Edisi 33 Tahun XXIII – Ramadhan 1435 H/ Juli 2014 M
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)
|
Tahun 2012 lalu masyarakat Mesir
tengah mengadakan pesta demokrasi pertama, disebut pertama karena pesta
demokrasi ini dinilai jujur, adil, langsung dan bersih dimana mereka dapat
menyuarakan aspirasi dan kandidat mereka tanpa ada intervensi dari pihak mana
saja, berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Usai memilih anggota legislatif,
masa reformasi ini dilanjutkan dengan pemilihan calon presiden. Beberapa
kandidat telah mengajukan diri, baik secara individu atau dengan berkendaraan
partai politik. Mereka juga berasal dari berbagai kalangan seperti politikus,
cendekiawan, aktifis buruh, mantan menteri hingga dokter. Ada yang berasal dari
kubu kiri (sekuler liberal), kubu kanan hingga poros tengah. Beberapa nama
muncul dalam bursa pencalonan presiden Mesir, seperti Salim ‘Awa, Amr Musa,
Husein Shobani, Muhammad Mursi, Ahmad Syafik dan Abdu al-Munim Abu al-futuh.
Topik ini juga menjadi buah bibir yang sangat laris dibicarakan, baik di
jejaring sosial, media komunikasi dan informasi, kampus, hingga kafe dan
kendaraan umum. Seluruh masyarakat berusaha mencari sosok ideal yang akan
membawa Mesir menuju kemajuan pada lima tahun kedepan. Sebuah kondisi serupa
kita alami sekarang.
Ditengah kondisi politik yang
tengah memanas ini salah satu guru kami Pof. Dr. Yusri Sayyid Jabr melemparkan
sebuah “kritik”, dimana kita tidak dapat merekonstruksi bangsa hanya dengan
mengandalkan seseorang pemimpin yang adil dan bijaksana saja namun dituntut
dari seluruh lapisan untuk turut merekonstruksi lewat bidang yang mereka geluti
dan memulainya dari diri kita masing-masing. Bahkan sebuah perubahan tidak akan
muncul kalau kita hanya menuntut pemimpin tersebut untuk selalu berbuat baik,
jujur dan adil namun nilai-nilai kebaikan itu nihil di tengah masyarakat.
Beliau bahkan memberi perumpamaan, walau Umar bin Khattab atau siapapun
pemimpin dunia yang terkenal adil dibangkitkan kembali untuk memimpin umat
sekarang maka mereka akan mengangkat bendera putih (menyerah) jika elemen-elemen lain pada umat ini tidak memperbaiki diri dan ikut merekonstruksi umat,
karena sejarah membuktikan bahwa kemajuan daulah Islam tidak hanya karena
pemimpin yang adil namun ia juga ditopang oleh masyarakat yang disiplin, taat
dan tertib.
Bagaimana pun hukum dan undang-undang dibuat, ia tidak akan mewujudkan perbaikan jika manusia yang dipimpin
masih “bobrok”, karena hukum dan aturan manusia memiliki kelemahan hingga
beberapa oknum akan selalu mencari jalan lain untuk dapat melanggar aturan dan
undang-undang yang telah dibuat. Maka tidak salah jika rekonstruksi manusia
menjadi prioritas utama untuk kemajuan sebuah bangsa, bina al-insan qobla
al-bunyan. Pada surat al-Taubah ayat 19, Al-Quran juga menegaskan bahwa
rekonstruksi manusia (yang pada ayat ini digambarkan dengan proses keimanan dan
jihad di jalan Allah) lebih utama dibandingkan dua ibadah yang sangat mulia,
memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil
haram.
