Drop Down Menu

Friday, 12 June 2015

Bukan Mukmin (Bagian Pertama)



Edisi 14 Tahun XXIV – Rabi’ul Akhir 1436 H/ Januari 2015 M

Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS Al Jatsiyah [45]: 18).

Keimanan kepada Allah swt dan Rasul-Nya merupakan faktor yang sangat penting. Karena itu, iman harus selalu kita sempurnakan, jangan sampai pengakuan kita sebagai mukmin tapi tidak diakui. Ulama beberapa hadits, Rasulullah saw sampai menyebutkan kalimat “Seseorang diantara kamu”. Maksudnya adalah tidak sempurna iman salah seorang dari kita, karena penafikan (peniadaan) disini untuk menafikan (meniadakan) kesempurnaan, bukan menafikan keimanan.

Kecintaan Rasulullah saw kepada kita membuat beliau memberi peringatan dan nasihat agar jangan sampai keimanan kita tidak mencapai kesempurnaan. Karenanya, menjadi penting bagi kita untuk membahasnya secara singkat.

1. Tidak Lebih Mencintai Nabi.
Ketika kita beriman kepada Allah swt, maka kita harus mencintai-Nya. Begitu pula dengan keimanan kepada Rasul, maka kitapun harus mencintai beliau. Bahkan kecintaan kepada Rasul menduduki urutan kedua setelah kecintaan kepada Allah swt. Bila tidak, akan ada keputusan Allah swt terhadap kita yang tidak menyenangkan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat, hal ini disebutkan dalam firman Allah swt: Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah, Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (QS At Taubah [9]: 24).

Tidak sempurnanya keimanan kita bila tidak mencintai Rasul disebutkan dalam hadits beliau dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anak serta orang tuanya serta manusia seluruhnya (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam konteks kehidupan sekarang, mencintai Nabi tidak bisa ditunjukkan secara fisik karena beliau sudah wafat, tapi masih banyak yang bisa kita lakukan antara lain: meneladani sifat-sifat kehidupannya, melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-larangannya, bershalawat kepadanya, mencintai orang yang dicintainya hingga melanjutkan misi perjuangannya menyebarkan dan menegakkan ajaran Islam. Karena itu, cinta kepada Nabi Muhammad saw bukan sekadar dinyatakan, tanpa ada pembuktian. Lebih buruk adalah bila kita mengaku cinta kepada Nabi Muhammad saw, tapi sikap dan perilaku kita justeru bertentangan dengan apa yang beliau inginkan, hanya karena kita sudah terbiasa melakukannya dan merasa sulit untuk meninggalkannya.

2. Tidak Mencintai Saudaranya.
Hubungan antar sesama muslim adalah saudara, apalagi bila dia memang saudara dari sisi hubungan darah atau kekeluargaan. Sebagai orang yang bersaudara, tentu rasa cinta yang terwujud dalam sikap dan prilaku harus kita tunjukkan ketimbang kebencian dan permusuhan. Bahkan rasa cinta itu idealnya sama seperti kita cintai pada diri sendiri. Sahabat Anas ra mengatakan bahwa Nabi saw bersabda: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari & Muslim dari Anas).

Dalam kehidupan sehari-hari, kita rasakan kecintaan sesama mukmin semakin jauh dari yang seharusnya, apalagi dengan pola hidup individual yang semakin berkembang. Untuk mewujudkan kembali, paling tidak ada beberapa hal yang harus kita bangun. Pertama, tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, bukan dalam dosa dan permusuhan, Allah swt berfirman: “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS Al Miadah [5]: 2).

Bahkan Rasulullah saw juga menyebut tolong menolong dalam arti yang luas, beliau bersabda: Tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim yang dizhalimi. Nabi ditanya: “Bagaimana aku menolong yang berbuat dzalim?”. Beliau menjawab: “Engkau mencegah (menghentikan) dari kezhaliman, karena sesungguhnya itulah menolongnya (HR. Bukhari, Ahmad dan Tirmidzi).

Kedua, saling memberi nasihat. Ini merupakan faktor yang harus dipenuhi bagi tercapainya hubungan yang baik sesama muslim. Dengan taushiyah seorang muslim yang hendak melakukan kesalahan akan meninggalkannya sehingga tidak jadi melakukan kesalahan itu, dan bila seseorang telah terlanjur melakukan kesalahan, maka kesalahan yang dilakukannya tidak sampai mendarah daging atau tidak sampai menjadi kebiasaan, karena telah diberikan nasihat oleh saudaranya sesama muslim. Oleh karena itu, orang baik membutuhkan nasihat agar ia bisa mempertahankan kebaikan atau bertambah baik, sedangkan orang yang tidak baik membutuhkan nasihat agar ia menjadi baik. Karena itu, saling bertaushiyah akan mencegah manusia dari kerugian dalam kehidupan di dunia ini, Allah berfirman: Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yag beriman dan mengerjakan amal shaleh serta nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (QS Al Ashr [103]: 2-3).

3. Tidak Mengikuti Syariat
Sebagai manusia kita amat membutuhkan ketentuan-ketentuan hukum, karenanya dalam hal apapun manusia membuat ketentuan yang mengikat secara hukum. Dalam sepakbola dan berbagai bisang olah raga, ada aturan main yang dirumuskan dan disepakati sehingga pertandingan bisa berlangsung dengan baik. Dalam kehidupan ini, Allah swt paling tahu tentang hukum seperti apa yang cocok untuk kita. Karenanya setiap mukmin seharusnya bisa disiplin dalam hukum Allah swt yang mengatur kehidupan manusia, baik terkait dengan hubungan kepada Allah swt maupun hubungan dengan sesama. Allah swt berfirman: Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui (QS Al Jatsiyah [45]: 18).

Dalam konteks hukum, kita mengenal ada halal dan haram, ada haq dan bathil yang setiap kita harus tunduk pada ketetapan hukum itu dan jangan sampai mempermainkannya, apalagi sampai mencari legalitas hukum untuk menghalalkan yang tidak halal, Allah swt berfirman: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS Al Baqarah [2]: 188).

Ketika Allah swt menentukan syariat, paling tidak tujuannya ada dua, pertama, untuk mewujudkan kemaslahatan atau kebaikan, karenanya di dalam syariat ada perintah sehingga kalau kita diperintah oleh Allah set, maka yang harus kita sadari adalah bawa dibalik perintah, pasti ada kebaikan untuk kita. Kedua, untuk mencegah mafsadat atau kerusakan, makanya di dalam syariat ada larangan sehingga kalau kita dilarang, maksudnya adalah agar jangan sampai keburukan terjadi dan menimpa terhadap kita. Disinilah pentingnya bagi kita untuk komitmen kepada syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bila tidak, maka kita menjadi tidak pantas sebagai seorang mukmin, beliau bersabda: Tidak beriman seseorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (syari’at Islam). (HR. Thabrani).

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita betapa keimanan harus kita sempurnakan agar jangan sampai kita dianggap tidak pantas sebagai mukmin, karena keimanan kita tidak memenuhi standar sebagaimana yang digariskan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953 Instagram: ahmadyani47
Pin BB: 275d0bb3/7cd9c56a
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diambil dari buletin Khairu Ummah

No comments:

Post a Comment