Alhamdulillâhi wahdah wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh…
Mitos Seputar Bulan Muharram
Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia–Jawa
khususnya– bahwa bulan Muharram -atau bulan Suro dalam istilah Jawa-
adalah bulan keramat. Pada tanggal-tanggal tertentu mereka menghentikan
aktivitas–aktivitas yang bersifat hajatan besar, menghindari perjalanan
jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai hari naas atau sial.
Bulan itu juga mereka takuti bagi pasangan yang hendak merencanakan
pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat menghindarinya dan memilih
pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Pasalnya, -menurut klaim
mereka- pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap
mendatangkan sial bagi pasangan, seperti perceraian, kematian, tidak
harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan
nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti ini dari mana sumbernya,
tetapi mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya Hindu dan Islam
yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.
Mitos Bulan Suro dalam Timbangan
Sejatinya, mitos tersebut di atas tidak dibenarkan dalam ajaran
Islam. Batilnya mitos itu minimal bisa dipandang dari tiga tinjauan;
tinjauan syariat Islam, sejarah dan sisi rasional.
1. Tinjauan Syariat
Dari segi syariat, bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan termasuk dalam golongan 4 bulan istimewa yang diharamkan Allah.[1]
Disunnahkan untuk memperbanyak puasa di bulan ini. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ”.
“Puasa yang paling utama setelah bulan
Ramadhan adalah bulan Allah; Muharram. Dan shalat paling utama sesudah
shalat fardhu adalah shalat malam”. HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah.
Terlebih lagi berpuasa di tanggal sepuluh dari bulan ini, ditambah dengan tanggal sembilan atau sebelas. Rasulullah shallallahu’laihiwasallam bersabda,
”وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاء أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ”.
“Aku berharap pada Allah agar puasa di hari ‘Asyura’ (tanggal sepuluh bulan Muharram) bisa menghapuskan dosa satu tahun lalu”. HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Qatadah.
Sedangkan yang dilarang oleh syariat di bulan ini adalah melakukan
peperangan kecuali apabila umat Islam diperangi. Termasuk diharamkan
pula perbuatan-perbuatan menzalimi diri sendiri. “Perbuatan maksiat di
bulan ini dilipatgandakan dosanya”. [2] Apalagi jika maksiat tersebut bernuansa syirik dan khurafat, seperti keyakinan bahwa bulan ini adalah bulan sial.
Meyakini adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk celaan terhadap
waktu yang Allah ciptakan, dan itu beresiko mencela Allah yang
menciptakannya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ؛ فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ”.
“Janganlah kalian mencela dahr (waktu) karena Allah itu adalah dahr”. HR Muslim (XV/6 no. 5827) dari Abu Hurairah.
Maksudnya bahwa Allah adalah pencipta waktu, sebagaimana terdapat
dalam riwayat lain yang menjadi penafsir hadits di atas. Dan mencela
ciptaan Allah beresiko mencela Penciptanya[3]. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“قَالَ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ: يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ،
بِيَدِيَ الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ”.
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang”. HR. Bukhari (hal. 1034 no. 5827) dan Muslim (XV/5 no. 5824) dari Abu Hurairah.
Hari, bulan dan tahun yang Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada
yang sial atau naas. Sesungguhnya kesialan, kecelakaan adalah bagian
dari takdir Allah, yang tidak diketahui hamba-Nya kecuali setelah
terjadi. Allah bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada siapapun,
di manapun dan kapanpun, bila Allah menghendakinya. Dan hamba harus rela
menerima takdir tersebut.
Perlu diketahui pula bahwa mengkambinghitamkan waktu sebagai penyebab
kesialan suatu usaha, sejatinya merupakan mitos masyarakat Arab
jahiliyah. Mereka sering berkumpul di berbagai kesempatan untuk
berbincang-bincang tentang berbagai hal dan terkadang dalam perbincangan
mereka terlontar ucapan-ucapan yang mempersalahkan waktu sebagai
penyebab kesialan usaha mereka, atau manakala mereka ditimpa berbagai
musibah lainnya. [4]
Di samping itu, keyakinan adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk thiyarah atau tasya’um (menganggap sial sesuatu) yang dilarang oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam, karena ia merupakan kesyirikan yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum Islam. Nabi shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“الطِّيَرَةُ شِرْكٌ”.
“Thiyarah adalah kesyirikan” (beliau mengulanginya 3x). HR. Ahmad dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim, Ibn Hibban dan al-Albany.
Kemudian perlu diketahui juga bahwa tidak ada larangan melakukan
aktifitas yang mubah di bulan Muharram, apalagi yang bernuansa ibadah,
semisal pernikahan.
2. Tinjauan Sejarah
Pada bulan ini pula –tepatnya tanggal 10– Nabi Musa ‘alaihissalam selamat dari kejaran tentara Fir’aun. Ibnu ‘Abbas mengisahkan, “Ketika
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam kembali ke Madinah, beliau
mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Maka beliau
bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian sekarang sedang
berpuasa?” Maka mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung di
mana Allah ta’ala menyelamatkan Nabi Musa bersama kaumnya serta
menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari
itu untuk menyukurinya, kemudian kami mengikutinya”. Rasulullah pun
bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa dari pada
kalian”. Kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para
sahabatnya untuk berpuasa pula”. HR. Bukhari dan Muslim.