Jika meninjau tujuan dari
penciptaan alam dan pengiriman rasul ternyata itu semua hanya untuk
kemaslahatan manusia. Oleh karenanya rekonstruksi manusia dinilai amatlah urgen
dalam kebangkitan suatu umat. Rasulullah saw sendiri telah memberi contoh
bagaimana kita membangun sebuah peradaban. Pada awal dakwahnya beliau pernah
ditawarkan harta, tahta hingga wanita namun beliau menolak semuanya dan lebih
berkonsentrasi membina umat dan pengikutnya karena kemajuan Islam tidak hanya
ditopang oleh poin-poin di atas, namun yang terpenting adalah integritas para
pemeluknya.
Solusi Rekonstruksi Umat.
Dalam mewujudkan rekonstruksi
jiwa, setidaknya ada beberapa cara yang dapat ditempuh. Pertama, selalu bermuroqobah.
Muroqobah adalah wujud lain dari ihsan yaitu kita beraktifitas dan
beribadah seakan merasakan keberadaan Allah bersama kita, ketika itu belum kita
rasakan maka upayakan untuk selalu mengingat dan merasa bahwa Allah mengawasi
seluruh gerak-gerik kita. Senada dengan hal ini, ketika manusia menjalani
seluruh aturan atau undang-undang bukan karena ada polisi atau badan pengawas
saja, namun itu dilakukan berkesinambungan baik ada mereka ataupun tidak,
karena ia yakin bahwa semua aktifitasnya akan selalu diawasi oleh Dzat yang Maha Melihat dan Memperhatikan (bashir dan raqib) yaitu Allah swt. Hal ini
sebenarnya telah dicontohkan oleh generasi shaleh kita terdahulu.
Imam Abu Daud pernah meriwayatkan
bahwa suatu ketika nabi mampir ke rumah sahabatnya Abu Mas’ud, ketika masuk
ternyata dia sedang memukul hambanya. Melihat hal itu nabi memperingatinya
bahwa Allah juga mampu untuk berbuat hal yang sama kepadamu lalu nabi berpesan;
“Sesungguhnya Allah pada hari kiamat akan mengazab siapa saja yang mengazab
manusia.” Sejak itu sahabat Abu Mas’ud selalu bermuroqobah dalam kesehariannya.
Pendidikan muroqobah juga hendaknya diterapkan sejak usia dini, dimana
pengaruhnya akan sangat besar dirasakan pada masa depan kelak. Imam al-Junaid
menyatakan ungkapan terima kasih kepada pamannya (Imam Sirri al-Shakti) atas
wasiatnya dimana manfaatnya sangat beliau rasakan seumur hidup. Suatu saat Imam
Sirri al-Shakti pernah berkata padanya; “wahai anakku, jika engkau hendak tidur
maka katakanlah dan renungilah: “Allah
ma’i (Allah selalu bersamaku), Allah
nadhirun ilayya (Allah selalu melihatku), Allah qadirun ‘alayya (Allah
mampu berbuat padaku seperti apa yang aku perbuat)”. Jadikanlah itu rutinitasmu
dan janganlah engkau tidur sebelum engkau mengulang-ulangi kata tersebut
hingga kamu terlelap”. Sayapun melaksanakan anjuran itu hingga akhirnya saya
merasakan cahaya yang berasal dari hati dan mendapatkan muroqobah yang bersumber dari sanubari.
Suatu ketika Syeikh Asyraf Hamid
Hasanain pernah ditanya, bukankah dalam Al-Quran Allah berjanji bahwa shalat
dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, namun mengapa kita sering mendapati
orang Islam selalu melaksanakan shalat namun tak jarang berbuat maksiat dan
kemungkaran? Sambil tersenyum beliau menjawab bahwa shalat tidak akan memberi
manfaat jika hanya menjadi ritual harian tanpa memahami intinya, karena inti
shalat jelas tertulis pada lanjutan ayat tersebut yaitu muroqobah dan zikrullah
(selalu mengingat Allah). Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan – perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat – ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Ankabut [29]: 45).
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan – perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat – ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Ankabut [29]: 45).
Kedua, menanamkan ketakwaan. Takwa merupakan unsur penting dalam
agama, ini dibuktikan dengan kewajiban seorang khatib jumat untuk selalu
menganjurkan ketakwaan pada setiap khutbahnya. Ketakwaan sendiri dapat terwujud
dengan adanya keimanan, dan keimanan diraih dengan mengenal Allah dan Rasul-Nya
serta melaksanakan syariat keduanya.
Manusia diciptakan dari dua unsur
penting, ruh dan tanah. Ruh menggambarkan sisi kemalaikatan manusia dimana ia
memiliki potensi untuk taat kepada Allah, sedangkan unsur tanah merupakan sisi
kebinatangan dan potensinya untuk bermaksiat. Pada asalnya manusia merupakan
makhluk yang mulia namun itu akan berakhir ketika tidak dibarengi dengan
ketakwaan (keimanan dan amal saleh) bahkan derajatnya akan berada dibawah
hewan. Jal ini digambarkan dalam beberapa ayat al-Tin ayat 4 – 5:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.
Begitu juga pada ayat 179 surat al-‘Araf:
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.
Begitu juga pada ayat 179 surat al-‘Araf:
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Ketiga, mencontoh para teladan hidup. Setiap orang yang ingin
sukses syarat baginya untuk memiliki contoh dan idola hidup. Bagi umat Islam
sendiri kehidupan Nabi Muhammad saw dan generasi setelahnya merupakan acuan
primer. Kehilangan figur dan teladan hidup akan membuat manusia
terombang-ambing tak menentu arah. Keadaan sangat miris sering kita temukan di
tengah-tengah umat Islam, dimana mereka lebih mengenal para idola dan bintang
pujaan mereka dibanding nabi dan pejuang agama mereka sendiri.
Berbagai cara dapat ditempuh
dalam rangka menumbuhkan kecintaan dan pengenalan terhadap para suri tauladan
umat seperti mengkaji dan mengajarkan biografi, sejarah hidup serta keutamaan
nabi dan para salaf al-sholeh, mereka mengunjungi
peninggalan-peninggalan sejarah mereka termasuk menghidupkan sunnah (kebiasaan)
mereka yang sudah ditinggalkan.
Memulai Dari Diri Sendiri dan Lingkungan Terdekat.
Perubahan besar tidak akan terealisasi
tanpa dimulai dari lingkungan terkecil. Tak heran jika nabi berpesan untuk
memulai dari diri kita dan keluarga sebelum menyebarkannya ke khalayak yang
lebih luas, ibda bi nafsika tsumma biman
ta’ul. Al-Quran juga telah mengajarkan bagaimana mentransfer kebaikan kepada
orang lain yaitu dengan memulainya dari orang tua, keluarga dekat, tetangga
kemudian kepada kerabat yang jauh, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 215:
”Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:”Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
”Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:”Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
Semua yang diraih manusia tidak
jauh dari apa yang ia lakukan. Ketika manusia ingin mendapatkan pemimpin terbaik
maka lakukanlah hal-hal terbaik pula, karena pemimpin yang adil dan bijaksana
akan terlahir dari masyarakat yang serupa pula. Singkatnya pemimpin kita adalah
gambaran masyarakat kita sendiri. Kalau masyarakat masih sering berbuat kotor
seperti korupsi, kolusi dan bermalas-malasan maka jangan pernah berkhayal
mendapat pemimpin yang bersih dan ideal. Tak salah jika Allah telah
mengingatkan kita bahwa Ia jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi
pemimpin bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan, QS
Al-An’am ayat 129.
Mudah-mudahan
Allah selalu membukakan pintu taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua serta
menjadikan para pemimpin kita orang-orang yang selalu ingat pada-Nya.
Wallahu ‘alam bi al-shawab.
Wallahu ‘alam bi al-shawab.
H. Faza Abdu Robbih, Lc
Alumni Universitas Al Azhar, Kairo
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment