Drop Down Menu

Friday, 6 March 2015

Konsep Ketuhanan (Bagian Ketiga)

Edisi 6 Tahun XXIV – Shafar 1436 H/ Desember 2014 M


Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan (QSFushilat [41]: 22).
Hasil gambar untuk Konsep Ketuhanan (Bagian Ketiga)
Sebagai persoalan yang amat prinsip, masalah aqidah atau ketuhanan harus kita pahami dengan baik. Karena itu, Allah swt meluruskan persepsi manusia yang keliru tentang konsep ketuhanan sehingga diturunkan banyak ayat yang berkaitan dengan masalah ini.

1. Dusta Dalam Aqidah

Manusia seringkali mencari pembenaran atas kesalahan pemikiran, ucapan dan tindakannya.

Sahabat Ibnu Abbas menceritakan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Juwaibir bahwa ada tiga kabilah yakni, Amir, Kinanah dan Bani Salamah yang masyarakatnya menyembah berhala. Mereka berkata: “Kami tidak menyembahnya melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”

Atas ucapan itu, Allah swt menurunkan firman-Nya: Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar (QS Az Zumar [39]: 3).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adakah: Pertama, Konsep aqidah atau tauhid dalam Islam sangat bersih dari unsur kemusyrikan, sekecil apapun unsurnya.

Kedua, Orang-orang musyrik atau siapa saja yang mau mencampur tauhid dengan kemusyrikan mencari dalih sebagai pembenaran atas kesalahan, misalnya mereka hanya menyembah berhala sekadar untuk perantara dalam menyembah Allah atau agar berhala itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah swt, padahal ini sama sekali tidak benar dan hanya dusta.

2. Maha Tahu

Salah satu yang harus disadari manusia adalah Allah swt Maha Tahu atas apapun yang dilakukan, meskipun manusia bersembunyi.

Sahabat Ibnu Mas’ud menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad bahwa suatu ketika ada tiga orang, dua dari Quraisy dan satu dari Tsaqif terlibat perdebatan di dekat Ka’bah. Salah seorang diantara mereka berkata: “Apakah menurut kalian Allah mendengarkan apa yang kita bicarakan sekarang?.”

Yang satu lagi menjawab: “Dia mendengar jika kita berbicara dengan keras, sebaliknya tidak dapat mendengar jika kita pelankan.”

Yang satunya lagi ikut berkomentar: “Jika Dia dapat mendengar apabila kita mengeraskan suara, niscaya Dia juga dapat mendengarkan apa yang kita ucapkan dengan suara pelan.”

Setelah itu, Allah swt menurunkan firman-Nya: Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan (QSFushilat [41]: 22).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, apapun yang diucapkan dan dilakukan, bahkan diniatkan manusia, Allah swt Maha Tahu atas semua itu.

Kedua, Allah swt akan menjadi saksi atas segala yang dilakukan manusia, membeberkannya dan meminta pertanggungjawaban mereka.

3. Kegembiraan Mukmin.

Percaya kepada adanya kehidupan akhirat membuat seorang muslim termotivasi untuk beramal shaleh. Hal ini karena surga untuk orang yang beramal shaleh dan neraka untuk yang berlumur dosa.

Sahabat Jabir bin Abdullah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Juwabair bahwa ketika ayat 44 surat Al Hijr turun yang menyebutkan bahwa “(Jahannam) itu mempunyai tujuh pintu,” sorang lelaki dari golongan Anshar mendatangi Rasulullah saw lalu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki tujuh orang budak dan saya telah memerdekakan semuanya dengan harapan saya akan terhindar dari setiap pintu neraka yang (berjumlah tujuh) itu.

Menyambut sikap yang sangat baik itu, Allah swt menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS Az Zumar [39]: 17-18).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, salah satu sikap penting dari keimanan adalah mendengar dan taat kepada firman Allah swt.

Kedua, Melakukan apa yang menjadi pesan dalam firman Allah swt merupakan pembuktian dari keimanan sejati.

4. Dosa dan Iman.

Manusia seringkali disebut tidak luput dari kesalahan dan dosa, namun tetap saja kita tidak boleh menganggap remeh perbuatan yang bernilai dosa, sekecil apapun dosa itu.

Abu Aliyah bercerita sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Muhammad bin Nashr al Maruzi bahwa pada awalnya para sahabat Rasulullah saw berpendapat bahwa dosa tidak berdampak (pada keimanannya) selama seseorang telah mengucapkan syahadat, sebagaimana sebuah amal shaleh tidak diterima jika pelakunya mempersekutukan Allah swt.
Setelah ucapan itu terlontar, Allah swt menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu (QS Muhammad [47]: 33).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Iman bukan hanya sekadar pengakuan, tapi harus dibuktikan dengan ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Karenanya, ketaatan ini bersifat mutlak.

Kedua, Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya diwujudkan dengan amal yang shaleh, namun amal-amal itu jangan dirusak dengan perbuatan yang bernilai dosa, karena pahalanya bisa terhapus dan keimanan bisa mengalami kerusakan atau penurunan kualitas.

5. Ciri Tuhan

Orang kafir dan musyrik yang biasa menuhankan selain Allah swt menjadikan sesuatu yang nyata sebagai tuhan seperti patung dan sebagainya. Karena itu merekapun ingin tahu ciri-ciri Tuhannya Nabi Muhammad saw.

Imam Tirmidzi, Hakim dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Aliyah dan Ubay bin Ka’ab bahwa suatu ketika orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah saw: “gambarkan kepada kami bagaimana Tuhan engkau?.”

Tidak lama setelah mereka bertanya demikian, malaikan Jibril menurunkan firman Allah swt: Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. (QS Al Ikhlas [112]: 1-4).

Dari kisah di atasm pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, aqidah, iman atau tauhid merupakan faktor terpenting dalam ajaran Islam, karena itu, pemahaman yang benar dalam konsep ketuhanan menjadi ukuran benar dan tidaknya suatu agama.

Kedua, surat al Ikhlas menegaskan konsep yang utuh tentang Allah set. Dengan pemahaman yang utuh tentang Allah swt, maka kita tauhidkan Allah dalam dzat, sifat dan perbuatannya. Tidak ada satu makhlukpun yang sama dengan-Nya.

Semoga kita memiliki pemahaman yang benar sehingga memiliki iman yang kokoh.
Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah
 

No comments:

Post a Comment