan di dunia ini, Allah berfirman: Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yag beriman
dan mengerjakan amal shaleh serta nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran
dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (QS Al Ashr [103]: 2-3).
3. Tidak Mengikuti Syariat
Sebagai manusia kita amat
membutuhkan ketentuan-ketentuan hukum, karenanya dalam hal apapun manusia
membuat ketentuan yang mengikat secara hukum. Dalam sepakbola dan berbagai
bisang olah raga, ada aturan main yang dirumuskan dan disepakati sehingga
pertandingan bisa berlangsung dengan baik. Dalam kehidupan ini, Allah swt
paling tahu tentang hukum seperti apa yang cocok untuk kita. Karenanya setiap
mukmin seharusnya bisa disiplin dalam hukum Allah swt yang mengatur kehidupan
manusia, baik terkait dengan hubungan kepada Allah swt maupun hubungan dengan
sesama. Allah swt berfirman: Kemudian
kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak Mengetahui (QS Al Jatsiyah [45]: 18).
Dalam konteks hukum, kita
mengenal ada halal dan haram, ada haq dan bathil yang setiap kita harus tunduk
pada ketetapan hukum itu dan jangan sampai mempermainkannya, apalagi sampai
mencari legalitas hukum untuk menghalalkan yang tidak halal, Allah swt
berfirman: Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui (QS Al Baqarah [2]: 188).
Ketika Allah swt menentukan
syariat, paling tidak tujuannya ada dua, pertama, untuk mewujudkan
kemaslahatan atau kebaikan, karenanya di dalam syariat ada perintah sehingga
kalau kita diperintah oleh Allah set, maka yang harus kita sadari adalah bawa
dibalik perintah, pasti ada kebaikan untuk kita. Kedua, untuk mencegah
mafsadat atau kerusakan, makanya di dalam syariat ada larangan sehingga kalau
kita dilarang, maksudnya adalah agar jangan sampai keburukan terjadi dan
menimpa terhadap kita. Disinilah pentingnya bagi kita untuk komitmen kepada
syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bila tidak, maka kita menjadi
tidak pantas sebagai seorang mukmin, beliau bersabda: Tidak beriman seseorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya mengikuti
apa yang aku bawa (syari’at Islam). (HR. Thabrani).
Dari uraian di atas, menjadi
jelas bagi kita betapa keimanan harus kita sempurnakan agar jangan sampai kita
dianggap tidak pantas sebagai mukmin, karena keimanan kita tidak memenuhi
standar sebagaimana yang digariskan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953 Instagram: ahmadyani47
Pin BB: 275d0bb3/7cd9c56a
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diambil dari buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment