Edisi 6 Tahun XXIV – Shafar 1436 H/ Desember 2014 M
Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan (QSFushilat [41]: 22).
Sebagai persoalan yang amat
prinsip, masalah aqidah atau ketuhanan harus kita pahami dengan baik. Karena
itu, Allah swt meluruskan persepsi manusia yang keliru tentang konsep ketuhanan
sehingga diturunkan banyak ayat yang berkaitan dengan masalah ini.
1. Dusta Dalam Aqidah
Manusia seringkali mencari
pembenaran atas kesalahan pemikiran, ucapan dan tindakannya.
Sahabat Ibnu Abbas menceritakan
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Juwaibir bahwa ada tiga kabilah yakni, Amir,
Kinanah dan Bani Salamah yang masyarakatnya menyembah berhala. Mereka berkata:
“Kami tidak menyembahnya melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.”
Atas ucapan itu, Allah swt
menurunkan firman-Nya: Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar (QS Az Zumar [39]: 3).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adakah: Pertama, Konsep aqidah atau tauhid
dalam Islam sangat bersih dari unsur kemusyrikan, sekecil apapun unsurnya.
Kedua, Orang-orang
musyrik atau siapa saja yang mau mencampur tauhid dengan kemusyrikan mencari
dalih sebagai pembenaran atas kesalahan, misalnya mereka hanya menyembah
berhala sekadar untuk perantara dalam menyembah Allah atau agar berhala itu
bisa mendekatkan mereka kepada Allah swt, padahal ini sama sekali tidak benar
dan hanya dusta.
2. Maha Tahu
Salah satu yang harus disadari
manusia adalah Allah swt Maha Tahu atas apapun yang dilakukan, meskipun manusia
bersembunyi.
Sahabat Ibnu Mas’ud menceritakan
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad bahwa suatu
ketika ada tiga orang, dua dari Quraisy dan satu dari Tsaqif terlibat
perdebatan di dekat Ka’bah. Salah seorang diantara mereka berkata: “Apakah
menurut kalian Allah mendengarkan apa yang kita bicarakan sekarang?.”
Yang satu lagi menjawab: “Dia
mendengar jika kita berbicara dengan keras, sebaliknya tidak dapat mendengar
jika kita pelankan.”
Yang satunya lagi ikut
berkomentar: “Jika Dia dapat mendengar apabila kita mengeraskan suara, niscaya
Dia juga dapat mendengarkan apa yang kita ucapkan dengan suara pelan.”
Setelah itu, Allah swt menurunkan
firman-Nya: Kamu sekali-kali tidak dapat
bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu
bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu
kerjakan (QSFushilat [41]: 22).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, apapun yang diucapkan dan
dilakukan, bahkan diniatkan manusia, Allah swt Maha Tahu atas semua itu.
Kedua, Allah swt akan
menjadi saksi atas segala yang dilakukan manusia, membeberkannya dan meminta
pertanggungjawaban mereka.
3. Kegembiraan Mukmin.
Percaya kepada adanya kehidupan
akhirat membuat seorang muslim termotivasi untuk beramal shaleh. Hal ini karena
surga untuk orang yang beramal shaleh dan neraka untuk yang berlumur dosa.
Sahabat Jabir bin Abdullah
menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Juwabair bahwa ketika ayat 44 surat
Al Hijr turun yang menyebutkan bahwa “(Jahannam) itu mempunyai tujuh pintu,”
sorang lelaki dari golongan Anshar mendatangi Rasulullah saw lalu berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki tujuh orang budak dan saya telah memerdekakan
semuanya dengan harapan saya akan terhindar dari setiap pintu neraka yang
(berjumlah tujuh) itu.
Menyambut sikap yang sangat baik
itu, Allah swt menurunkan firman-Nya: Dan
orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS Az Zumar [39]: 17-18).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, salah satu sikap penting
dari keimanan adalah mendengar dan taat kepada firman Allah swt.
Kedua, Melakukan apa yang
menjadi pesan dalam firman Allah swt merupakan pembuktian dari keimanan sejati.
4. Dosa dan Iman.
Manusia seringkali disebut tidak
luput dari kesalahan dan dosa, namun tetap saja kita tidak boleh menganggap
remeh perbuatan yang bernilai dosa, sekecil apapun dosa itu.
Abu Aliyah bercerita sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Muhammad bin Nashr al Maruzi bahwa pada
awalnya para sahabat Rasulullah saw berpendapat bahwa dosa tidak berdampak
(pada keimanannya) selama seseorang telah mengucapkan syahadat, sebagaimana
sebuah amal shaleh tidak diterima jika pelakunya mempersekutukan Allah swt.
Setelah ucapan itu terlontar,
Allah swt menurunkan firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan
janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu (QS Muhammad [47]: 33).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Iman bukan hanya sekadar
pengakuan, tapi harus dibuktikan dengan ketaatan kepada Allah swt dan
Rasul-Nya. Karenanya, ketaatan ini bersifat mutlak.
Kedua, Ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya diwujudkan dengan amal yang shaleh, namun amal-amal itu
jangan dirusak dengan perbuatan yang bernilai dosa, karena pahalanya bisa
terhapus dan keimanan bisa mengalami kerusakan atau penurunan kualitas.
5. Ciri Tuhan
Orang kafir dan musyrik yang
biasa menuhankan selain Allah swt menjadikan sesuatu yang nyata sebagai tuhan
seperti patung dan sebagainya. Karena itu merekapun ingin tahu ciri-ciri
Tuhannya Nabi Muhammad saw.
Imam Tirmidzi, Hakim dan Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Aliyah dan Ubay bin Ka’ab bahwa suatu ketika
orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah saw: “gambarkan kepada kami
bagaimana Tuhan engkau?.”
Tidak lama setelah mereka
bertanya demikian, malaikan Jibril menurunkan firman Allah swt: Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak
dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”.
(QS Al Ikhlas [112]: 1-4).
Dari kisah di atasm pelajaran yang
dapat kita ambil adalah: Pertama, aqidah, iman atau tauhid
merupakan faktor terpenting dalam ajaran Islam, karena itu, pemahaman yang
benar dalam konsep ketuhanan menjadi ukuran benar dan tidaknya suatu agama.
Kedua, surat al Ikhlas
menegaskan konsep yang utuh tentang Allah set. Dengan pemahaman yang utuh
tentang Allah swt, maka kita tauhidkan Allah dalam dzat, sifat dan
perbuatannya. Tidak ada satu makhlukpun yang sama dengan-Nya.
Semoga kita memiliki pemahaman
yang benar sehingga memiliki iman yang kokoh.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh
Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment