Edisi 32 Tahun XXIII – Sya’ban 1435 H/ Juni 2014 M
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim
[14]: 7)
|
Sebagai mukmin, usaha menunjukkan
ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya harus selalu kita perjuangkan, apalagi
hal-hal yang tidak hanya harus dilakukan oleh mukmin, tapi semua manusia.
Karenanya, menjadi penting bagi kita untuk melanjutkan pembahasan hal-hal yang
harus kita lakukan.
Takut Akhirat
Sebagai seorang muslim, kita
tentu percaya bahwa kehidupan hari akhirat itu ada, bahkan hal itu sudah
dimulai pada saat kematian seseorang. Percaya pada kehidupan akhirat merupakan
sesuatu yang amat penting, karenanya penyebutannya seringkali dirangkai dengan penyebutan
iman kepada Allah swt baik di dalam Al-Qur’an maupun Al Hadits, misalnya
disebutkan dalam firman Allah swt:
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS Al Baqarah [2]: 8).
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS Al Baqarah [2]: 8).
Kehidupan akhirat harus kita
takuti dalam konteks adanya azab Allah swt kepada orang-orang yang durhaka
kepada-Nya, apalagi azab itu tiada bandingannya dan tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Sebagai bahan perbandingan saja, Rasulullah saw pernah ditanya
sahabat tentang seberapa panas api neraka itu, beliau bersabda:
Apimu (yang kamu semua menyalakannya di dunia) ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panasnya neraka jahanam, setiap bagian sama suhu oanasnya dengan api di dunia ini (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
Apimu (yang kamu semua menyalakannya di dunia) ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panasnya neraka jahanam, setiap bagian sama suhu oanasnya dengan api di dunia ini (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
Keharusan kita untuk takut pada
kehidupan akhirat disebutkan dalam firman Allah swt:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah (QS Luqman [31]: 33).
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah (QS Luqman [31]: 33).
Tidak Tertipu Dunia dan Syaitan
Di dalam surat Luqman ayat 31 di
atas, manusia juga diingatkan untuk tidak terpedaya oleh kehidupan dunia
disebabkan godaan syaitan. Hal ini karena dunia bukanlah tujuan hidup, tapi
sarana dan kesempatan untuk mengabdi kepada Allah swt. Apa-apa yang
menyenangkan dari kehidupan dunia boleh kita nikmati bila memang halal atau hak
kita, namun bila manusia menikmatinya padahal tidak halal dan bukan haknya,
maka ini yang disebut dengan terpedaya oleh kehidupan dunia. Allah swt
berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (QS Fathir [35]: 5).
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (QS Fathir [35]: 5).
Di dalam ayat di atas, menurut M.
Quraisy Shihab: memperdaya itu diistilahkan dengan yaghurrannakum yang berasal dari kata gharra yakni mengelabui dengan menampakkan sesuatu yang negatif
dalam bentuk positif.
Kita dapat memahami bahwa orang
yang terpedaya oleh kehidupan dunia adalah ia merasa kenikmatan itu hanya ada
di dunia ini saja, lalu dia memuaskan dirinya dengan berbagai kenikmatan
duniawi dengan menghalalkan segala cara karena ia merasa tidak ada
pertanggungjawaban di akhirat, bahkan ia sampai lupa bahwa akhirat itu
sebenarnya ada.
Salah satu faktor mengapa manusia
sampai terpedaya oleh kehidupan dunia adalah karena tertipu oleh syaitan.
Kelihaian syaitan dalam melakukan penipuan membuat manusia, bahkan yang
berilmupun sampai tegoda. Keyakinan yang benar tentang Allah swt merupakan
sesuatu yang amat mendasar bagi setiap manusia. Tapi syaitan berhasil
memperdaya manusia tentang Allah swt, misalnya manusia sampai berlarut-larut
dan bergelimang dalam dosa karena Allah swt Maha Pengampun hingga akhiranya
manusia menunda taubat lalu mencapai kematian.
Meremehkan perbuatan yang
bernilai dosa merupakan cara iblis dalam menggoda manusia, apalagi dosa yang
terkait dengan wanita dan harta, karenanya hal ini harus kita waspadai, apalagi
memang sudah banyak orang yang demikian.