Kisah ini menuturkan kejadian suka-cita, bukan duka cita, apalagi
kisah kesialan. Jadi, menganggap bulan Muharram sebagai bulan naas tidak
ada landasan sejarah yang membenarkannya. Karena pada bulan ini justru
kita mendapatkan anugerah yang sangat tinggi, wajarlah jika kemudian
kaum muslimin mensyukurinya dengan berpuasa tanggal 10 Muharram.
3. Tinjauan Produktifitas Amal
Secara rasional, tidak dipergunakannya sebuah hari –lebih-lebih
sebulan– untuk melakukan aktivitas sebagaimana layaknya, tentu akan
mengurangi produktifitas kerja atau amal. Ketika pada hari itu
semestinya bisa dimanfaatkan misalnya untuk melakukan perjalanan pulang
kampung, atau berangkat ke tempat kerja, pendidikan, silaturrahim atau
hal-hal lain yang sangat bermanfaat, maka semuanya harus ditunda besok
harinya atau harus buru-buru dilakukan sehari sebelumnya.
Masyarakat cenderung memahami naasnya suatu usaha hanya pada
masalah-masalah duniawiyah. Takut kecelakaan, takut bangkrut, takut
miskin dan takut mati. Ini menunjukkan bahwa orientasi kerja mereka
hanya semata-mata hasil yang bagus, sementara mereka tidak siap untuk
menerima kerugian, apalagi sampai pada tingkat kematian; karena mereka
memang tidak cukup bekal amal untuk itu. Padahal semua manusia pasti
mengalaminya. Dan yang jelas waktunya tidak mesti pada bulan Muharram,
melainkan di semua bulan manusia bisa mendapatkan keberuntungan maupun
kerugian. Tidak ada satu pun penelitian yang menghasilkan data bahwa
pada bulan Muharram angka kecelakaan meningkat, ratio kematian paling
tinggi, kasus perceraian paling banyak, dsb. Apakah dengan menghindari
bulan ini dari melakukan aktivitas tertentu lantas dijamin bebas dari
masalah? Tentu tidak jawabannya, sekali lagi semua tergantung dari
usahanya dan taufiq dari Allah ta’ala, bukan waktu naas atau mujurnya.
Kita kan masyarakat Jawa?!
Manakala dipaparkan keterangan di atas, barangkali akan ada sebagian
kalangan yang berdalih, “Walaupun beragama Islam, namun kitakantinggal
di tanah Jawa, jadi tidak etis jika kita tidak mengikuti atau
menghormati adat istiadat masyarakat Jawa!”.
Jawabannya: Allah telah memerintahkan dalam al-Qur’an agar kita bertotalitas dalam berislam. Kata Allah,
“يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوْا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam
secara keseluruhan, dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan.
Sungguh ia musuh yang nyata bagi kalian”. QS. Al-Baqarah: 208.
Bukanlah merupakan sikap totalitas dalam beriman, manakala seseorang
shalat, puasa dan zakat dengan cara Islam, namun berkeyakinan dengan
sesuatu yang tidak selaras dengan ajaran Islam.
Islam bukanlah agama yang menolak mentah-mentah setiap adat istiadat,
apalagi jika budaya tersebut selaras dengan ajaran Islam. Namun Islam
akan memerangi budaya manakala bertabrakan dengan ajarannya, sebagai
upaya agar para pengikutnya patuh dengan setiap aturan yang digariskan
oleh Allah jalla wa ‘ala.
Renungan di awal tahun
Sebagai renungan dalam momen tahun baru ini marilah kita introspeksi
kembali segala apa yang telah kita lakukan pada tahun kemarin, terutama
jika pada tahun lalu kita masih memiliki mitos sebagaimana di atas, maka
mulai tahun ini marilah kita buang jauh-jauh itu semua sebagai bentuk
komitmen untuk selalu melakukan perbaikan demi perbaikan setiap saat,
terutama terhadap keimanan dan amal kita. Tahun ini harus lebih baik
dari tahun kemarin. Allah ta’ala berfirman,
“يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ
لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian
kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Hasyr (59): 18). Wallahu a’lam…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, 9 Desember 2010
Abdullah Zaen, LC, MA
* Tulisan ini kami ringkas dari makalah di situs Musholla al-Barokah yang berjudul “Asyura dalam Perspektif Islam, Syi’ah dan Kejawen” dengan beberapa tambahan dari beberapa sumber, antara lain: makalah berjudul “Asyuro Hari Raya Anak Yatim?” yang dimuat dalam situs As-Sunnah.
[1] Sebagaimana dalam QS. At-Taubah: 36. Lihat tafsir ayat tersebut dalam Tafsîr al-Qurthuby (X/197), Tafsîr Ibn Katsîr (IV/144-149), Jâmi’ al-Bayân karya al-Îjiy (hal. 378), Tafsîr al-Jalâlain karya as-Suyûthy dan al-Mahally (hal. 201) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 296).
[2] Tafsîr Ibn Katsîr (IV/148).
[3] Lihat: Syarh Shahîh Muslim karya an-Nawawy (XV/5-6) dan Fath al-Bâry karya Ibn Hajar al-‘Asqalany (VIII/730-731).
No comments:
Post a Comment