“Siapa yang tidak mampu meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu
berpuasa), maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya.”
(HR Al-Bukhari).
(HR Al-Bukhari).
Maha Agung Allah Yang
menggantikan malam kepada siang. Siang pun kembali menuju malam. Hari-hari
beriring membentuk bulan. Dan bulan-bulan pun beredar menjadi tahun. Semua
nikmat dan berkah-Nya seperti berlumpul pada satu puncak bulan: ramadhan. Kini
“madu” Ramadhan tahun ini sudah sampai di tetes terakhir untuk kita nikmati.
Ada tiga catatan yang patut kita garis bawahi selama menikmati Ramadhan tahun
ini, (tapi Anda bisa menambahkannya sesuai perenungan yang Anda dapatkan selama
menikmati Ramadhan tahun ini).
Pertama, seliar apa pun nafsu kita, ia bisa didewasakan
Momentum Ramadhan menyediakan
tarbiyah, khusus buat nafsu kita. Mungkin, nafsu bisa mendikte apa pun di luar
Ramadhan. Di balik tuntutan lapar, ia bisa saja menciptakan seribu satu dalih
agar orang mencuri. Ia juga bisa mengelabui orang hingga terjebak pada zina.
Dan di balik tuntutan istirahat, ia pun mampu mengungkung orang menjadi
penyantai dan pemalas. Maha Benar Allah dalam firman-Nya,
“... sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. 12: 53).
“... sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. 12: 53).
Allah swt menghadiahi shaum agar
seorang mukmin bisa mendewasakan nafsu. Bisa menutup-buka pintu-pintu
energinya. Hingga, nafsu tidak lagi seperti anak kecil yang bisa dapat apa pun
ketika merengek dan menuntut. Nafsu harus dipaksa. Agar, ia bisa dewasa. Semoga
tarbiyah Rabbaniyah di bulan Ramadhan ini telah mendewasakan nafsu kita.
Sehingga, pasca Ramadhan nanti kita bisa mengendalikan diri.
Kedua, sekotor apa pun jiwa kita, ia bisa dibersihkan
Jangan pernah membayangkan kalau
yang di dalam tak tersentuh kotoran. Alur hidup persis seperti aliran air dalam
pipa-pipa. Ada yang masuk, mengalir dan berproses hingga menjadi keluaran. Kian
kotor masukan, makin banyak endapan yang melekat pada bagian dalam pipa. Suatu
saat pipa bisa keropos. Ini akan berpengaruh pada keluaran yang dihasilkan.
Selama sebelas bulan, saringan-saringan masukan boleh jadi begitu longgar.
Bahkan mungkin, tidak ada sama sekali. Semua bisa masuk. Mulai dari yang samar,
kotor, bahkan beracun. Kalau saja tidak dipaksa ada saringan, proses
pengeroposan menjadi sangat cepat. Jiwa-jiwa yang keropos akan membutakan mata
hati.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami? Atau, telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi hati yang di dalam dada.” (QS. 91: 7 – 10)
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami? Atau, telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi hati yang di dalam dada.” (QS. 91: 7 – 10)
Semoga kita termasuk orang-orang
yang beruntung karena telah berusaha membersihkan jiwa kita selama sebulan di
bulan Ramadhan tahun ini.
Ketiga, sepicik apa pun ego kita, ia bisa dicerdaskan.
Kadang manusia bangga berdiri di
atas egonya. Seolah ia mengatakan, “Inilah saya!” Nalar berikutnya pun bilang,
pusatkan semua kekatan diri demi kepuasan ego. Walaupun sebenarnya, keakuan itu
sudah melabrak nilai-nilai ketinggian Islam. Karena ego, orang bisa menganggap
kalau dirinya yang terbaik. Tak perlu masukan dan sumbang saran. Karena ego
pula, orang menjadi tak perlu berjamaah. Ego menghias kepicikan diri menjadi
prestasi besar. Ramadhan memaksa ego untuk tunduk dengan kenyataan. Bahwa, yang
ego banggakan ternyata tak sekuat yang dibayangkan. Dan kelemahannya begitu
sederhana. Semua ada pada energi yang dihasilkan dari nasi, ikan, terlu,
dedaunan, dan air. Selebihnya, ego tak punya apa-apa. Dalam bentuk lain, ego
bisa ditundukkan dengan memperbanyak sujud. Itulah di antara makna qiyamul
lail. Ego dipaksa untuk melihat kenyataan diri. Bahwa, ia hanya seorang hamba.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya...” (QS. 98: 5)
Semoga tarbiyah Rabbaniyah di Ramadhan tahun ini telah mengembalikan kita kepada kesadaran bahwa kita hanyalah seorang hamba yang tugas utamanya adalah menyembah Allah. Tidak lebih.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya...” (QS. 98: 5)
Semoga tarbiyah Rabbaniyah di Ramadhan tahun ini telah mengembalikan kita kepada kesadaran bahwa kita hanyalah seorang hamba yang tugas utamanya adalah menyembah Allah. Tidak lebih.
“Bahwasanya Nabi SAW selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri’tikaf
sepeninggal beliau.”
(HR al-Bukhari & Muslim)
(HR al-Bukhari & Muslim)
Disarikan dari tulisan M. Nuh
Buletin
Al-Iman Edisi 304/Juli Th. 2014
No comments:
Post a Comment