Berselisih pendapat dalam masalah ijtihadiyah adalah suatu
hal yang wajar. Karena barangkali ada pemahaman dalil yang berbeda atau
beda dalam hal ijtihad. Namun seyogyanya perbedaan tersebut tidak
mengantarkan pada sikap saling bermusuhan dan saling menghujat. Setiap
muslim tetaplah bersikap bijak, mengedepankan akhlak mulia dan berkata
yang santun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata,
وَأَمَّا
الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ
وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ
يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ وَلَقَدْ كَانَ
أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا سَيِّدَا الْمُسْلِمِينَ
يَتَنَازَعَانِ فِي أَشْيَاءَ لَا يَقْصِدَانِ إلَّا الْخَيْرَ
“Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka jumlahnya tak
berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih pendapat
dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada
persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar
radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam
beberapa masalah, tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)