Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA
KHUTBAH PERTAMA:
الحمد لله ذي الفضل والإحسان، الذي جعل الحياء شعبة من شعب الإيمان، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، يسأله من في السماوات والأرض، كل يوم هو في شأن.
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Mari kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah…
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan,
عن عَطَاءٍ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ: قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: “أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟” قُلْتُ: “بَلَى!” قَالَ: “هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللهَ لِي!”. قَالَ: “إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَكِ”. فَقَالَتْ: “أَصْبِرُ” فَقَالَتْ: “إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ”، فَدَعَا لَهَا”.
Atha’ bin Abi Rabah bertutur, suatu saat Ibnu Abbas berkata padaku,“Maukah aku tunjukkan kepadamu seorang wanita penghuni surga?”
Aku menjawab, “Tentu”.
Beliau berkata, “Wanita hitam itulah
yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat
penyakitku kambuh). Doakanlah agar Allah Menyembuhkanku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Jika engkau berkenan, bersabarlah niscaya engkau mendapatkan surga.
Namun jika engkau menghendaki, maka aku akan mendoakanmu agar Allah
Menyembuhkanmu.”
Wanita itu menjawab, “Aku pilih bersabar”. Lalu ia melanjutkan perkataannya, “Tatkala penyakit ayanku kambuh, auratku terbuka, maka tolong doakanlah agar auratku tidak tersingkap.”
Maka Nabi pun mendoakannya.” HR. Bukhari dan Muslim.
Subhanallah, alangkah mulia
kedudukan yang berhasil diraih wanita itu? Apakah gerangan amalan yang
mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga?
Apakah karena ia adalah wanita yang
cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit
putih bak batu pualam?
Tidak! Bahkan Ibnu Abbas menyebutnya sebagai wanita yang berkulit hitam legam.
Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada
harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan
mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wasallam.
Namun, kecantikan iman yang terpancar
dari hatinyalah, yang menghantarkan dia kepada kedudukan mulia. Dengan
ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya dan rasa malunya, seorang
wanita yang buruk rupa di mata para manusia, pun akan menjelma menjadi
secantik bidadari surga.
Ya, karena rasa malu yang tertanam kuat di dalam hatinya! Malu dari apa?
Wanita itu berkata, “Aku menderita
penyakit ayan dan auratku tersingkap saat penyakitku kambuh. Doakanlah
agar Allah Menyembuhkanku.”
Kaum muslimin, penyakit ayan bukanlah
penyakit yang ringan. Terlebih penyakit itu diderita oleh seorang
wanita. Betapa besar rasa malu yang sering ditanggung para penderita
penyakit ayan, karena banyak anggota masyarakat yang masih menganggap
penyakit ini sebagai sesuatu yang menjijikkan.
Tapi, lihatlah perkataan wanita hitam
itu. Apakah ada satu kata saja yang menunjukkan bahwa ia benci terhadap
takdir yang menimpanya? Apakah ia mengeluhkan betapa menderitanya dia?
Betapa malunya ia karena menderita penyakit ayan? Tidak, bukan itu yang
ia keluhkan. Justru ia mengeluhkan auratnya yang tersingkap saat
penyakitnya kambuh.
Subhanallah. Ia adalah seorang
wanita yang sangat khawatir bila auratnya tersingkap. Ia tahu betul akan
kewajiban seorang wanita untuk menutup auratnya dan ia berusaha sekuat
tenaga melaksanakannya, meski dalam keadaan sakit. Inilah salah satu
ciri wanita salihah, calon penghuni surga. Yaitu mempunyai sifat malu
dan senantiasa berusaha menjaga kehormatannya dengan menutup aurat.
Bagaimana dengan wanita zaman sekarang, yang di saat sehat pun, dengan
rela hati membuka auratnya? Alih-alih merasa malu manakala dilihat para
lelaki, justru ia semakin bangga manakala pria yang memelototinya
bertambah banyak. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un..
Seorang wanita yang ingatannya sedang
dalam keadaan tidak sadar, kemudian auratnya tak sengaja terbuka, maka
tak ada dosa baginya. Karena hal ini di luar kemampuannya. Akan tetapi,
lihatlah wanita tersebut. Bahkan di saat sakitnya, ia ingin supaya
auratnya tetap tertutup. Di saat ia sedang tak sadar disebabkan
penyakitnya, ia ingin agar kehormatannya sebagai seorang muslimah tetap
terjaga.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…
Begitulah sekelumit tentang kekuatan
positif sifat malu dan pengaruh baiknya. Sifat malu termasuk di antara
sifat terpuji yang amat disayangkan sudah ditinggalkan banyak orang.