Selalu Ingat Nikmat Allah
Tidak bisa kita pungkiri bahwa
Allah swt telah memberikan kenikmatan yang begitu banyak kepada manusia. Karena
itu, amat disayangkan bila manusia mengabaikan apalagi tidak mengakuinya
sebagai pemberian dari-Nya. Oleh karena itu, kepada manusia, Allah swt
menegaskan agar selalu ingat kepada nikmat yang datang dari Allah swt, hal ini
dinyatakan dalam firman-Nya:
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuha (yang berhak disembah) selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)? (QS Fathir [35]: 3).
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuha (yang berhak disembah) selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)? (QS Fathir [35]: 3).
Sesudah manusia mengingat nikmat
yang datang dari Allah swt, maka kenikmatan itu harus disyukuri sehinggan Allah
swt akan menambahkannya, baik dalam arti jumlah maupun rasa, Allah swt
berfirman:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim [14]: 7).
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim [14]: 7).
Bila manusia mau menunjukkan rasa
syukur, bentuknya adalah beribadah dan menghambakan diri kepada Allah swt,
bukan malah berpaling apalagi sampai mensekutukan-Nya. Dengan demikian, bersyukur
tidak cukup hanya dengan mengucapkan hamdalah, tapi apa yang sudah Allah swt
berikan kepada kita harus kita pergunakan untuk mengabdi kepada-Nya.
Selalu mengingat bahwa kenikmatan
begitu banyak yang sudah Allah swt berikan kepada kita, karena begitu banyak
manusia yang tidak merasa bahwa kenikmatan itu dari Allah swt, mereka merasa
dengan sebab kehebatan dirinya. Karena itu, Allah swt telah mengazab banyak
manusia disebabkan mengingkari nikmat yang sudah diberikannya seperti yang
dialami oleh Qarun. Allah swt menceritakan:
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membunasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS Al Qashash [28]: 78).
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membunasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS Al Qashash [28]: 78).
Saling Berkenalan
Manusia merupakan makhluk sosial
yang antara satu dengan lainnya saling membutuhkan, karenanya tidak mungkin
kita bisa hidup sendirian dan untuk itu persaudaraan diantara sesama manusia
harus diwujudkan dan dikembangkan. Agar persaudaraan bisa kita wujudkan dan
berkembang dengan baik, maka harus dilakukan terlebih dahulu upaya untuk saling
kenal mengenal, bahkan tidak sekadar perkenalan dalam bentuk nama dan wajahnya,
tapi juga mengenal sikap dan kepribadiannya.
Salah satu makna penting dari
perkenalan dengan sesama manusia adalah kita bisa mengetahui kelebihan dan
kekurangan. Diantara yang harus kita simpulkan adalah betapa manusia jauh lebih
mulia dihadapan Allah swt karena taqwanya, bukan karena lelaki atau perempuan,
suku dan bangsa hingga kaya atau miskin. Allah swt berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al Hujurat [49]: 13).
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al Hujurat [49]: 13).
Ayat di atas terkait dengan suatu
kasus, dua orang Makkah berbicara agak berbisik yang merendahkan Bilal bin
Rabah. Saat itu, ia sedang mengumandangkan adzan dari atas Ka’bah ketika Futuh
Makkah. Mereka merendahkan Bilal hanya karena beliau bukan asli Makkah dan
berkulit hitam, bahkan bekas budak. Maka turun ayat di atas untuk menegaskan
bahwa manusia yang paling mulia itu adalah yang bertaqwa. Bilal telah
menunjukkan ketaqwaan yang luar biasa sejak ia masuk Islam meskipun dimata
manusia martabatnya rendah karena ia bekas budak dan berkulit hitam. Disinilah
salah satu letak pentingnya kita mengenal orang agar tidak mudah merendahkan
siapa orang laindengan sebab kita belum tahu siapa dia yang sesungguhnya.
Dari uraian kita dalam tiga
tulisan, menjadi jelas bagi kita bahwa komitmen kita sebagai mukmin memang
harus selalu kita perkuat. Pembuktian iman dalam sikap dan tingkah laku yang
positif bahkan tidak hanya untuk kita yang sudah mengaku beriman, tapi juga
semua manusia. Karena itu, kita yang sudah menyatakan beriman, seharusnya jauh
lebih baik dibanding mereka yang belum menyatakan keimanan.
Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id
HP/WhatsApp: 08129021953
Pin BB: 275d0bb3
Twitter: @H_AhmadYani
*diterbitkan oleh Buletin Khairu Ummah
No comments:
Post a Comment