Amalan ini begitu tersebar di berbagai masjid di negeri kita ini.
Sehingga sangat penting sekali kita mengetahui ada dasar ataukah tidak
amalan tersebut.
Doa Awal dan Akhir Tahun, Adakah Tuntunan?
Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata,
“Syariat Islam tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan doa atau
dzikir untuk awal tahun. Manusia saat ini banyak yang membuat kreasi
baru dalam hal amalan berupa doa, dzikir atau tukar menukar ucapan
selamat, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama
bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun dan
sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali.” (Tashih Ad Du’a’, hal.107)
Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiriy berkata, “Sebagian orang membuat
inovasi baru dalam ibadah dengan membuat-membuat doa awal tahun dan
akhir tahun. Sehingga dari sini orang-orang awam ikut-ikutan mengikuti
ritual tersebut di berbagai masjid, bahkan terdapat para imam pun
mengikutinya. Padahal, doa awal dan akhir tahun tersebut tidak ada
pendukung dalil sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
juga dari para sahabatnya, begitu pula dari para tabi’in. Tidak ada satu
hadits pun yang mendukungnya dalam berbagai kitab musnad atau kitab
hadits.” (Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 399).
Dilanjutkan pula oleh Syaikh At Tuwaijiriy di halaman yang sama,
“Kita tahu bahwa doa adalah ibadah. Pengkhususan suatu ibadah itu harus
tawqifiyah (harus dengan dalil). Doa awal dan akhir tahun sendiri tidak
ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula pernah
dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Idem)
Kaedah Memahami Bid’ah
Para ulama telah menjelaskan kaedah untuk menerangkan manakah yang termasuk bid’ah, manakah yang bukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap perkara yang faktor
pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut
bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat,
maka perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101)
Contohnya saja, adzan saat shalat ‘ied, ada faktor pendorong dan
tidak ada yang menghalangi untuk menghidupkannya di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak melakukannya, maka ini
menunjukkan bahwa adzan saat shalat ‘ied jika ada yang melakukannya saat
ini dihukumi sebagai bid’ah.
Sama halnya dengan doa awal dan akhir tahun. Itu pun tidak pernah
dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah
dilakukan di masa para sahabat. Padahal saat itu bisa saja dilakukan
karena masih adanya faktor pendorong dan tidak ada yang menghalanginya,
namun hal itu tidak dilakukan. Ini menunjukkan jika ada yang
membuat-buatnya saat ini dengan mengumpulkan jamaah menjelang waktu
Maghrib untuk membacakan doa akhir tahun dan setelah masuk Maghrib untuk
membaca doa awal tahun, itu semua termasuk bid’ah yang tidak
dituntunkan.
Perlu dipahami pula bahwa penetapan tarikh hijriyah (kalender Hijriyah) baru ada di masa khalifar Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Berdasarkan kesepatakan para sahabat, bulan Muharram ditetapkan
sebagai awal tahun dan bulan Dzulhijjah ditetapkan sebagai akhir tahun.
Ketika penetapan awal dan akhir tahun pun, kita tidak dapati para
sahabat memanjatkan doa awal dan akhir tahun. Tidak ada di antara para
sahabat yang membuat ritual tersebut padahal bisa saja mereka
melakukannya.
Syaikh Muhammad bin Husain Al Jizani berkata, “Setiap ibadah yang
tidak dilakukan oleh salafush sholeh dari kalangan sahabat, tabi’in dan
yang mengikuti jejak mereka, atau tidak ada nukilan, tulisan, atau
penyampaian di dalam majelis, maka perbuatan tersebut disebut bid’ah
dengan syarat ada faktor pendorong untuk melakukannya dan tidak ada
penghalang yang menghalangi untuk melakukan ibadah tersebut.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 181)
Tinggalkan Bid’ah!
Marilah kita bersama menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhkan diri dari segala macam bid’ah.
Jika seseorang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
itulah tanda orang yang cinta pada Allah. Seorang ulama yang terkenal
zuhud dan pemberi nasehat yang menyentuh hati, Dzun Nuun Al Mishri
berkata,
مِنْ عَلاَمَاتِ المُحِب للهِ مُتَابَعَةُ حَبِيْبِ اللهِ فِي أَخْلاَقِهِ وَأَفْعَالِهِ وَأَوَامِرِهِ وُسُنَنِهِ
“Tanda seseorang cinta pada Allah adalah mengikuti habibullah (kekasih Allah yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam akhlak, perbuatan, urusan dan sunnahnya.” (Al I’tishom, 1: 152).
Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Ats Tsaqofi berkata,
لاَ
يَقْبَلُ اللهُ مِنَ الأَعْمَالِ إِلاَّ مَا كَانَ صَوَابًا وَمِنْ
صَوَابِهَا إِلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَمِنْ خَالِصِهَا إِلاَّ مَا
وَافَقَ السُّنَّة
“Allah tidaklah menerima amalan kecuali amalan tersebut showab
(benar). Amalan yang benar adalah amalan yang ikhlas. Amalan yang ikhlas
adalah amalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al I’tishom, 1: 156).
Semoga kita menjadi orang yang benar-benar mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti petunjuknya dan meninggalkan amalan yang tidak beliau contohkan.
Baca pula artikel: Kekeliruan dalam Menyambut Tahun Baru Hijriyah.
Referensi:
Al I’tishom, Ibrahim bin Musa Asy Syathibi, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.
Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiriy, terbitan Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
Iqtidho’ Shirothil Mustaqtim li Mukholafati Ash-habil Jahiim, Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin Taimiyyah, tahqiq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedelapan, tahun 1421 H.
Qawa’id Ma’rifatil Bida‘, Muhammad bin Husain Al Jizani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1430 H.
Tashih Ad Du’a’, Syaikh Bakr Abu Zaid, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1419 H.
Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiriy, terbitan Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
Iqtidho’ Shirothil Mustaqtim li Mukholafati Ash-habil Jahiim, Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin Taimiyyah, tahqiq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedelapan, tahun 1421 H.
Qawa’id Ma’rifatil Bida‘, Muhammad bin Husain Al Jizani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1430 H.
Tashih Ad Du’a’, Syaikh Bakr Abu Zaid, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1419 H.
—
Selesai disusun menjelang Maghrib di Darush Sholihin, 27 Dzulhijjah 1435 H
Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc
*diambil dari Artikel Rumaysho.Com
No comments:
Post a Comment