Padahal sifat ini bisa mendatangkan banyak kebaikan bagi orang yang
memilikinya. Juga membentengi dirinya agar tidak terjerumus kepada
perilaku buruk.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْر
“Sesungguhnya rasa malu itu tidak lain, hanya akan mendatangkan kebaikan”. HR. Bukhari dan Muslim dari Imran bin Hushain.
Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam pernah bertemu dengan seseorang yang sedang mengkritik saudaranya yang pemalu. Maka beliau pun menegurnya seraya berkata,
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْإِيمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu adalah bagian dari iman”. HR. Bukhari dari Ibnu Mas’ud.
Beberapa hadits di atas menunjukkan, bahwa malu bukanlah suatu yang buruk, bahkan sebaliknya termasuk sifat yang terpuji.
Sidang Jum’at yang berbahagia…
Rasa malu itu ada dua, yaitu malu kepada Allah dan malu kepada manusia.
Malu kepada Allah ta’ala maksudnya, adalah merasa malu dilihat Allah saat melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
اسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ. قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالحَمْدُ لِلَّهِ ، قَالَ : لَيْسَ ذَاكَ ، وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى ، وَالبَطْنَ وَمَا حَوَى ، وَلْتَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ.
“Hendaklah kalian benar-benar merasa
malu kepada Allah!”. Para sahabat menyahuti, “Alhamdulillah, kami telah
memiliki sifat malu, wahai Rasulullah!”. Beliau menimpali, “Bukan itu
maksudnya, akan tetapi perasaan malu yang hakiki kepada Allah, adalah
manakala engkau menjaga kepala beserta isinya, menjaga perut beserta
isinya dan terus mengingat kematian. Orang yang merindukan akhirat,
pasti dia akan meninggalkan keindahan dunia. Barang siapa mempraktekkan
ini berarti ia telah dikategorikan benar-benar merasa malu kepada
Allah”. HR. Tirmidzy dari Ibnu Mas’ud dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim.
Orang yang merasa malu kepada Allah, dia
akan menjauhi semua larangan-Nya dalam segala kondisi. Baik saat
sendiri maupun di tengah keramaian. Sebuah rasa yang merupakan buah dari
ma’rifatullah (mengenal Allah).
Rasa malu yang muncul karena menyadari
keagungan dan kedekatan Allah. Rasa malu yang timbul karena sadar bahwa
Allah itu Maha Mengetahui seluruh perbuatan, yang nampak maupun
tersembunyi dalam hati. Rasa malu seperti inilah yang masuk dalam
tingkat keimanan tertinggi, yakni ihsan.
Kaum muslimin dan muslimat rahimakumullah…
Di samping rasa malu kepada Allah ta’ala, kita juga harus memiliki sifat malu kepada manusia. Rasa
malu ini akan mencegah kita dari perbuatan yang tidak layak dan
tercela. Rasa malu membuat kita tidak suka jika aib dan keburukan kita
diketahui orang lain. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu
tidak akan menyeret dirinya untuk menjadi tukang cela, penyebar fitnah,
juru gunjing dan berbagai tindak maksiat lainnya yang nampak.
Singkat kata, rasa malu kepada Allah
akan mencegah seseorang dari keburukan batin, sedangkan malu kepada
manusia akan mencegahnya dari kerusakan lahiriah. Dengan demikian, dia
akan menjadi orang yang baik secara lahir dan batin. Dia akan tetap baik
ketika sendiri, maupun di tengah khalayak umum. Malu seperti inilah
yang merupakan bagian dari iman.
Jama’ah shalat Jum’at yang kami hormati…
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak
memiliki rasa malu? Orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti dia
tidak memiliki benteng dalam dirinya yang bisa mencegahnya dari
perbuatan dosa dan maksiat. Dia akan berbuat sekehendaknya sendiri,
seakan-akan tidak ada iman yang tersisa dalam hati.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara ungkapan
kenabian pertama yang diketahui para manusia ialah, “Jika engkau tidak
malu, maka berbuatlah sesukamu”. HR. Bukhari dari Abu Mas’ud.
Artinya, orang yang tidak memiliki rasa
malu sedikitpun, dia pasti akan berbuat semaunya, tanpa peduli maksiat
atau bukan, apakah itu etis atau tidak? Hidup semaunya sendiri.
