Edisi 7 Tahun XXIV – Shafar 1436 H / Desember 2014 M
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (QS Al Munafikun [63]: 9)
Setiap manusia dicipta oleh Allah
swt dengan maksud yang mulia, yakni untuk mengabdi kepada-Nya. Namun, godaan
dan tantangan hidup membuat banyak orang menyimpang dari jalan pengabdian,
bahkan menjadi durhaka kepada Allah swt. Akibatnya martabat sebagai manusia
jatuh sangat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang ternak sekalipun, Allah
swt berfirman: Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al
A’raf [7]: 179).
Secara harfiyah al ghaflu adalah sesuatu yang kosong,
karenanya orang yang lalai adalah orang yang tidak mengharapkan kebaikan dari
apa yang dilakukannya dan tidak takut keburukannya dan tidak takut
keburukannya. Dalam istilah lain, lalai adalah ilha’ yang dimaksudnya adalah
kesibukan yang memalingkan sesuatu yang diinginkan dan berpindah kepada yang
diinginkah hawa nafsu. Karenanya menjadi penting bagi kita untuk mengetahui
mengapa manusia sampai lalai. Kalau kita telusuri di dalam Al Quran, paling
tidak sebabnya ada empat yang harus kita pahami.
1. Bermegah-megahan
Bermegah-megahan membuat manusia
tidak puas lalu terus memperbanyak harta dengan cara yang haram, bahkan
mengambil hak orang lain, Allah swt berfirman: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan megetahui (akibat perbuatanmu itu), dan
janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, juka kamu
mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat
neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan
‘ainulyaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS At Takatsur [102]: 1-8).
At-Takatsur berasal dari kata katsrah
yang artinya banyak, ini menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling
bersaing dan masing-masing merasa memiliki paling banyak dengan maksud
berbangga-bangga hingga mengabaikan yang lebih penting. Bermegahan membuat
manusia tidak puas lalu terus memperbanyak harta hingga menggunakan cara yang
haram sekalipun, ini amat berbahaya, apalagi manusia semakin tidak menyadari
hingga datang kematian dan menjadi penyesalan yang amat dalam dalam kehidupan
akhirat.
Diantara contoh orang yang
demikian adalah Qarun yang diazab Allah swt dengan diamblaskan diri dan
hartanya ke dalam bumi. Peristiwa yang diabadikan Allah swt di dalam Al Quran
ini seharusnya menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak bersikap demikian.
2. Harta dan Anak
Harta dan anak boleh dimiliki
oleh manusia, namun jangan sampai kita menjadi lalai kerenanya, Allah swt
berfirman: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
(QS Al Munafikun [63]: 9)
Lalai dalam kaitan dengan harta
berarti terlalu mencurahkan potensi berpikir hingga tidak memikirkan hal-hal
yang lebih penting, lalu berusaha memperolehnya meskipun mengabaikan kewajiban
yang lain, bahkan menghalalkan segala cara dan selanjutnya terlalu asyik
menikmati harta sehingga tidak melaksanakan kewajiban yang berkaitan dengan
harta seperti zakat, infak dan sedekah. Karenanya, pertanggungjawaban soal
harta di akhirat bukan hanya memperoleh halal atau tidak, sekalipun sudah halal,
tetap akan dimintai pertanggungjawaban untuk apa harta itu dipergunakan.
Adapun lalai dalam kaitan anak
adalah terlalu asyik bercengkrama dengan mereka sampai lupa mendidik dan
mempersiapkannya untuk masa depan yang lebih baik, apalagi sampai membiarkan anak
melakukan yang tidak benar, mencintainya secara berlebihan sehingga tidak mau
menghukumnya ketika bersalah pada saat anak sebenarnya sudah pantas menerima
hukuman atas kesalahannya, apalagi bila membiarkan saja atas kesalahan yang
dilakukan hanya karena orang tua mencintainya.
