Drop Down Menu

Friday 13 March 2015

Mulailah Dari Yang Paling Penting

Edisi 315/ Desember Th. 2014



Hasil gambar untuk Mulailah Dari Yang Paling PentingMulailah dari yang paling penting. Maknanya, di antara aktivitas dan ucapanmu ada yang penting dan ada yang lebih penting. Nah, mulailah dari yang lebih penting.

Hal ini sudah diatur dalam Alquran dan Sunnah. Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa tiada Tuhan selain Allah. Mintalah ampunan atas dosamu.” (QS Muhammad: 19). Sebelum mulai meniti jalan dakwah dan amal yang lain pertama-tama engkau harus meyakini persoalan terbesar yang dibawa oleh Muhammad saw dan para nabi sebelumnya. “Ketahuilah bahwa tiada Tuhan selain Allah. Mintalah ampunan atas dosamu.” Dia mulai membuat urutan prioritas dalam kehidupan muslim dan muslimah. Ia merupakan permulaan terbesar yang diawali oleh manusia. Tidak logis rasanya engkau memulai dengan persoalan sampingan lalu meninggalkan yang pokok. Jangan habiskan waktu dalam urusan cabang dan parsial lalu meninggalkan yang prinsip dan yang utama.

Allah menginformasikan kepada kita bahwa manusia harus memulai dengan yang paling penting baru kemudian yang penting. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, saat Rasul saw mengutus dan memilih Muadz ibn Jabal karena dia penuntut ilmu, seorang fakih, dan alim, bahkan pimpinan yang memimpin para ulama menuju sorga, beliau bersabda, “Engkau akan mendatangi satu kaum ahli kitab.” Artinya, engkau harus berhati-hati dan memiliki kesiapan. Sebab mereka memiliki kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil. Perhatikan hal itu dengan baik. “Hendaknya yang pertama kau serukan kepada mereka adalah bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah.”

Di sini Rasul saw menjelaskan persoalan pertama seraya mengurutkan sesuai dengan tingkatan urgensinya. Tidaklah tepat kalau engkau mendatangi sebuah komunitas yang menyimpang lalu langsung berbicara tentang keutamaan sejumlah amal, keutamaan dua rakaat shalat dhuha, siwak, isbal, janggut, dan seterusnya. Padahal mereka belum mengenal dan membenahi masalah pokok yang dibawa oleh para nabi, yaitu tauhid dan iman. Karena itu, engkau harus memahami masalah tersebut karena terkait dengan skala prioritas dalam berdakwah.

Problemnya, banyak orang yang menghabiskan hidup mereka dalam urusan parsial entah dalam seni, sain, keterampilan, dan sejenisnya sebelum memahami jalan yang paling tepat menuju kemuliaan dunia dan akhirat. Orang yang sukses dalam hidup – seperti dalam dunia Barat – adalah yang membangun urusan mereka di atas skala prioritas; yang paling penting kemudian yang penting. Karena itu, mereka menjadi pelopor dalam bidang kreasi dan penemuan. Adapun seni, hobi dan seterusnya biasanya terdapat di dunia Timur. Karenanya, perhatikan bandingkan antara pencapaian mereka dalam urusan dunia dan pencapaian kita.

Allah swt mengajari kita bahwa menyucikan jiwa orang lain dimulai dari menyucikan diri sendiri. Dia berkata kepada Bani Israil di mana ini juga menjadi pesan buat kita, “Apakah kalian menyuruh manusia kepada kebaikan dan kalian lupa kepada diri kalian sendiri, padahal kalian membaca al-Kitab. Apakah kalian tidak berakal?!” (QS. Al-Baqarah: 44). Maknanya, kalian menyampaikan nasihat dan pelajaran. Itu adalah sesuatu yang baik. Namun diri kalian sendiri dibiarkan memakan harta haram, dengan syubhat, syahwat, berbagai penyakit menyimpang, mencampur yang hak dengan yang bathil, menganiaya manusia, bersaksi palsu serta berdusta atas nama Allah, sejarah dan umat. Pasalnya mereka mengabaikan perjanjian yang ada. Karena itu, ketika orang-orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan telah menyimpang dari manhaj Allah, amal mereka juga menyimpang. Mereka menjadi bencana bagi umat dan sejarah. “Apakah kalian menyuruh manusia kepada kebaikan dan kalian lupa kepada diri kalian sendiri.” Apakah kalian hanya mengajari manusia tetapi tidak memperhatikan diri kalian sendiri? Ini tertuju kepada setiap dai, ulama, dan cendekiawan.

Dalam hadits qudsi seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Allah swt berfirman, “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada sesuatu yang Kuwajibkan padanya.” Jadi yang wajib sebelum yang sunnah. Artinya, sebelum melakukan puasa sunnah, tunaikan puasa ramadhan. Sebelum melakukan qiyamullail, kerjakan shalat berjamaah di mesjid. Sebelum memperbaiki hubungan persaudaraan dengan teman-temanmu lalu keluar bersama mereka ke tempat perkemahan, pertemuan, dan pelatihanm tunaikan kewajiban kepada ibu dan bapak, orang tua yang berada di rumah. Mencium tangan ibu lebih baik daripada mengucapkan salam kepada seribu teman. Menuntun ayahmu yang tua lebih baik daripada berjalan bersama seribu saudara di jalan Allah. Jadi, “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik Aku cintai daripada sesuatu yang Kuwajibkan padanya.”

Dalam masalah nafkah, Nabi saw bersabda, “Mulailah dari dirimu kemudian orang yang menjadi tanggunganmu.” Maksudnya, pertama-tama engkau harus memulai memberi nafkah kepada dirimu, lalu keluargamu, kerabatmu. Kemudian baru yang lain. Sebab, tidak logis engkau mencari fakir, miskin sementara anak-anakmu sendiri dalam kondisi miskin tidak punya apa-apa. Misalnya ibumu membutuhkan pakaian, makanan, atau obat. Namun engkau malah memberikan sedekah kepada orang lain yang fakir. Mulailah dari yang paling utama baru kemudian sesudahnya. Kita berlindung kepada Allah dari ucapan yang tdak sesuai dengan perbuatan.

*diambil dari Buletin Al-Iman (telagainsanberiman@gmail.com)

No comments:

Post a Comment