Drop Down Menu

Friday 27 March 2015

Sumber Kelalaian

Edisi 7 Tahun XXIV – Shafar 1436 H / Desember 2014 M


Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS Al Munafikun [63]: 9)
Setiap manusia dicipta oleh Allah swt dengan maksud yang mulia, yakni untuk mengabdi kepada-Nya. Namun, godaan dan tantangan hidup membuat banyak orang menyimpang dari jalan pengabdian, bahkan menjadi durhaka kepada Allah swt. Akibatnya martabat sebagai manusia jatuh sangat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang ternak sekalipun, Allah swt berfirman: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al A’raf [7]: 179).

Secara harfiyah al ghaflu adalah sesuatu yang kosong, karenanya orang yang lalai adalah orang yang tidak mengharapkan kebaikan dari apa yang dilakukannya dan tidak takut keburukannya dan tidak takut keburukannya. Dalam istilah lain, lalai adalah ilha’ yang dimaksudnya adalah kesibukan yang memalingkan sesuatu yang diinginkan dan berpindah kepada yang diinginkah hawa nafsu. Karenanya menjadi penting bagi kita untuk mengetahui mengapa manusia sampai lalai. Kalau kita telusuri di dalam Al Quran, paling tidak sebabnya ada empat yang harus kita pahami.

1. Bermegah-megahan

Bermegah-megahan membuat manusia tidak puas lalu terus memperbanyak harta dengan cara yang haram, bahkan mengambil hak orang lain, Allah swt berfirman: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan megetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, juka kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainulyaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS At Takatsur [102]: 1-8).

At-Takatsur berasal dari kata katsrah yang artinya banyak, ini menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling bersaing dan masing-masing merasa memiliki paling banyak dengan maksud berbangga-bangga hingga mengabaikan yang lebih penting. Bermegahan membuat manusia tidak puas lalu terus memperbanyak harta hingga menggunakan cara yang haram sekalipun, ini amat berbahaya, apalagi manusia semakin tidak menyadari hingga datang kematian dan menjadi penyesalan yang amat dalam dalam kehidupan akhirat.

Diantara contoh orang yang demikian adalah Qarun yang diazab Allah swt dengan diamblaskan diri dan hartanya ke dalam bumi. Peristiwa yang diabadikan Allah swt di dalam Al Quran ini seharusnya menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak bersikap demikian.


2. Harta dan Anak

Harta dan anak boleh dimiliki oleh manusia, namun jangan sampai kita menjadi lalai kerenanya, Allah swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS Al Munafikun [63]: 9)

Lalai dalam kaitan dengan harta berarti terlalu mencurahkan potensi berpikir hingga tidak memikirkan hal-hal yang lebih penting, lalu berusaha memperolehnya meskipun mengabaikan kewajiban yang lain, bahkan menghalalkan segala cara dan selanjutnya terlalu asyik menikmati harta sehingga tidak melaksanakan kewajiban yang berkaitan dengan harta seperti zakat, infak dan sedekah. Karenanya, pertanggungjawaban soal harta di akhirat bukan hanya memperoleh halal atau tidak, sekalipun sudah halal, tetap akan dimintai pertanggungjawaban untuk apa harta itu dipergunakan.

Adapun lalai dalam kaitan anak adalah terlalu asyik bercengkrama dengan mereka sampai lupa mendidik dan mempersiapkannya untuk masa depan yang lebih baik, apalagi sampai membiarkan anak melakukan yang tidak benar, mencintainya secara berlebihan sehingga tidak mau menghukumnya ketika bersalah pada saat anak sebenarnya sudah pantas menerima hukuman atas kesalahannya, apalagi bila membiarkan saja atas kesalahan yang dilakukan hanya karena orang tua mencintainya.

3. Perniagaan dan Jual Beli

Perdagangan atau jual beli tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karenanya hal itu memang harus dilakukan oleh siapa saja agar kebutuhan hidup bisa dipenuhi. Namun, seringkali hal itu membuat manusia jadi lalai. Para pedagang lalai dengan berbohong, mengurangi takaran dan timbangan hingga menutupi cacatnya suatu barang demi mendapatkan keuntungan yang banyak. Para pembeli juga bisa lalai dengan membohongi pedagang agar memperoleh harga yang murah. Dari sisi waktu, keduanya bisa lalai hingga mengabaikan waktu beribadah secara khusus seperti shalat berjamaah, shalat Jumat dan sebagainya, bahkan perhatian kepada keluarga dan bermasyarakat.

Disamping itu, sesudah keuntungan didapat, para pedagang bisa lalai dengan tidak mau zakat, infak dan sedekah, mereka terus mengembangkan perdagangannya hingga memiliki banyak toko dan cabang usaha. Sedangkan para pembeli juga asyik membeli banyak barang, bahkan yang tidak dibutuhkannya hingga terabaikan kewajiban lain berkaitan dengan uang yang dimilikinya, juga kewajiban zakat, infak dan sedekahnya. Karena itu, hubungan dengan Allah swt yang dilambangkan dengan shalat dan hubungan dengan sesama manusia yang dilambangkan dengan zakat tidak sampai terabaikan. Kelalaian ini tidak akan terjadi selama manusia masih memiliki rasa takut dengan kesengsaraan dan penderitaan hari akhirat, Allah swt berfirman: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (QS An Nur [24]: 37).

4. Angan-angan Kosong

Angan-angan kosong adalah menginginkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, misalnya minta ditunda kematian hingga sudah berada di neraka ingin kembali ke dunia dan menjadi muslim. Allah swt berfirman: Orang-orang yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (QS Al Hijr [15]: 2-3).

Berangan-angan kosong seperti itu membuat manusia suka bersenag-senang hingga mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran yang datang dari Allah swt dan Rasul-Nya. Akibatnya, hidup yang dijalani tidak memiliuki makna dan berakhir begitu saja. Karena itu, iman bukan sekedar pernyataan kosong yang penuh angan-angan untuk meraih surga, tapi harus dibuktikan dengan sikap dan amal islami, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan dan pengakuan semata, akan tetapi ia adalah dengan keyakinan di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dan Al Baihaqi).

5. Meremehkan Wahyu

Salah satu fungsi Al Quran adalah petunjuk bagi manusia. Karenanya, setiap manusia harus memperhatikan dengan penuh kesungguhan. Komitmen kita kepada Al Quran membuat kehidupan kita menjadi terarah dan bermakna. Namun, orang-orang kafir tidak mau menunjukkan kesungguhan memperhatikan Al Quran, meskipun mereka mendengarnya, mereka justeru bermain-main sebagaimana umumnya kanak-kanak atau justeru mereka mengolok-olek ayat yang turun sehingga mereka menjadi lalai dalam kehidupan ini, Allah swt berfirman: Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: “Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu , maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?” (QS Al Anbiya [21]: 2-3).

Kesan yang kita tangkap dari ayat di atas adalah orang-orang  musyrik itu tetap saja lengah meskipun peringatan sudah disampaikan silih berganti dan mereka tetap berpaling meskipun bukti kebenara Al Quran tidak terbantahkan, karenanya mereka mengatakan hal itu sebagai sihir.

Kita tentu beringinan besar pada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Karenanya kita bertekad tidak akan lalai, sumber-sumber yang membuat manusia bisa lalai bukan dijauhi, tapi dikendalikan. Disinilah letah penting bagi kita untuk memiliki kemampuan mengendalikan diri sehingga dunia ini kita letakkan di tangan, bukan di hari.
Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah

No comments:

Post a Comment