Hadirin dan hadirat waffaqakumullah…
Itulah sekelumit tentang urgensi sifat
malu dalam kehidupan manusia. Lalu, bagaimana dengan realita banyak
manusia di zaman ini? Ternyata tidak sedikit di antara mereka, yang
telah mencampakkan rasa malu sampai ke akar-akarnya, seakan tidak
tersisa secuilpun di dalam hatinya. Sehingga akibatnya berbagai
kemungkaran menjamur di mana-mana.
Aurat yang mestinya ditutup, justru
dipertontonkan dan diumbar di depan khalayak ramai. Sorot mata jalang
yang seharusnya membuat risih dan malu, justru semakin menimbulkan rasa
bangga.
Perbuatan amoral dilakukan terang-terangan di media informasi, cetak maupun elektronik.
Rasa cemburu pada pasangan sirna bak tak tersisa.
Tindakan asusila nan hina dianggap baik
dan dibanggakan, bahkan diusahakan mati-matian untuk dilegalkan. Ketika
ini dipermasalahkan, malah banyak orang sontak membelanya. Sungguh
ironis, namun inilah realita yang ada.
Di manakah rasa malu, dari pejabat yang
mendapatkan amanah untuk mengayomi rakyatnya, justru ia menghisap harta
mereka dengan perbuatan korupsi dan kolusi?
Di manakah rasa malu, dari pedagang yang mengurangi takaran dan timbangan, serta bersumpah palsu untuk melariskan dagangannya?
Di manakah rasa malu, dari para orang
kaya yang menyerobot jatah orang miskin? Manakala merasa iri dengan
jatah raskin yang diterima kaum papa, sehingga ia pun menuntut untuk
mendapatkan jatah serupa. Sehingga orang-orang lemah yang seharusnya
perbulan menerima jatah raskin sebanyak 15 kg, ia harus rela menerimanya
hanya 3 kg saja!
Di manakah rasa malu, dari seorang pelajar yang berbuat curang dalam ujian, demi mengejar fatamorgana nilai palsu?
Benarlah sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas,
إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu”. HR. Bukhari dari Abu Mas’ud.
أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولجميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
KHUTBAH KEDUA:
الحمد لله الواحد القهار، الرحيمِ الغفار، أحمده تعالى على فضله المدرار، وأشكره على نعمه الغِزار، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له العزيز الجبار، وأشهد أن نبينا محمداً عبده ورسوله المصطفى المختار، صلى الله عليه وعلى آله الطيبين الأطهار، وإخونه الأبرار، وأصحابه الأخيار، ومن تبعهم بإحسان ما تعاقب الليل والنهار
Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Rasa malu yang terpuji adalah rasa malu
yang mencegah seseorang dari perbuatan buruk, dan rasa malu yang bisa
mendorong dia untuk melakukan kebaikan.
Adapun rasa malu yang menghalangi
seseorang dari amal salih, maka itu merupakan jenis malu yang tercela.
Seperti malu untuk berjilbab, malu untuk menunaikan shalat berjama’ah di
masjid, malu untuk bertutur kata jujur, malu untuk bertanya tentang
permasalahan agama, malu untuk menyuarakan kebenaran, malu untuk
menghadiri majlis taklim, malu untuk beramar ma’ruf nahi munkar dan yang
semisal. Seluruh ini adalah jenis malu yang tercela.
Rasa malu yang terpuji merupakan anugerah berharga dari Allah, sementara rasa malu yang tercela adalah tipuan setan la’natullah.
Semoga Allah berkenan mengaruniakan pada kita rasa malu yang terpuji, dan menghindarkan kita dari rasa malu yang tercela, amien.
ألا وصلوا وسلموا -رحمكم الله- على الهادي البشير، والسراج المنير، كما أمركم بذلك اللطيف الخبير؛ فقال في محكم التنـزيل: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 2 Sya’ban 1433 / 22 Juni 2012
Hasil modifikasi dari makalah berjudul “Wanita Penghuni Surga Itu” tulisan Ummu Rumman Siti Fatimah yang dimuat dalam website muslimah.or.id dan khutbah Jum’at berjudul “Esensi Malu dalam Kehidupan” yang dimuat dalam Majalah as-Sunnah edisi 09/Thn. XIV (hal. 62-64), dengan beberapa tambahan dan perubahan.
No comments:
Post a Comment