3. Perniagaan dan Jual Beli
Perdagangan atau jual beli tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karenanya hal itu memang harus
dilakukan oleh siapa saja agar kebutuhan hidup bisa dipenuhi. Namun, seringkali
hal itu membuat manusia jadi lalai. Para pedagang lalai dengan berbohong,
mengurangi takaran dan timbangan hingga menutupi cacatnya suatu barang demi
mendapatkan keuntungan yang banyak. Para pembeli juga bisa lalai dengan
membohongi pedagang agar memperoleh harga yang murah. Dari sisi waktu, keduanya
bisa lalai hingga mengabaikan waktu beribadah secara khusus seperti shalat
berjamaah, shalat Jumat dan sebagainya, bahkan perhatian kepada keluarga dan
bermasyarakat.
Disamping itu, sesudah keuntungan
didapat, para pedagang bisa lalai dengan tidak mau zakat, infak dan sedekah,
mereka terus mengembangkan perdagangannya hingga memiliki banyak toko dan
cabang usaha. Sedangkan para pembeli juga asyik membeli banyak barang, bahkan
yang tidak dibutuhkannya hingga terabaikan kewajiban lain berkaitan dengan uang
yang dimilikinya, juga kewajiban zakat, infak dan sedekahnya. Karena itu,
hubungan dengan Allah swt yang dilambangkan dengan shalat dan hubungan dengan
sesama manusia yang dilambangkan dengan zakat tidak sampai terabaikan. Kelalaian
ini tidak akan terjadi selama manusia masih memiliki rasa takut dengan
kesengsaraan dan penderitaan hari akhirat, Allah swt berfirman: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari)
mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu
hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (QS An Nur [24]:
37).
4. Angan-angan Kosong
Angan-angan kosong adalah
menginginkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, misalnya minta ditunda
kematian hingga sudah berada di neraka ingin kembali ke dunia dan menjadi
muslim. Allah swt berfirman: Orang-orang
yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka
dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini)
makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak
mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (QS Al Hijr [15]: 2-3).
Berangan-angan kosong seperti itu
membuat manusia suka bersenag-senang hingga mengabaikan prinsip-prinsip
kebenaran yang datang dari Allah swt dan Rasul-Nya. Akibatnya, hidup yang
dijalani tidak memiliuki makna dan berakhir begitu saja. Karena itu, iman bukan
sekedar pernyataan kosong yang penuh angan-angan untuk meraih surga, tapi harus
dibuktikan dengan sikap dan amal islami, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan dan
pengakuan semata, akan tetapi ia adalah dengan keyakinan di dalam hati dan
dibuktikan dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dan Al
Baihaqi).
5. Meremehkan Wahyu
Salah satu fungsi Al Quran adalah
petunjuk bagi manusia. Karenanya, setiap manusia harus memperhatikan dengan
penuh kesungguhan. Komitmen kita kepada Al Quran membuat kehidupan kita menjadi
terarah dan bermakna. Namun, orang-orang kafir tidak mau menunjukkan
kesungguhan memperhatikan Al Quran, meskipun mereka mendengarnya, mereka
justeru bermain-main sebagaimana umumnya kanak-kanak atau justeru mereka
mengolok-olek ayat yang turun sehingga mereka menjadi lalai dalam kehidupan
ini, Allah swt berfirman: Tidak datang
kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan
mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati
mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan
mereka: “Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu ,
maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?” (QS Al
Anbiya [21]: 2-3).
Kesan yang kita tangkap dari ayat
di atas adalah orang-orang musyrik itu
tetap saja lengah meskipun peringatan sudah disampaikan silih berganti dan
mereka tetap berpaling meskipun bukti kebenara Al Quran tidak terbantahkan,
karenanya mereka mengatakan hal itu sebagai sihir.
Kita tentu beringinan besar pada
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Karenanya kita bertekad tidak akan
lalai, sumber-sumber yang membuat manusia bisa lalai bukan dijauhi, tapi
dikendalikan. Disinilah letah penting bagi kita untuk memiliki kemampuan
mengendalikan diri sehingga dunia ini kita letakkan di tangan, bukan di hari.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh
Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment