Edisi 8 Tahun XXIV – Shafar 1436 H/ Desember 2014 M
Muhammad itu sekali-kali bukanlah Bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al Ahzab [33]: 40).
Islam merupakan agama yang
sempurna dan lengkap, banyak hal yang diatur di dalam Islam dan selalu cocok
dengan perkembangan zaman. Satu diantaranya tentang ayat yang turun terkait
dengan masalah anak angkat (adopsi). Karena itu menjadi penting bagi kita utnuk
memahaminya, apalagi masih banyak orang yang mendudukkan anak angkat
sebagaimana anak kandung.
1. Bukan Dua Hati
Hati manusia hanya satu,
karenanya bila terjadi kekeliruan karena hati yang bercabang, ada peluang dari
Allah swt untuk memperbaikinya.
Sahabat Ibnu Abbas ra
menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh At Tirmidzi bahwa suatu ketika,
Rasulullah saw mengimami shalat bersama para sahabat, tiba-tiba terjadi
kekeliruan (dalam bacaaan atau gerakan). Orang-orang munafik yang ikut shalat
berkata: Tidakkah kalian lihat bahwa beliau memiliki dua hati, yang satu
bersama kalian, sementara yang satu lagi bersamanya.
Menanggapi peristiwa itu, Allah
swt menurunkan firman-Nya: Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS Al Ahzab [33]: 4).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, kekeliruan dalam shalat,
baik dari sisi bacaan maupun gerakan mungkin saja terjadi, karenanya kesalahan
dalam bacaan bisa diperbaiki oleh jamaah dan kekeliruan dalam gerakan bisa
ditegur dengan mengucapkan Subhanallah
untuk selanjutnya disempurnakan dengan sujud sahwi sebelum salam.
Kedua, seseorang tidak
memiliki dua hari, karena itu zhihar yang menyamakan isteri dengan ibu secara
fisik tidak dibolehkan meskipun maksudnya bukan menceraikannya sebagaimana pada
masa jahiliyah, begitu pula dengan anak angkat yang tidak bisa disamakan
kedudukan hukumnya dengan anak kandung.
2. Nasab Anak Ankat
Nabi Muhammad saw memiliki anak
angkat bernama Zaid bin Haritsah yang sangat diperlakukan dengan baik.
Para sahabat memanggilnya Zaid
bin Muhammad, ini merupakan sesuatu yang tidak benar karena Zaid tetap anaknya
Haritsah, maka Allah swt menurunkan firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maulana-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadapa apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS
Al Ahzab [33]: 5).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, setiap manusia harus
diperlakukan sebaik mungkin, apalagi mereka yang berada di rumah kita seperti
orang tua, mertua, isteri atau suami, anak dan pembantu.
Kedua, anak angkat
termasuk orang yang berada di rumah kita, karenanya harus diperlakukan sebaik
mungkin. Namun nasab atau garis keturunan tetap dihubungkan dengan orang tua
kandungnya, hal ini karena dia termasuk orang lain yang berada di rumah kita
sehingga tidak ada konsekuensi hukum sebagaimana anak kandung seperti pewarisan
harta dan perwalian dalam pernikahan.
3. Menantu Angkat
Rasulullah saw telah menikahkan
anak angkatnya Zaid bin Haritsah kepada Zainab binti Jahsy meskipun Zainab agak
keberatan.
Sesudah kehidupan rumah tangga
berlangsung, ternyata ada ketidakcocokan antara Zainab dengan Zaid yang
mengakibatkan perceraian. Anas bercerita sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim
bahwa Zaid bin Haritsah datang menemui Rasulullah saw untuk mengadukan tentang
isterinya Zainab. Rasulullah saw berpesan kepadanya: “Jangan lepaskan
hubunganmu dengan isterimu.”
Lalu turunlah firman Allah swt: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada
orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah
memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikan), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (QS Al Ahzab [33]: 37).
Sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i, ketika masa iddah Zainab telah berakhir,
Rasulullah saw berkata kepada Zaid: “Pergilah dan pinanglah Zainab untuk saya.
Zaid mengabarkan hal itu kepadanya, Zainab lantar berkata: “Zaya tidak bisa
berbuat apa-apa jika ini adalah perintah Allah.”
Anas bercerita: “Ketika saya
menemui Rasulullah saw di hari pernikahannya itu, beliau menghidangkan kepada
para sahabat roti dan daging. Setelah makan sebagian sahabat keluar, namun
beberapa orang masih duduk di dalam rumah sambil bercakap-cakap. Rasulullah
keluar dari rumah dan saya mengikutinya, beliau berkeliling ke kamar para
isterinya. Beberapa saat kemudian, saya memberitahukan kepada Rasulullah bahwa
semua tamu sudah keluar. Beliau lantas masuk ke rumah, sayapun masuk. Akan
tetapi Rasulullah menurunkan tirai penghalang antara saya dengan beliau,
kemudian menyampaikan ayat: “Janganlah
kamu masuk ke rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan” (QS Al Ahzab [33]:
53).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, kedudukan anak angkat
seperti Zaid bin Haritsah kepada ayah angkatnya yakni Rasulullah saw tidak
menjadi hubungan nasab, karenanya dia tetap orang lain dalam kelurarga Nabi.
Kedua, ketika Zaid
menikah lalu bercerai, maka jandanya boleh dinikahi oleh Rasulullah, karena
menantu angkat bukan berkedudukan seperti menantu yang tidak boleh dinikahi
selamanya. Ini menunjukkan bahwa anak angkat boleh diperlakukan sebaik mungkin,
namun kedudukannya tidak seperti anak kandung, tidak ada hak perwalian dan
waris.
4. Status Anak Angkat
Status hukum segala sesuatu harus
jelas dalam Islam. Karenanya status anak angkat dipertegas oleh Allah swt.
Rasululah saw memang memiliki
anak angkat yang bernama Zaid bin Haritsah, bekas budak Khadijah yang
dibebaskan lalu dijadikan sebagai anak angkat. Hubungan Rasul dengannya sangat
baik hingga ia lebih memilih bersama Rasul ketimbang pulang kampung ketika
dijemput oleh ayahnya. Banyak orang menganggap Zaid itu anaknya Nabi Muhammad
saw.
Aisyah ra menceritakan
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi: “Pada saat Nabi saw menikahi
Zainab binti Jahsy (yang merupakan janda Zaid), orang-orang berkata ‘beliau
menikahi mantan isteri anaknya.’
Maka Allah swt menurunkan
firman-Nya: Muhammad itu sekali-kali
bukanlah Bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS Al Ahzab [33]: 40).
Dari kisah di atas, pelajaran
yang dapat kita ambil adalah: Pertama, status dan kedudukan anak
angkat tidak boleh disamakan dengan anak kandung, anak angkat tidak ada
konsekuensi apa-apa dari sisi hukum seperti nasab, perwalian dan waris.
Kedua, karena itu,
Jandanya anak angkat bleh dinikahi oleh bapak angkat, bahkan anak angkat yang
perempuan boleh dinikahi oleh bapak angkat atau saudara angkatnya.
Dengan demikian menjadi jelas
bagi kita bahwa anak angkat sama sekali tidak sama kedudukan hukumnya dengan
anak kandung, tidak ada konsekuensi nasab, perwalian hingga warisan bila bapak
angkat atau sang anak angkat telah meninggal dunia.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan
oleh Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment