Drop Down Menu

Friday 3 April 2015

Anak Angkat

Edisi 8 Tahun XXIV – Shafar 1436 H/ Desember 2014 M 

Muhammad itu sekali-kali bukanlah Bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al Ahzab [33]: 40).
Islam merupakan agama yang sempurna dan lengkap, banyak hal yang diatur di dalam Islam dan selalu cocok dengan perkembangan zaman. Satu diantaranya tentang ayat yang turun terkait dengan masalah anak angkat (adopsi). Karena itu menjadi penting bagi kita utnuk memahaminya, apalagi masih banyak orang yang mendudukkan anak angkat sebagaimana anak kandung.

1. Bukan Dua Hati

Hati manusia hanya satu, karenanya bila terjadi kekeliruan karena hati yang bercabang, ada peluang dari Allah swt untuk memperbaikinya.

Sahabat Ibnu Abbas ra menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh At Tirmidzi bahwa suatu ketika, Rasulullah saw mengimami shalat bersama para sahabat, tiba-tiba terjadi kekeliruan (dalam bacaaan atau gerakan). Orang-orang munafik yang ikut shalat berkata: Tidakkah kalian lihat bahwa beliau memiliki dua hati, yang satu bersama kalian, sementara yang satu lagi bersamanya.

Menanggapi peristiwa itu, Allah swt menurunkan firman-Nya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS Al Ahzab [33]: 4).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, kekeliruan dalam shalat, baik dari sisi bacaan maupun gerakan mungkin saja terjadi, karenanya kesalahan dalam bacaan bisa diperbaiki oleh jamaah dan kekeliruan dalam gerakan bisa ditegur dengan mengucapkan Subhanallah untuk selanjutnya disempurnakan dengan sujud sahwi sebelum salam.

Kedua, seseorang tidak memiliki dua hari, karena itu zhihar yang menyamakan isteri dengan ibu secara fisik tidak dibolehkan meskipun maksudnya bukan menceraikannya sebagaimana pada masa jahiliyah, begitu pula dengan anak angkat yang tidak bisa disamakan kedudukan hukumnya dengan anak kandung.

2. Nasab Anak Ankat

Nabi Muhammad saw memiliki anak angkat bernama Zaid bin Haritsah yang sangat diperlakukan dengan baik.

Para sahabat memanggilnya Zaid bin Muhammad, ini merupakan sesuatu yang tidak benar karena Zaid tetap anaknya Haritsah, maka Allah swt menurunkan firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulana-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadapa apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al Ahzab [33]: 5).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, setiap manusia harus diperlakukan sebaik mungkin, apalagi mereka yang berada di rumah kita seperti orang tua, mertua, isteri atau suami, anak dan pembantu.

Kedua, anak angkat termasuk orang yang berada di rumah kita, karenanya harus diperlakukan sebaik mungkin. Namun nasab atau garis keturunan tetap dihubungkan dengan orang tua kandungnya, hal ini karena dia termasuk orang lain yang berada di rumah kita sehingga tidak ada konsekuensi hukum sebagaimana anak kandung seperti pewarisan harta dan perwalian dalam pernikahan.

3. Menantu Angkat

Rasulullah saw telah menikahkan anak angkatnya Zaid bin Haritsah kepada Zainab binti Jahsy meskipun Zainab agak keberatan.

Sesudah kehidupan rumah tangga berlangsung, ternyata ada ketidakcocokan antara Zainab dengan Zaid yang mengakibatkan perceraian. Anas bercerita sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim bahwa Zaid bin Haritsah datang menemui Rasulullah saw untuk mengadukan tentang isterinya Zainab. Rasulullah saw berpesan kepadanya: “Jangan lepaskan hubunganmu dengan isterimu.”

Lalu turunlah firman Allah swt: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikan), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (QS Al Ahzab [33]: 37).

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i, ketika masa iddah Zainab telah berakhir, Rasulullah saw berkata kepada Zaid: “Pergilah dan pinanglah Zainab untuk saya. Zaid mengabarkan hal itu kepadanya, Zainab lantar berkata: “Zaya tidak bisa berbuat apa-apa jika ini adalah perintah Allah.”

Anas bercerita: “Ketika saya menemui Rasulullah saw di hari pernikahannya itu, beliau menghidangkan kepada para sahabat roti dan daging. Setelah makan sebagian sahabat keluar, namun beberapa orang masih duduk di dalam rumah sambil bercakap-cakap. Rasulullah keluar dari rumah dan saya mengikutinya, beliau berkeliling ke kamar para isterinya. Beberapa saat kemudian, saya memberitahukan kepada Rasulullah bahwa semua tamu sudah keluar. Beliau lantas masuk ke rumah, sayapun masuk. Akan tetapi Rasulullah menurunkan tirai penghalang antara saya dengan beliau, kemudian menyampaikan ayat: “Janganlah kamu masuk ke rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan” (QS Al Ahzab [33]: 53).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, kedudukan anak angkat seperti Zaid bin Haritsah kepada ayah angkatnya yakni Rasulullah saw tidak menjadi hubungan nasab, karenanya dia tetap orang lain dalam kelurarga Nabi.

Kedua, ketika Zaid menikah lalu bercerai, maka jandanya boleh dinikahi oleh Rasulullah, karena menantu angkat bukan berkedudukan seperti menantu yang tidak boleh dinikahi selamanya. Ini menunjukkan bahwa anak angkat boleh diperlakukan sebaik mungkin, namun kedudukannya tidak seperti anak kandung, tidak ada hak perwalian dan waris.

4. Status Anak Angkat

Status hukum segala sesuatu harus jelas dalam Islam. Karenanya status anak angkat dipertegas oleh Allah swt.

Rasululah saw memang memiliki anak angkat yang bernama Zaid bin Haritsah, bekas budak Khadijah yang dibebaskan lalu dijadikan sebagai anak angkat. Hubungan Rasul dengannya sangat baik hingga ia lebih memilih bersama Rasul ketimbang pulang kampung ketika dijemput oleh ayahnya. Banyak orang menganggap Zaid itu anaknya Nabi Muhammad saw.

Aisyah ra menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi: “Pada saat Nabi saw menikahi Zainab binti Jahsy (yang merupakan janda Zaid), orang-orang berkata ‘beliau menikahi mantan isteri anaknya.’

Maka Allah swt menurunkan firman-Nya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah Bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al Ahzab [33]: 40).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, status dan kedudukan anak angkat tidak boleh disamakan dengan anak kandung, anak angkat tidak ada konsekuensi apa-apa dari sisi hukum seperti nasab, perwalian dan waris.

Kedua, karena itu, Jandanya anak angkat bleh dinikahi oleh bapak angkat, bahkan anak angkat yang perempuan boleh dinikahi oleh bapak angkat atau saudara angkatnya.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa anak angkat sama sekali tidak sama kedudukan hukumnya dengan anak kandung, tidak ada konsekuensi nasab, perwalian hingga warisan bila bapak angkat atau sang anak angkat telah meninggal dunia.
Drs. H. Ahmad Yani
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
Facebook: Ust Ahmad Yani Dua
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah

No comments:

Post a Comment