Edisi 315/ Desember Th. 2014
Mulailah dari yang paling penting.
Maknanya, di antara aktivitas dan ucapanmu ada yang penting dan ada yang lebih
penting. Nah, mulailah dari yang lebih penting.
Hal ini sudah diatur dalam
Alquran dan Sunnah. Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa tiada Tuhan selain
Allah. Mintalah ampunan atas dosamu.” (QS Muhammad: 19). Sebelum mulai meniti
jalan dakwah dan amal yang lain pertama-tama engkau harus meyakini persoalan
terbesar yang dibawa oleh Muhammad saw dan para nabi sebelumnya. “Ketahuilah
bahwa tiada Tuhan selain Allah. Mintalah ampunan atas dosamu.” Dia mulai
membuat urutan prioritas dalam kehidupan muslim dan muslimah. Ia merupakan
permulaan terbesar yang diawali oleh manusia. Tidak logis rasanya engkau
memulai dengan persoalan sampingan lalu meninggalkan yang pokok. Jangan habiskan
waktu dalam urusan cabang dan parsial lalu meninggalkan yang prinsip dan yang
utama.
Allah menginformasikan kepada
kita bahwa manusia harus memulai dengan yang paling penting baru kemudian yang
penting. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, saat Rasul saw
mengutus dan memilih Muadz ibn Jabal karena dia penuntut ilmu, seorang fakih,
dan alim, bahkan pimpinan yang memimpin para ulama menuju sorga, beliau
bersabda, “Engkau akan mendatangi satu kaum ahli kitab.” Artinya, engkau harus
berhati-hati dan memiliki kesiapan. Sebab mereka memiliki kitab suci
sebelumnya, Taurat dan Injil. Perhatikan hal itu dengan baik. “Hendaknya yang
pertama kau serukan kepada mereka adalah bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa aku adalah utusan Allah.”
Di sini Rasul saw menjelaskan
persoalan pertama seraya mengurutkan sesuai dengan tingkatan urgensinya.
Tidaklah tepat kalau engkau mendatangi sebuah komunitas yang menyimpang lalu
langsung berbicara tentang keutamaan sejumlah amal, keutamaan dua rakaat shalat
dhuha, siwak, isbal, janggut, dan seterusnya. Padahal mereka belum mengenal dan
membenahi masalah pokok yang dibawa oleh para nabi, yaitu tauhid dan iman.
Karena itu, engkau harus memahami masalah tersebut karena terkait dengan skala
prioritas dalam berdakwah.
Problemnya, banyak orang yang
menghabiskan hidup mereka dalam urusan parsial entah dalam seni, sain,
keterampilan, dan sejenisnya sebelum memahami jalan yang paling tepat menuju
kemuliaan dunia dan akhirat. Orang yang sukses dalam hidup – seperti dalam
dunia Barat – adalah yang membangun urusan mereka di atas skala prioritas; yang
paling penting kemudian yang penting. Karena itu, mereka menjadi pelopor dalam
bidang kreasi dan penemuan. Adapun seni, hobi dan seterusnya biasanya terdapat
di dunia Timur. Karenanya, perhatikan bandingkan antara pencapaian mereka dalam
urusan dunia dan pencapaian kita.
Allah swt mengajari kita bahwa
menyucikan jiwa orang lain dimulai dari menyucikan diri sendiri. Dia berkata
kepada Bani Israil di mana ini juga menjadi pesan buat kita, “Apakah kalian
menyuruh manusia kepada kebaikan dan kalian lupa kepada diri kalian sendiri,
padahal kalian membaca al-Kitab. Apakah kalian tidak berakal?!” (QS.
Al-Baqarah: 44). Maknanya, kalian menyampaikan nasihat dan pelajaran. Itu
adalah sesuatu yang baik. Namun diri kalian sendiri dibiarkan memakan harta
haram, dengan syubhat, syahwat, berbagai penyakit menyimpang, mencampur yang
hak dengan yang bathil, menganiaya manusia, bersaksi palsu serta berdusta atas
nama Allah, sejarah dan umat. Pasalnya mereka mengabaikan perjanjian yang ada.
Karena itu, ketika orang-orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan telah
menyimpang dari manhaj Allah, amal mereka juga menyimpang. Mereka menjadi
bencana bagi umat dan sejarah. “Apakah kalian menyuruh manusia kepada kebaikan
dan kalian lupa kepada diri kalian sendiri.” Apakah kalian hanya mengajari
manusia tetapi tidak memperhatikan diri kalian sendiri? Ini tertuju kepada
setiap dai, ulama, dan cendekiawan.
Dalam hadits qudsi seperti yang
diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Allah swt berfirman, “Tidaklah hamba-Ku
mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada sesuatu yang
Kuwajibkan padanya.” Jadi yang wajib sebelum yang sunnah. Artinya, sebelum
melakukan puasa sunnah, tunaikan puasa ramadhan. Sebelum melakukan qiyamullail,
kerjakan shalat berjamaah di mesjid. Sebelum memperbaiki hubungan persaudaraan
dengan teman-temanmu lalu keluar bersama mereka ke tempat perkemahan,
pertemuan, dan pelatihanm tunaikan kewajiban kepada ibu dan bapak, orang tua yang
berada di rumah. Mencium tangan ibu lebih baik daripada mengucapkan salam
kepada seribu teman. Menuntun ayahmu yang tua lebih baik daripada berjalan
bersama seribu saudara di jalan Allah. Jadi, “Tidaklah hamba-Ku mendekat
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik Aku cintai daripada sesuatu yang
Kuwajibkan padanya.”
Dalam masalah nafkah, Nabi saw
bersabda, “Mulailah dari dirimu kemudian orang yang menjadi tanggunganmu.”
Maksudnya, pertama-tama engkau harus memulai memberi nafkah kepada dirimu, lalu
keluargamu, kerabatmu. Kemudian baru yang lain. Sebab, tidak logis engkau
mencari fakir, miskin sementara anak-anakmu sendiri dalam kondisi miskin tidak
punya apa-apa. Misalnya ibumu membutuhkan pakaian, makanan, atau obat. Namun
engkau malah memberikan sedekah kepada orang lain yang fakir. Mulailah dari
yang paling utama baru kemudian sesudahnya. Kita berlindung kepada Allah dari
ucapan yang tdak sesuai dengan perbuatan.
No comments:
Post a Comment